news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Al Jazeera Terhantam Krisis Qatar-Saudi

10 Juni 2017 8:51 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor Berita Al Jazeera (Foto: Reuters/Fadi Al-Assaad)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Berita Al Jazeera (Foto: Reuters/Fadi Al-Assaad)
ADVERTISEMENT
Al Jazeera, saluran berita berbasis di Doha milik pemerintah Qatar, terus didera “pukulan”.
ADVERTISEMENT
Arab Saudi melarang seluruh hotel dan fasilitas turis di wilayahnya menayangkan Al Jazeera. Pelanggaran atas larangan itu akan dikenai sanksi berupa penutupan fasilitas wisata dan denda hingga 26 ribu dolar AS.
“Setiap fasilitas yang melakukan pelanggaran akan diberi sanksi hukum dan dikenai denda sebesar 100 ribu Riyal atau pencabutan izin usaha, atau keduanya,” ujar Komisi Pariwisata dan Warisan Nasional Saudi, dalam pernyataannya seperti dilansir Al Jazeera, Jumat (9/6).
Komisi Pariwisata juga memerintahkan agar “semua saluran Al Jazeera Media Network harus dihapus” dan diganti saluran lain yang sepadan dengan “televisi resmi Saudi.”
Kebijakan terbaru Saudi tersebut ialah satu dari rangkaian dampak pemutusan hubungan diplomatik oleh Aliansi Saudi terhadap Qatar sejak Senin (5/6).
ADVERTISEMENT
Al Jazeera, jaringan media global yang memiliki 80 biro di seluruh dunia dan didanai sebagian oleh keluarga penguasa Qatar, dikenal kritis menyajikan berita tentang Timur Tengah, sehingga tak jarang membuat berang negara-negara Teluk.
Sebelumnya, Al Jazeera menyatakan mengalami serangan siber skala besar yang menyasar hampir semua sistemnya, mulai website sampai platform media sosial.
“Ada upaya untuk menembus keamanan siber Al Jazeera. Namun kami berhasil memerangi mereka dan semua entitas kami tetap beroperasi,” ujar seorang karyawan senior yang enggan disebut namanya kepada Reuters.
Sudah sejak lama Al Jazeera tidak disukai negara-negara Arab, terutama setelah Presiden Mesir Hosni Mobarak terjungkal akibat Arab Spring, dan penggantinya, Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin, juga terdepak.
ADVERTISEMENT
Arab Spring ialah gelombang demonstrasi besar di Afrika Utara dan Timur Tengah yang dimulai dengan Revolusi Tunisia yang menggulingkan Presiden Zine El Abidine Ben Ali, kemudian menyebar ke Mesir, Libya, Yaman, Suriah, dan Irak. Arab Spring inilah yang membuat Al Jazeera makin dikenal dunia.
Gelombang protes di Mesir. (Foto: Facebook Ikhwanul Muslimin )
zoom-in-whitePerbesar
Gelombang protes di Mesir. (Foto: Facebook Ikhwanul Muslimin )
Di masa Arab Spring --yang dimulai pertengahan Desember 2010, Al Jazeera menurut seorang mantan korespondennya, Aktham Suliman, memosisikan diri sebagai “suara perubahan”. Ia melakukan peliputan secara agresif, menyeluruh, dan terdepan, membuat masyarakat dapat merasakan-meresapi gelombang emosi gerakan Arab Spring.
Profesor Studi Timur Tengah di Universitas George Washington AS, Marc Lynch, seperti dikutip dari The New York Times, Januari 2011, menyatakan, “Mereka (Al Jazeera) tidak menyebabkan peristiwa ini (Arab Spring), tapi hampir mustahil membayangkan semua ini terjadi tanpa Al Jazeera.”
ADVERTISEMENT
Analis media Timur Tengah kelahiran Inggris, Adel Iskandar, menyebut Al Jazeera sebagai “bentuk transformasi dari media alternatif.” Ia menyajikan arah baru dalam arus berita global, dan menampilkan suara-suara yang kurang terwakili oleh media arus utama atau media tradisional.
Mengusung konsep bold perspectives, Al Jazeera mengusung tingkat kebebasan berbicara yang sama sekali baru, yang sebelumnya tak pernah ada di Timur Tengah. Ia menyajikan pandangan, yang menurut pemerintahan negara-negara Arab, kontroversial.
Siaran Al Jazeera kadang bahkan direspons dengan tindakan drastis. Hal ini contohnya terjadi akhir Januari 1999, ketika pengkritik pemerintah Aljazair tampil pada sebuah program siaran langsung Al Jazeera, The Opposite Direction.
ADVERTISEMENT
Saat program itu tayang, pemerintah Aljazair memotong pasokan listrik ke sebagian besar wilayah ibu kota dan daerah-daerah lain, agar acara itu tak dapat dilihat oleh masyarakat Aljazair.
Kantor Berita Al Jazeera. (Foto: REUTERS/Naseem Zeitoon)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Berita Al Jazeera. (Foto: REUTERS/Naseem Zeitoon)
Tak semua suara soal Al Jazeera bernada positif. Aktham Suliman, koresponden Al Jazeera yang mundur dari media itu pada akhir 2012, merasa tak dapat lagi bekerja independen. Ia mengatakan Al Jazeera berubah.
“Sebelum Arab Spring, kami adalah suara untuk perubahan --medium untuk pengkritik dan aktivis politik di seluruh kawasan. Tapi sekarang, Al Jazeera telah menjadi wadah propaganda. Laporan tidak berdasarkan prioritas jurnalistik, tapi lebih untuk kepentingan Kementerian Luar Negeri Qatar,” ujarnya.
Meski petinggi Al Jazeera mengatakan pemberitaan mereka bebas dari intervensi pemerintah Qatar, namun hal tersebut terus-menerus dipertanyakan dan diragukan.
ADVERTISEMENT
Pada 2010, WikiLeaks membocorkan kawat diplomatik komunikasi internal Kementerian Luar Negeri AS yang menyebut pemerintah Qatar memanipulasi pemberitaan Al Jazeera agar sesuai dengan kepentingan mereka.
September 2012, media Inggris The Guardian mempertanyakan independensi editorial Al Jazeera ketika Direktur Pemberitaan Salah Negm pada menit terakhir memerintahkan agar video berdurasi dua menit berisi debat PBB mengenai perang sipil Suriah, memasukkan pidato pemimpin Qatar, Hamad bin Khalifa Al Thani.
Staf-staf Al Jazeera saat itu disebut memprotes perintah tersebut, menyebut pidato Emir Qatar itu bukanlah aspek terpenting dalam debat.
Tahun yang sama, The Guardian juga menuding Qatar mencoba untuk mengendalikan Al Jazeera Inggris.
Kantor Berita Al Jazeera. (Foto: REUTERS/Naseem Zeitoon)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Berita Al Jazeera. (Foto: REUTERS/Naseem Zeitoon)
Akhir Mei kemarin, situs Al Jazeera dan seluruh media Qatar diblokir oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Bahrain --negara-negara yang kini memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar.
ADVERTISEMENT
Bermula dari Kantor Berita Qatar yang memuat berita tentang tentang pidato Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad al-Tsani, pada satu upacara militer.
Dalam pidato itu, Tamim disebut menyatakan bahwa Iran adalah “kekuatan besar”, bahwa Qatar memiliki hubungan “baik” dengan Israel, dan bahwa “Qatar sedang bersitegang dengan Presiden AS Donald Trump.”
Berita berisi ucapan Tamim itu lantas dipasang pada news ticker stasiun televisi Qatar, tanpa menayangkan video cuplikan pidatonya.
Pada news ticker tersebut, Tamim ditulis mengatakan “Iran mewakili kekuatan regional dan Islam yang tidak bisa diabaikan, sehingga tidak bijaksana jika melawan mereka. Iran adalah kekuatan besar dalam stabilitas di kawasan.”
Pemberitaan Qatar News Agency dan news ticker tersebut --yang belakangan berdasarkan hasil investigasi Qatar-AS-Inggris disimpulkan sebagai berita palsu yang ditanam hacker-- ditanggapi keras Saudi dan UEA dengan memblokir seluruh media Qatar, termasuk Al Jazeera yang terbesar.
ADVERTISEMENT
Kantor Berita Al Jazeera (Foto: REUTERS/Naseem Zeitoon)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Berita Al Jazeera (Foto: REUTERS/Naseem Zeitoon)
Wartawan BBC Arab, Feras Kelani, menyebut sejumlah sumber mengatakan Al Jazeera akan diminta untuk melakukan reformasi. Ia mungkin tak akan ditutup, namun sebagai syarat, kebijakan editorialnya harus diubah.
“Selama bertahun-tahun, Al Jazeera menjadi sumber pertengkaran negara-negara Teluk dan Mesir, bahkan sebelum masa jayanya meliput Arab Spring besar-besaran,” ujar Sultan Sooud al-Qassemi dari Uni Emirat Arab, seperti dilansir BBC, Kamis (8/6).
Tahun 2002 misalnya, Saudi berang atas liputan Al Jazeera tentang rencana perdamaian terkait konflik Palestina-Israel. Begitu marahnya Saudi sampai menarik duta besarnya dari Qatar. Dubes Saudi baru dikirim kembali ke Qatar enam tahun kemudian, 2008.
ADVERTISEMENT
Kali ini, dengan eskalasi konflik amat tinggi, Qassemi memprediksi negara-negara Teluk akan menuntut Al Jazeera ditutup sepenuhnya. Dan jika itu sampai terjadi, maka dampaknya bakal sangat besar --baik bagi ambisi media tersebut, juga untuk 3.000 lebih staf mereka yang tersebar di seluruh dunia.
Direktur Pelaksana Al Jazeera Inggris, Giles Trendle, mengatakan krisis Qatar saat ini merupakan “tantangan baru dan kondisi baru” bagi medianya.
“Al Jazeera tetap berkomitmen melanjutkan kepeloporan dan jurnalisme beraninya di seluruh dunia secara profesional, imbang, dan objektif,” kata Trendle.
Ia mengatakan bahwa hanya mereka yang ingin melihat satu sisi cerita, yang menganggap Al Jazeera bias terhadap Ikhwanul Muslimin atau kelompok lain.
ADVERTISEMENT
Al Jazeera, mau-tak mau, berada di pusat gempa krisis Qatar.