Selama Ini Sekolah Ngapain Aja?

Anggi Afriansyah
Terus belajar mencintai Indonesia. Berkisah tentang hidup sehari-hari.
Konten dari Pengguna
8 Juni 2017 10:07 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Afriansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sekolah (Foto: Pixabay)
Everett Reiner mengutip Margaret Mead dalam pengantar Bukunya School Is Dead, "Nenek saya ingin saya memeroleh pendidikan, karenanya ia tak mengijinkan saya sekolah". Kemudian Reiner menulis, "Kita harus berhenti mengasingkan sekolah dari kehidupan nyata sehari-hari".
ADVERTISEMENT
Kutipan tersebut saya ambil dari Catatannya Mas Andrias Harefa.
Buku School Is Dead karya Reiner dan Deschooling Society karya Illich juga ada Sekolah itu Candu Karya Roem Topatimasang memang menggugat sistem persekolahan yang ada.
Sekolah mencerabut anak didik dari realitas kesehariannya. Kondisi yang saya perhatikan masih menggejala sampai hari ini. Sama dengan apa yang dikritisi para penulis tersebut.
Tapi beberapa cara bisa dilakukan agar sekolah tak mengasingkan anak didik dari realitas keseharian. Pengalaman saya ketika mengajar dulu misal. Sekolah punya beberapa program yang mendekatkan anak ke realitas agar anak lebih berpijak ke bumi.
Seorang anak ketika kami ajak naik angkot pada saat kegiatan kunjungan ke beberapa rumah ibadah di Jakarta, berbisik kepada saya, "Pak, ini bayarnya gimana?".
ADVERTISEMENT
Saya tak kaget. Karena ya memang keseharian anak itu diantar jemput supir yang kemudian bersetia menunggunya sampai sore. Atau peristiwa-peristiwa ajaib ketika kami mengadakan homestay di rumah penduduk.
Ada beberapa anak yang tak bisa buang air besar karena merasa tempat tinggal penduduk di mana mereka menginap kurang bersih dalam pandangannya. Saya yang dibisiki anak ini pun bilang, "Coba dan paksa, dan pasti ada sensasi yang berbeda dan kamu pasti bisa. Hehehe".
Ada yang agar tak BAB meminum diapet dan obat sejenisnya. Ada juga yang cerita, "Pak, rumah yang saya tempati kecil sekali, lebih besar kamar saya. Mereka (orangtua yang ditinggali) kok bisa ya tinggal begitu".
Saya cuma bisa bilang, "Kamu beruntung bisa hidup lebih enak. Tapi coba lihat, mereka senang-senang saja dengan kondisi hidup mereka yang serba terbatas".
ADVERTISEMENT
Kisah-kisah ajaib macam itu masih banyak tentunya. Beruntung sekolah tempat saya mengajar itu punya beberapa program yang coba mendekatkan anak-anak didik ke realitas keseharian masyarakat.
Ada program kunjungan dan lain-lain agar mereka lebih berpijak ke bumi Indonesia. Karena keseharian mereka hidup enak mereka harus diajak hidup susah sekali-sekali.
Beberapa sekolah lain saya tahu juga punya program-program seperti itu. Sekolah-sekolah di bawah naungan Serikat Jesuit punya cara yang lebih radikal.
Saya pernah mendengar salah satu guru Sosiologi SMA De Britto, Pak Sumardiyanto, bercerita bahwa ada anak-anak didiknya yang live in di tempat tinggal penggali kubur dan dalam beberapa waktu mereka ikut terlibat dan membantu prosesi gali kubur dan hidup bersama.
ADVERTISEMENT
Menakjubkan. Anak-anak kelas menengah, bahkan atas, yang sehari-hari berkecukupan, dipaksa tinggal bersama orang-orang yang mungkin tidak ada di dalam imajinasi mereka, para penggali kubur.
Saya begitu terkesan ketika mengobrol dengan Kepala Sekolah SMA Kolese Gonzaga, Romo Winandoko.
Dia bilang, "Kalau ada orangtua yang mau anaknya lulus UN dengan nilai bagus dan masuk ke Perguruan Tinggi ternama jangan masukan anak mereka ke Gonzaga, masukkan ke sekolah lain. Tapi, kalau ada yang mau anak-anak yang berubah karakternya menjadi seseorang yang lebih baik, silakan masukan ke Gonzaga".
Di saat sekolah lain promo tentang kelulusan 100 persen dan deretan anak yang masuk ke PT unggulan, ia promosi yang lain.
Tentu banyak sekolah lain yang tak hanya melulu fokus menjejalkan materi ke anak didik. Kisah-kisah ini rasanya perlu diungkap ke media sosial, agar narasi yang muncul di media sosial tidak selalu tentang kekacauan-kekacauan dunia pendidikan, atau tentang kebencian yang tak tertahankan.
ADVERTISEMENT
Saya begitu bangga misalnya ketika beberapa waktu lalu di media dimunculkan ketika anak-anak Al Izhar dan Kanisius dengan tagarnya PluralisMe meramaikan medsos yang selama ini gaduh dengan berita yang kurang menggembirakan.
Anak-anak ini ternyata bisa lebih berpikir jernih dibanding orang-orang tua di medsos yang gemar sebar kebencian.
Jangan sampai sekolah kita yang panjang dan melelahkan itu bahkan tak bisa mencegah kita untuk buang sampah sembarang.
17 tahun sekolah ngapain aja?
(Dokumentasi Pribadi, diambil di salah satu Rumah Makan di Tasikmalaya)