Angkasa dan Semesta Dusta

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
9 Oktober 2017 10:25 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Ya, menurut Anne Frank yang mati muda dalam Holocaust, manusia pasti menyimpan kebaikan di hati. Anne tewas pada usia 15 tahun di Bergen-Belsen, kamp konsentrasi Nazi di barat laut Jerman. Saat itu tahun 1945.
Sekarang, saya akan lompat tema dan masa ke pertengahan Agustus 2017, saat rekan saya di kumparan, Utomo Priyambodo, berbalas surel dengan Dwi Hartanto, ilmuwan Indonesia di Belanda lulusan Universitas Teknik Delft (TU Delft) yang sedang naik daun.
Angkasa (Foto: Pixabay)
“Dari kecil, saya suka melihat angkasa luas. Saya tidak hanya melihat dan menikmati, tapi tertarik untuk mengidentifikasi benda-benda langit dan memetakannya. Saya juga mencoba memahami sains di belakangnya,” kata Dwi Hartanto dalam emailnya.
Sepenggal ucapan Dwi itu membuat saya terpana dan membatin, “Ah, pantas saja besarnya jadi ilmuwan.”
ADVERTISEMENT
Saya secara personal merasa amat tertarik dengan berbagai kisah tentang seorang Dwi yang saya baca di berbagai media. Terutama karena cerita-cerita itu menyinggung minat dan peran Dwi pada proyek-proyek dirgantara internasional.
Itu sebabnya saya meminta Utomo untuk memasukkan Dwi ke dalam daftar wawancara. Saya yakin, detail ceritanya pasti menarik.
Apalagi Dwi di sejumlah media menyebut terlibat pengembangan proyek canggih pesawat tempur generasi ke-6 penerus Eurofighter Typhoon NG (Next Generation). Ini jelas teknologi tingkat tinggi Eropa, sehingga keberadaan seorang ilmuwan Indonesia di dalamnya tergolong langka sekaligus istimewa.
Bagi saya, menjadi agak ironi ketika Indonesia “bersusah payah” membeli Sukhoi Su-35--jet tempur generasi 4,5 buatan Rusia yang disebut-sebut memiliki kemampuan mendekati pesawat tempur siluman generasi 5 (stealth fighter), jika salah seorang warganya ternyata berada di jantung teknologi pesawat tempur siluman yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini belum ada jet tempur generasi ke-6 yang mengudara. Pesawat tempur dengan teknologi tercanggih yang mengangkasa ialah generasi ke-5 seperti F-35 Lightning II buatan Amerika Serikat.
F-35 dikembangkan lintas negara antaranggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)--AS, Inggris, Italia, Kanada, Norwegia, Denmark, Belanda, Turki, plus Australia. Produksi F-35 dipegang oleh konsorsium pimpinan Lockheed Martin AS yang bermitra dengan BAE Systems Inggris. Keduanya perusahaan industri dirgantara sekaligus produsen militer kenamaan dunia.
Selain F-35 Lightning II, Rusia via Sukhoi berencana meluncurkan jet tempur siluman mereka, Su-57 yang dijuluki The Ghost, merujuk pada aksinya yang tak terdeteksi radar dan bisa dikendalikan dari jarak jauh seperti drone.
Segala soal jet tempur memang memikat hati saya, sejak melihat atraksi garang Sukhoi Su-27 milik TNI Angkatan Udara di Surabaya beberapa tahun lalu. Siluman Rusia itu melintas tepat di samping saya--yang berdiri di Dermaga Ujung--dengan kecepatan tinggi diiringi raungan bising yang membuat ngilu gendang telinga.
ADVERTISEMENT
Lengkingan si burung besi sungguh menciutkan nyali, membuat kami yang berderet di sepanjang dermaga memekik kaget dan beringsut mundur.
Hebatnya, kontras dengan badannya yang kokoh kaku, Sukhoi-Sukhoi itu bermanuver lincah di langit--bersalto riang di udara dan berputar 360 derajat menantang angin laut.
Jet tempur Sukhoi. (Foto: Pixabay)
Mereka yang berada di balik jet-jet tempur canggih macam itu pastilah orang-orang luar biasa--mulai pilot di balik kemudi, teknisi, hingga ilmuwan yang menyusun dan mengembangkan detail rancangan pesawat.
Dan Dwi Hartanto, yang ramai dikabarkan sebagai pakar dirgantara baru kelas internasional dari Indonesia, membetot perhatian saya. Ia, pada emailnya kepada Utomo--yang kemudian di-forward ke saya--bercerita menjabat sebagai Technical Director di Airbus Defence and Space, dan Technology Lead di Spacecraft Research and Technology Centre Badan Antariksa Eropa (ESA).
ADVERTISEMENT
Saya sungguh-sungguh terbelalak membaca lembaran-lembaran kisah Dwi di email. Takjub sekaligus heran, dan merasa bodoh pula ketinggalan informasi.
Bagaimana mungkin saya tak tahu ada jenius dirgantara dunia asal Indonesia bernama Dwi Hartanto? Padahal, awal 2016 saat masih di CNN Indonesia, saya bersama tim menyusun liputan khusus tentang pesawat tempur KF-X/IF-X--yang dirancang Korea Selatan-Indonesia menjadi jet tempur generasi 4,5 sekelas Su-35 namun hingga kini belum juga rampung dan terus terkatung-katung karena masalah lisensi komponen.
Dwi bahkan sudah diwawancara dalam Mata Najwa edisi Goes to Netherlands yang tayang sekitar pertengahan November 2016--meski kini banyak orang berpendapat gerak geriknya saat itu sesungguhnya meragukan.
Sepanjang Februari 2016 saat menggarap liputan KF-X/IF-X, tim saya di CNN Indonesia turun mewawancarai sejumlah narasumber di Kementerian Pertahanan, PT. Dirgantara Indonesia, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Komite Kebijakan Industri Pertahanan RI, mantan Kepala Staf TNI AU, sampai “rival” BJ Habibie di masa lampau--dan dari kesemuanya itu, tak ada satu pun yang menyebut-nyebut nama seorang Dwi Hartanto, pakar dirgantara dunia asal Indonesia yang berkantor di Airbus, raksasa dirgantara Eropa, dan terlibat pengembangan Eurofighter Typhoon NG yang canggih.
ADVERTISEMENT
Setelah melakukan sedikit riset, saya melihat nama Dwi memang baru marak muncul di media-media nasional akhir 2016 dan awal 2017, meski sebelum itu pun, tepatnya Juni-Juli 2015, ia sudah sempat diberitakan karena salah satu keberhasilannya.
“Kandidat doktor di Technishe Universiteit Delft (TU Delft) Belanda Dwi Hartanto bersama tim berhasil meluncurkan Satellite Launch Vehicle (SLV) dari fasilitas tes roket dan alat tempur Ministerie van Defensie (Kementerian Pertahanan) Belanda,” demikian petikan artikel berjudul Mahasiswa Indonesia di Belanda Luncurkan Satelit.
Dwi Hartanto (Foto: PPI Delft)
Dwi mengatakan itu di salah satu emailnya, Agustus lalu. Dan saya membayangkan betapa bangganya ia, seperti juga ia ucapkan saat diwawancara dalam Mata Najwa.
ADVERTISEMENT
“Saya pertama kali diajak profesor saya untuk involve di beberapa project satelit. Dari situ, saya kenalan sama orang-orang di ring 1 ESA (European Space Agency) untuk terlibat di proyek-proyek yang lebih advance. Lalu mulai dipercaya step by step sampai diampu jadi technical director untuk project satelit dan rocket engineering. Saya satu-satunya orang non-Eropa yang masuk di ring 1 teknologi development di situ.”
Tak heran jika decak kagum banyak ditujukan untuknya. Apa sih rahasianya?
“Determinasi, endurance, dan passion adalah kunci untuk bisa bersaing dalam riset-riset elite dunia, untuk terus berkembang dan bergerak maju,” kata Dwi via email.
“Kita selalu menjadi bangsa konsumen. Padahal kalau memproduksi sendiri barang-barang berteknologi tinggi tersebut, kita bisa menjadi bangsa yang mandiri. Sehingga Indonesia sebagai bangsa besar bukan sekadar jargon.”
ADVERTISEMENT
“Kita punya potensi banyak di bidang kedirgantaraan. Tata letak demografi menguntungkan. Transportasi antardaerah antarpulau dengan menggunakan pesawat adalah potensi luar biasa. Indonesia mampu, sumber daya manusianya besar,” kata Dwi lagi.
Pendapat-pendapat umum Dwi itu memang benar. Sejak dulu, Indonesia bukannya dangkal soal dirgantara. Sebaliknya, industri ini tak pernah mati di Indonesia meski sempat melalui masa suram.
Kedirgantaraan RI terus berdenyut. Setelah CN-235 yang diproduksi IPTN bersama CASA Spanyol pada 1983 sukses dipasarkan, prototipe N-219 yang sepenuhnya buatan Indonesia (kerja sama PT. DI dan LAPAN) terbang perdana pada 16 Agustus tahun ini, tepat sehari sebelum peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Pengalaman PT. DI pula yang membuat Indonesia digandeng Korea Selatan sejak 2009 untuk mengembangkan pesawat tempur Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment (KF-X/IF-X)--yang belum tuntas sampai sekarang.
Dwi Hartanto (Foto: Dok. Dwi Hartanto)
Pamor Dwi makin menanjak di tanah air setelah acara Visiting World Class Professor yang digelar Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada 17-24 Desember 2016. Ini acara diskusi, tukar pikiran, dan kolaborasi riset antara para akademisi nasional dengan ilmuwan diaspora Indonesia yang memiliki reputasi baik di level internasional.
ADVERTISEMENT
Visiting World Class Professor yang ditujukan untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dengan mengundang puluhan ilmuwan Indonesia di luar negeri pada 2016 turut mengundang Dwi Hartanto.
Dr. Deden Rukmana, Profesor dan Koordinator Urban Studies and Planning di Savannah State University, AS, yang juga mengikuti acara itu, menceritakan pertemuannya dengan Dwi Hartanto dalam “Surat Terbuka tentang Ilmuwan Indonesia” yang ia unggah di Facebook pada pekan lalu, Senin 2 Oktober.
Deden mengatakan, bangga bertemu Dwi yang masih muda tapi sudah menyandang jabatan asisten profesor bidang kedirgantaraan di TU Delft. Ia makin bangga mengenal Dwi karena Dwi kemudian diberitakan bakal meneruskan sepak terjang BJ Habibie dalam dunia dirgantara Indonesia.
Namun kebanggaan dan kekaguman Deden mulai runtuh saat menerima dokumen investigasi atas Dwi di salah satu grup WhatsApp. Investigasi dilakukan oleh rekan-rekan Indonesia di TU Delft yang mengenal Dwi secara personal.
ADVERTISEMENT
Inti hasil investigasi itu: cerita Dwi yang disampaikan dalam wawancaranya dengan berbagai media nasional adalah rekaan semata.
“Saya mengetahui kasus kebohongan publik yang dilakukan oleh Dwi Hartanto dan tidak bisa diam… Bilamana saya diam, berarti saya ikut ‘membenarkan’ kebohongan yang dibuat olehnya. Keterlibatan dia dalam kegiatan Visiting World Class Professor adalah kerugian yang mesti ditanggung oleh pembayar pajak dan warga Indonesia. (Sebab) perjalanannya ke Indonesia dibiayai oleh panitia dan ia diberi honor atas aktivitasnya dalam kegiatan tersebut. Dwi Hartanto mesti bertanggung jawab atas kebohongannya yang merugikan banyak pihak di Indonesia.”
Kebohongan Dwi, kata Deden, juga merusak nama baik ilmuwan. Padahal ilmuwan adalah profesi yang memerlukan integritas dan kode etik tinggi.
ADVERTISEMENT
Sehari setelah Dr. Deden Rukmana mengunggah “Surat Terbuka tentang Ilmuwan Indonesia” di Facebook, Dwi Hartanto berkirim email pada saya, Selasa 3 Oktober. Saat itu, saya belum membaca postingan Deden.
“Saya sedang mendapat musibah dan cobaan. Minta tolong untuk meng-cancel semua wawancara tentang saya. Mohon maaf sebesar-besarnya,” ujar Dwi, singkat.
Saya yang sedang sibuk oleh hal lain, kaget membaca email Dwi yang janggal. Sangat kontras dibanding email-email dia sebelumnya yang hangat dan tak segan bicara panjang lebar tentang pekerjaannya.
Dwi saat itu sesungguhnya berkirim email untuk membalas pertanyaan saya tentang sejumlah hal: kisah masa kecilnya, dan bahan sensitif yang menurutnya harus ia “bicarakan ulang” dengan Airbus.
Sejak Dwi meminta Utomo, rekan saya, untuk menunda penayangan artikel-artikel tentang dia dengan alasan “mengandung materi sensitif terkait produk defense and military weapon”, saya menghubungi langsung Dwi via email untuk menanyakan duduk perkaranya.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, saya merasa ganjil karena Dwi tiba-tiba merasa “tidak aman” dengan apa yang telah ia sampaikan selama wawancara putus-sambung via email sepanjang Agustus. Sebab sebetulnya, apa yang ia ucapkan sebagian telah dimuat oleh media lain. Saya hanya mendetailkan pada beberapa topik.
Sampai akhirnya Minggu, 8 Oktober, surat Klarifikasi dan Permohonan Maaf Dwi Hartanto--yang ia tanda tangani di atas meterai dari Delft sehari sebelumnya, Sabtu 7 Oktober--tersebar luas di Indonesia. Berikut petikannya:
• Tidak benar bahwa saya adalah kandidat doktor di bidang space technology & rocket development. Saya adalah kandidat doktor di bidang Interactive Intelligence (Departemen Intelligent Systems).
• Tidak benar bahwa saya dan tim telah merancang bangun Satellite Launch Vehicle. Yang benar adalah bahwa saya pernah menjadi anggota dari sebuah tim beranggotakan mahasiswa yang merancang salah satu subsistem embedded flight computer untuk roket Cansat V7s milik DARE (Delft Aerospace Rocket Engineering), yang merupakan bagian dari kegiatan roket mahasiswa di TU Delft.
ADVERTISEMENT
• Proyek ini adalah proyek roket amatir mahasiswa. Proyek ini bukan proyek dari Kementerian Pertahanan Belanda, bukan proyek Pusat Kedirgantaraan dan Antariksa Belanda (NLR), bukan pula proyek Airbus Defence ataupun Dutch Space. Mereka hanya sebagai sponsor-sponsor resmi yang memberikan bimbingan serta dana riset.
• Tidak benar bahwa saya sedang melakukan Post-doctoral maupun sebagai Assistant Profesor TU Delft. Yang benar adalah saat wawancara terjadi hingga saat ini saya merupakan mahasiswa doktoral.
• Tidak benar juga bahwa saya bergerak dalam penelitian di bidang satellite technology and rocket development. Topik penelitian doktoral saya saat ini adalah dalam bidang intelligent systems khususnya virtual reality.
• Proyek yang diekspose dalam program Mata Najwa bukan suatu proyek strategis untuk ISS (International Space Station). Proyek itu adalah proyek roket mahasiswa Stratos dari ekstrakurikuler mahasiswa DARE TU Delft… Itu pun peranan teknis saya saat itu adalah pada pengembangan flight control module dari roket tersebut.
ADVERTISEMENT
• Saya bukan technical director pada proyek roket dan satelit tersebut di atas.
• Dengan demikian informasi bahwa saya satu-satunya orang non-Eropa yang masuk di ring 1 teknologi ESA adalah tidak benar.
Dwi Hartanto (Foto: Dok. Dwi Hartanto)
Kasus kebohongan publik Dwi Hartanto, menurut Dr. Deden, tak terlepas dari peran media massa yang tak mengecek berita yang dimuat. Dan saya mengamininya, pun nyaris melakukan hal serupa.
Saat membaca ulang email-email dari Dwi, meyusuri satu per satu kalimatnya yang hangat dan optimistis--kadang kelewat berani pada perkara yang mestinya sensitif, hati saya serasa campur aduk.
“Saya ingin terus bersumbangsih dengan karya-karya yang lebih baik untuk membantu umat manusia lebih maju secara peradaban teknologi,” ujar Dwi.
Langit malam. (Foto: Thinkstock)
Hidup memang tak selamanya putih. Bayang hitam kadang jadi tamparan penting untuk melangkah ke depan. Dwi yang telah menulis lima lembar surat klarifikasi dan permohonan maaf “atas kesadaran penuh dari diri sendiri” mestinya telah belajar banyak.
ADVERTISEMENT
Apa yang telah diperbuat sudah tentu harus dipertanggungjawabkan. Tapi bukan berarti kesalahan menghalangi orang untuk bisa menjadi lebih baik.
Saya menutup kisah panjang ini dengan kembali ke kalimat pembuka oleh Anne Frank: all of us are born with a basic goodness.
Semoga. Karena angkasa adalah ruang terbuka bagi yang sungguh mencintanya.
Pesawat melintas di langit. (Foto: Pixabay)