Tua di Jalan

Anggi Afriansyah
Terus belajar mencintai Indonesia. Berkisah tentang hidup sehari-hari.
Konten dari Pengguna
20 Juli 2017 16:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Afriansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tua di Jalan
Tua di jalan adalah hal yang pasti dialami oleh kita, yang sehari-hari, bekerja di Jakarta. Melakukan laku perjalanan rumah kantor adalah pekerjaan yang begitu berat. Macet berjam-jam adalah rutinitas.
ADVERTISEMENT
Baik yang naik kendaraan sendiri atau angkutan umum pasti akan merasakan macet. Maka para pejuang yang tinggal di luar wilayah jakarta akan berangkat subuh beledug demi meminimalisir perjumpaan dengan kemacetan.
Sejak dari perjalanan ke arah kantor, para pekerja adalah mereka yang berjihad dengan segenap kekuatannya demi menafkahi keluarga. Bekerja dengan sekeras tenaga agar keluarga tetap akrab dengan senyum dan tawa (meminjam kata-kata Tulus di lirik lagu Cahaya).
Ketika masih tinggal di Bogor, demi sampai kantor lebih pagi, maka jam empat saya dan istri harus segera berangkat dari rumah. Shalat subuh pun kami lakukan di stasiun bogor. Dan kemudian kami harus siap berjejal-jejalan di dalam commuterline yang penuh sesak. Siapa saja yang aktivitas hariannya menggunakan CL pasti mafhum rasanya berhimpitan di gerbong yang kemudian mengangkut kita secara berjamaah ke Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kalau dari bekasi, jika ingin sampai pagi-pagi maka jam 5 kami harus segera berangkat. Jarak Bekasi ke kantor memang tak jauh, tapi siapapun yang tinggal di Bekasi pasti paham betapa macetnya jalan raya jika salah memilih waktu.
Memilih jalanan memang seperti menjalani hidup. Kita tak pernah tahu jalan yang kita lalui itu sudah benar atau tidak, macet atau tidak setelah kita menjalaninya.
Tapi yang pasti hidup yang disyukuri adalah hidup yang dijalani dengan penuh kegembiraan. Apa enaknya hidup tanpa kegembiraan? Kita harus tetap gembira, di saat orang lain kesulitan kita masih sedikit lebih baik dan bisa bekerja. Nikmat bekerja kadang tak pernah disyukuri. Saya yang pernah berjibaku mendapatkan pekerjaan yang lebih baik tahu betul apa rasanya menganggur.
ADVERTISEMENT
Saya pernah membaca di buku Ajengan Santun karya Kang Iip Dzulkipli Yahya. Pada salah satu bagian ada seorang santri yang bertanya kepada Ajengan Ilyas Ruhiat mengapa ia tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Sang Ajengan santun hanya berkata, syukuri dulu kamu bisa sekolah tinggi, tidak semua orang mendapatkan rezeki untuk bersekolah tinggi. Kadang hal-hal kecil seperti itu luput kita syukuri. Memiliki pekerjaan, memiliki rumah, memiliki pasangan, dan memiliki-memiliki lain seringkali lupa disyukuri. Ketika kita masih terjebak macet untuk bekerja, itu juga patut disyukuri. Meskipun kadang juga sambil misuh-misuh dan tensi tinggi. Kita tentu hanya bisa berdoa mudah-mudahan apa yang kita lakukan berkah dan bermanfaat. Aamiin. Mudah-mudahan transportasi publik semakin membaik.
Macet dan berhimpitan di angkutan umum kadang juga bisa kita atasi dengan mencari mencari sedikit kegembiraan. Jika naik angkutan umum kita bisa menonton drama korea yang ditonton melalui HP orang disebelah; mendengar lagu dari headset yang begitu kencang dari orang sebelah, melihat binar mata kebahagiaan orang yang tersenyum sambil WA-an dengan entah istri, anak, atau pacarnya; atau sesi cerita dengan pengemudi gojek. Kalau sedang naik motor biasanya saya senang merenung sambil menghayal. Kadang banyak ide yang saya dapat justru ketika duduk khusuk di motor dalam perjalanan ke kantor. Mengamati keanehan-keanehan yang ada di jalan.
ADVERTISEMENT
Kalau tidak maka berpuluh-puluh tahun di jalan akan menjadi neraka. Maka, kata-kata yang dari Seno Gumira yang begitu populer sebagai shareable di medsos tentu bisa dijadikan pengingat. Ia bilang "alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa".
Semoga kita ga begitu-begitu amat.