news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Bakteri yang Dicuri

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
10 Mei 2020 7:09 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Louis Reed/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Louis Reed/Unsplash
ADVERTISEMENT
Bakteri yang Dicuri. Bukan, aku bukannya mau membahas teori konspirasi apa pun di tengah pandemi global yang tak beres-beres seperti sekarang. Ini akhir pekan, dan sebaiknya—kalau bisa—aku menjaga kewarasan dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan. Karena, siapa yang tahu akan sampai kapan wabah ini berlangsung?
ADVERTISEMENT
Jadi, “Bakteri yang Dicuri” yang kumaksud itu adalah salah satu judul cerita pendek H.G. Wells, satu di antara barisan penulis kenamaan Inggris. Cerpen itu ada dalam buku koleksi cerpen H.G. Wells—versi terjemahan Indonesia—yang kudapat entah dari mana beberapa tahun lalu.
Sayangnya, sejak pertama kali aku memegang buku itu, aku langsung hilang selera. Mari kutunjukkan penggalan cerita di dalamnya:
“Ini adalah benda mematikan yang engkau miliki,” katanya, sambil memelototi tabung kecil itu dengan matanya. Bakteriolog itu menyaksikan kesenangan tidak wajar pada ekspresi tamunya. Orang ini, yang telah mengunjunginya sore itu dengan surat pengantar dari seorang teman lama, menarik baginya karena keadaan mereka yang bertolak belakang. Dia bertubuh kurus dengan rambut hitam dan mata abu-abu tua, ekspresinya kuyu dan cemas, dia tampak gelisah namun sangat tertarik dan itu sangat berbeda dengan pembawaan tenang pekerja ilmiah yang biasa berhubungan dengan bakteriolog itu. Hal itu mungkin wajar saja, dengan seorang pendengar yang jelas-jelas sangat mengesankan tentang sifat topik yang sangat penting ini, untuk mengambil aspek paling efektif dari masalah ini.
ADVERTISEMENT
Kalimat terakhir, terutama, langsung membuatku pusing. Aku tak percaya itu tulisan asli H.G. Wells—meski tentu saja terjemahan memang bukan tulisan asli si pengarang.
Lama aku tak membuka lagi buku itu sampai beberapa hari lalu, Mas Sulak (AS Laksana) lewat surel kepada murid-muridnya antara lain berkata, “Perbaiki kalimat terjemahan yang anda pikir tidak enak itu. Percayalah bahwa para penulis hebat pasti menulis kalimat bagus. Jika kalimat terjemahannya terasa tidak enak dibaca, pasti terjemahan itu keliru. Maka, anda perlu membereskan kalimat itu agar lebih enak dibaca.”
Membaca pesan itu, aku langsung teringat pada buku yang pernah membuatku “trauma” itu. Aku mengeluarkannya dari sudut rak tergelap yang tak terlihat pandangan mata, dan membukanya lagi—dan tetap dilanda rasa pening yang sama.
ADVERTISEMENT
Begini, dalam kasus cerpen terjemahan yang satu ini, aku bahkan tak tahu bagaimana cara “membereskan kalimat itu” seperti yang diminta Mas Sulak. Maka, alih-alih mempersulit diri, aku langsung mencari versi asli ceritanya di Google, membacanya di web American Literature, dan malah berakhir semakin mempersulit diri dengan mencoba menerjemahkannya sendiri—aku kadang-kadang memang agak gila, biar saja.
Aku sekadar penasaran: seperti apa sih menerjemahkan cerita? Lagi pula, untungnya, cerpen ini masih Bahasa Inggris, bukan bahasa-bahasa lain yang tak pernah kupelajari sama sekali.
Ternyata, memang sukar. Sebab, aku harus bisa membayangkan kondisi London—yang menjadi latar cerita ini—untuk bisa menerjemahkan dengan baik keseluruhan kisah. Hmm, dan aku bukan Mas Dalipin, mentorku di kantor, yang pernah 14 tahun tinggal di London. Aku bahkan belum pernah ke Inggris—yang angka kematian karena kasus coronanya kini tertinggi di Eropa. Sejauh ini, aku cuma tahu London dari novel-novel, berita-berita, dan film-film.
ADVERTISEMENT
Kembali ke “bakteri” milik H.G. Wells itu, ternyata menerjemahkan dan membaca bisa terasa jauh berbeda. Kalau “cuma” membaca, aku bisa melakukannya lumayan cepat. Tapi untuk menerjemahkan si “bakteri”, walau hanya beberapa halaman, ini yang aku alami:
ADVERTISEMENT
Kupikir-pikir, susah juga memang. Aku perlu browsing ini itu demi menangkap atmosfer yang dibuat si pengarang. Alhasil, sambil melakukan hal-hal lain yang tentu saja tak bisa kutinggalkan, aku butuh dua hari untuk menerjemahkan cerita itu.
Sekarang, kuhadiahkan cerita itu—terjemahan pertamaku, yang sudah pasti tak sempurna—untukmu (yang ingin tahu, tentunya). Tapi, kalau aku ditanya: apakah berniat melakukannya lagi? Hmm, sepertinya tidak, hehehe...
BAKTERI YANG DICURI
H.G. Wells
Foto: Chokniti Khongchum/Pexels
“Ini juga,” ujar bakteriolog itu sambil menyelipkan slide kaca pada bagian bawah mikroskop, “adalah preparat basil kolera yang terkenal—kuman kolera.”
Lelaki berwajah pucat itu mengintip ke dalam mikroskop. Dia tampak tak terbiasa dengan hal semacam itu. Ia mengangkat tangannya yang putih lemas ke atas matanya yang seperti hendak lepas. “Saya hanya melihat sedikit,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Putar sekrup ini,” kata sang bakteriolog. “Mungkin mikroskop itu tak fokus buat anda. Mata orang sangat berbeda-beda. Perubahan sudut sedikit saja bisa mempengaruhi.”
“Ah, sekarang saya melihatnya,” ujar si tamu. “Tapi tak terlalu banyak yang bisa dilihat. Goresan-goresan kecil dan serpihan-serpihan merah muda. Namun tetap saja, partikel-partikel kecil ini, yang hanya sekadar atom, dapat berlipat ganda dan menghancurkan sebuah kota! Luar biasa!”
Ia berdiri dan melepas slide kaca dari mikroskop, memegangnya dengan tangan dan mengarahkannya ke jendela. “Hampir tak terlihat,” katanya, mengamati preparat itu.
Ia terlihat ragu-ragu. “Apakah bakteri-bakteri ini hidup? Apakah mereka berbahaya?”
“Bakteri-bakteri itu telah dilumpuhkan dan dimatikan,” ujar sang bakteriolog. “Saya sendiri berharap kita dapat memusnahkan mereka semua di dunia ini.”
ADVERTISEMENT
“Saya rasa,” kata lelaki pucat itu dengan senyum tipis, “bukan perhatian anda untuk menyimpan bakteri-bakteri ini dalam keadaan hidup—dalam kondisi aktif?”
“Sebaliknya, kami harus melakukannya,” kata si bakteriolog. “Ini, misalnya…” Ia berjalan melintasi ruangan dan mengambil salah satu tabung yang disegel.
Foto: Chokniti Khongchum/Pexels
“Ini bakteri hidup. Ini pengembangan dari bakteri penyakit yang betul-betul masih hidup.” Ia sejenak ragu, lalu berkata, “Bisa dibilang botol kolera.”
Sekelebat kilat kepuasan muncul sesaat di wajah si lelaki pucat.
“Yang anda miliki itu sesuatu yang mematikan,” katanya, menatap tabung kecil itu dengan pandangan intens.
Bakteriolog itu melihat kesenangan yang tak wajar pada ekspresi tamunya. Lelaki ini, yang mengunjunginya sore itu dengan surat pengantar dari seorang kawan lama, menarik perhatiannya karena perbedaan mereka.
ADVERTISEMENT
Rambut hitam tipis dan mata kelabu gelap, tampilan liar dan sikap gugup, tamunya yang resah namun menunjukkan minat dan kegairahan itu berkebalikan dari pembawaan dingin ilmuwan kebanyakan seperti si bakteriolog.
Maka mungkin wajar, berhadapan dengan seorang pendengar yang jelas-jelas mudah dibuat kagum oleh sifat mematikan dari topik yang menjadi keahliannya, sang bakteriolog memilih bahasan paling mengesankan terkait perkara tersebut.
Ia menggenggam tabung di tangannya sambil berpikir dalam. “Ya, ini wabah yang dikurung. Hanya dengan memecah tabung kecil ini ke dalam wadah suplai air minum, kemudian katakan pada mikroorganisme ini, yang harus dilumpuhkan dan diteliti oleh mikroskop berteknologi tinggi hanya untuk melihatnya, yang tak dapat dicium maupun dirasa—ucapkan pada mereka, ‘Keluarlah, bertambahlah dan berkembangbiaklah, penuhi reservoir,’ maka kematian—kematian misterius yang tak dapat dilacak, kematian yang cepat dan mengerikan, kematian yang penuh kesakitan dan penghinaan—akan merajalela di kota ini. Ia akan pergi ke sana kemari mencari korban. Ia akan mengambil suami dari istrinya, anak dari ibunya, negarawan dari tugasnya, dan pekerja keras dari kesusahannya.”
ADVERTISEMENT
“Ia akan mengikuti saluran air, merayap di sepanjang jalan, menemukan dan melahap orang seisi rumah di sana sini yang tak merebus air minumnya, lalu merambat ke dalam sumur-sumur produsen air mineral, membasuh salad, dan diam bersemayam di bongkahan es. Ia akan menunggu di palung kuda, juga di air mancur-air mancur publik, untuk diminum anak-anak yang tak waspada. Ia akan meresap ke dalam tanah, muncul kembali di ribuan mata air dan sumur yang tak terduga. Sekali ia memulainya dari tempat pasokan air, sebelum kita dapat mengurung dan memerangkapnya kembali, ia akan menghancurkan kota.”
Ia tiba-tiba berhenti bicara. Ia pernah diberi tahu bahwa retorika adalah kelemahannya.
“Tapi, dia cukup aman di tabung ini, anda paham—cukup aman,” kata bakteriolog itu.
ADVERTISEMENT
Lelaki berwajah pucat mengangguk. Matanya bersinar dan ia berdeham. “Anarkis-anarkis ini—para bajingan,” ujarnya, “adalah orang-orang bodoh. Benar-benar tolol—menggunakan bom ketika hal semacam ini dapat dilakukan. Saya rasa—”
Ketukan lembut, tak lebih dari sentuhan ringan kuku jari, terdengar. Sang bakteriolog membuka pintu. “Hanya sebentar, sayang,” bisik istrinya.
Foto: Hans Reniers/Unsplash
Ketika ia masuk kembali ke dalam laboratorium, tamunya sedang melihat arloji. “Saya tak sadar telah menghabiskan waktu anda selama sejam. Ini 15.48. Seharusnya saya pamit jam 15.30, tapi segala sesuatu di sini terlalu menarik. Tapi, saya jelas tak bisa tinggal lebih lama lagi. Saya punya janji jam empat.”
Lelaki pucat melintas keluar ruangan sambil mengulangi ucapan terima kasihnya, dan sang bakteriolog mengantarnya ke pintu depan, lalu berjalan kembali ke laboratoriumnya sembari merenung. Ia menebak-nebak etnis tamunya yang baru pulang. Pria itu jelas bukan orang Jerman atau Latin.
ADVERTISEMENT
“Aku khawatir, jangan-jangan ia keluaran tak wajar,” kata bakteriolog itu pada dirinya sendiri. “Betapa ia memandang begitu tamak pada pengembangan kuman-kuman penyakit!”
Pikiran mengganggu mendadak muncul di benaknya. Ia berbalik ke bangku dekat sterilisasi uap, lantas dengan cepat menuju meja tulisnya. Berikutnya ia memeriksa sakunya dengan tergesa-gesa, kemudian bergegas ke pintu. “Mungkin aku menaruhnya di meja aula,” ujarnya.
“Minnie!” serunya dengan suara serak di aula.
“Ya, sayang,” terdengar suara dari kejauhan.
“Apakah aku memegang sesuatu di tangan ketika tadi berbicara denganmu, sayang?”
Minnie, istrinya, terdiam.
Hening sejenak.
“Tidak, sayang, karena aku ingat—”
“Cairan biru!” teriak si bakteriolog. Ia segera berlari ke pintu depan dan menuruni tangga rumahnya menuju jalanan.
ADVERTISEMENT
Minnie, yang mendengar pintu dibanting keras, berlari tergopoh-gopoh ke arah jendela. Di jalan, seorang pria ramping terlihat masuk ke dalam kereta kuda. Sementara sang bakteriolog, tanpa topi dan masih mengenakan sandal rumah, berlari sambil menggerakkan tangannya dengan liar ke arah kerumunan. Satu sandalnya lepas, tapi ia mengabaikannya.
“Dia sudah gila!” kata Minnie; “gara-gara sains mengerikan itu.” Minnie lalu membuka jendela, berniat memanggil suaminya.
Foto: Chait Goli/Pexels
Di dalam kereta kuda, si pria ramping sekonyong-konyong memandang berkeliling, tampak terpesona oleh gagasan serupa tentang gangguan mental. Ia menunjuk terburu-buru pada sang bakteriolog, mengatakan sesuatu kepada sais, lalu pintu kereta kuda terbanting, cemeti terayun, langkah kuda berderap, dan dalam sekejap, bakteriolog yang mengejar kencang telah surut dari pandangan dan menghilang di tikungan.
ADVERTISEMENT
Minnie tetap melongok keluar jendela selama beberapa saat. Ia kemudian menarik kepalanya masuk ke dalam ruangan. Ia tercengang. “Tentu saja dia eksentrik,” renungnya. “Tapi berlarian di jalanan London, di puncak musim, hanya dengan kaus kaki!” Perasaan riang menyergapnya.
Ia cepat-cepat memakai penutup kepala, menyambar sepatunya, menuju aula, mengambil topi suaminya dan mantel tipis dari gantungan, muncul di ambang pintu, dan memanggil kereta kuda yang kebetulan lewat. “Putari Havelock Crescent, dan mari lihat apakah kita bisa menemukan seorang pria berkeliaran dengan mantel beludru tanpa topi.”
“Mantel beludru, Nyonya, dan tanpa topi. Baik, Nyonya.” Dan si kusir segera melecut kudanya dengan tenang, seolah-olah ia berkendara ke tujuan itu setiap hari dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, beberapa menit kemudian, sekelompok kecil kusir dan pengangguran yang bergerombol di sekitar permukiman sais di Haverstock Hill terkejut oleh lewatnya kereta kuda yang dilecut kencang-kencang.
Mereka diam beberapa saat, dan kemudian ketika pulih dari kekagetan—”Itu Harry Hicks. Apa yang terjadi padanya?” kata pria tegap yang dikenal sebagai si Tua Tootles.
“Dia menggunakan cemetinya, dia belok ke kanan,” kata bocah penjaga kuda.
“Nah!” kata Tommy Byles tua, “Ini bedebah gila lainnya.”
“Itu si tua George,” ujar si tua Tootles, “dan dia berkendara seperti orang gila, persis katamu. Aku penasaran apakah dia mengejar Harry Hicks.”
Kerumunan di sekitar permukiman sais itu menjadi bergairah. Mereka berteriak, “Ayo, George! Ini balapan. Kau akan mengejar mereka. Bersemangatlah!”
ADVERTISEMENT
Si tua Tootles mendadak berseru, “Coba tebak! Sini! Sebentar lagi. Ini dia, ada lagi yang datang. Apakah semua kereta kuda di Hampstead jadi gila pagi ini?!”
“Perempuan itu mengikuti lelaki itu,” kata si tua Tootles. “Biasanya sebaliknya.”
“Apa yang ia pegang?”
“Sepertinya topi tinggi.”
“Benar-benar permainan yang mengasyikkan! Tiga-satu untuk George tua,” sahut bocah penjaga kuda. “Berikutnya!”
Minnie melintas diiringi tepuk tangan meriah. Ia tak menyukainya, tapi ia merasa sedang melakukan tugasnya, dan ia melaju kencang di Haverstock Hill dan Jalan Raya Camden Town dengan mata tertuju pada punggung George tua yang—tanpa dapat ia mengerti—membawa suaminya yang bak gelandangan menjauh darinya.
Foto: Agnieszka Kowalczyk/Unsplash
Lelaki di kereta kuda paling depan duduk meringkuk di sudut. Kedua lengannya terlipat rapat, dan tabung kecil yang berisi probabilitas kehancuran tercengkeram di tangannya. Perasaannya campur aduk antara ketakutan dan kegembiraan yang meluap. Ia terutama takut tertangkap sebelum dapat menuntaskan rencananya. Namun di balik itu, tersimpan ketakutan samar namun lebih besar akan kejahatannya yang keji. Tapi, kegembiraannya melampaui semua itu.
ADVERTISEMENT
Tak ada Anarkis sebelum dia yang pernah mencapai pemikiran ini. Ravachol, Vaillant, semua orang terhormat yang reputasinya membuatnya mendengki, kini menyusut menjadi tak penting baginya. Ia hanya perlu memastikan pasokan air, dan memecahkan tabung kecil itu ke dalam reservoir. Betapa cemerlang rencananya, memalsukan surat pengantar dan masuk ke laboratorium. Dan betapa brilian ia memanfaatkan kesempatannya.
Dunia akhirnya harus mendengarkannya. Semua orang yang telah mencemoohnya, mengabaikannya, memilih orang lain ketimbang dia, beranggapan perusahaannya tak diinginkan, pada akhirnya harus mempertimbangkan dia. Sekarang: maut, maut, maut!
Mereka selalu memperlakukannya sebagai pria yang tak penting. Seluruh dunia berkonspirasi merintanginya. Kini ia akan mengajari mereka tentang arti mengasingkan seorang lelaki. Eh, jalan apa yang terasa familier ini? Oh, tentu saja Great Saint Andrew’s Street. Dan bagaimana kelanjutan pengejaran terhadapnya? Ia melongok keluar dari kereta kuda. Si bakteriolog hampir 45 meter di belakangnya. Ini buruk. Dia akan tertangkap dan dihentikan. Ia mencari-cari uang di sakunya, dan menemukan setengah sovereign (koin emas Inggris).
ADVERTISEMENT
Ia mencondongkan tubuh dan menjulurkan tangannya yang memegang koin ke depan wajah kusirnya. “Akan saya tambah,” serunya, “kalau kita bisa lebih cepat.”
Uang itu lekas berpindah dari tangannya ke genggaman sais. “Baik,” kata kusir itu, dan lecutan cemeti terkibas di sepanjang sisi kuda yang mengkilap.
Pedati itu berguncang, dan sang anarkis, yang masih separuh berdiri di kabin kereta, meletakkan tangannya yang memegang tabung kaca ke tepian kabin untuk menjaga keseimbangan. Ia kemudian merasakan tabung rapuh itu retak, dan separuh bagiannya yang terbelah menggelinding ke lantai kereta.
Anarkis itu menghempaskan tubuh ke kursi sambil mengumpat, dan memandang muram pada dua atau tiga tetes cairan yang tumpah di kabin.
Ia bergidik. “Baiklah, kurasa aku akan jadi yang pertama. Fiuh! Bagaimanapun, aku akan menjadi martir. Itu penting. Tapi itu adalah kematian yang menjijikkan. Aku penasaran apakah itu sesakit yang mereka katakan.”
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba, sebuah gagasan terlintas di benaknya. Ia meraba-raba di antara dua kakinya. Sedikit cairan masih terlihat pada ujung tabung yang retak. Ia meminumnya untuk memastikan. Lebih baik memastikannya. Pokoknya, ia tak akan gagal.
Ia lalu sadar tak perlu lagi menghindar dari kejaran sang bakteriolog. Maka di Jalan Wellington, ia meminta kusir untuk berhenti, dan ia turun. Ia tergelincir dan kepalanya terasa aneh. Betapa cepat racun kolera ini bekerja.
Separuh kehilangan kesadaran, ia melambaikan tangan ke arah kusirnya, dan berdiri di trotoar dengan kedua lengan terlipat ke dada, menanti kedatangan si bakteriolog. Ada sesuatu yang mengenaskan pada posturnya itu. Pemahaman bahwa ia akan segera mati memberinya martabat tertentu. Dia pun menyapa pemburunya dengan tawa menantang.
ADVERTISEMENT
“Hidup Anarki! Engkau terlambat, kawanku. Aku sudah meminumnya. Kolera tengah tersebar!”
Sang bakteriolog, dari kereta kuda yang ia tumpangi, memandangnya aneh dengan sorot berseri-seri melalui kacamatanya.
“Kamu telah meminumnya! Seorang anarkis! Saya mengerti sekarang.” Ia hendak mengatakan sesuatu yang lain, namun menahannya. Senyum terbit di sudut bibirnya. Dia membuka pintu keretanya, seolah akan turun ke tempat si anarkis melambaikan perpisahan dramatis kepadanya dan melangkah pergi menuju Jembatan Waterloo sambil dengan sengaja mencondong-condongkan tubuhnya yang terinfeksi ke sebanyak mungkin orang.
Bakteriolog itu begitu asyik memperhatikan si anarkis sehingga hampir tak terkejut melihat kemunculan Minnie di trotoar dengan membawa topi, sepatu, dan mantelnya. “Engkau sangat baik telah membawakan barang-barangku,” katanya, masih hanyut dalam lamunan akan sosok si anarkis yang surut dari pandangan.
ADVERTISEMENT
“Lebih baik kau masuk duluan ke dalam kereta,” ujar sang bakteriolog kepada istrinya, masih menatap ke kejauhan. Minnie sekarang benar-benar yakin bahwa suaminya gila. Ia mengarahkan kusir untuk mengambil jalan kembali ke rumahnya.
Foto: JØNΛS/Unsplash. Omong-omong, gambar ini jelas cuma ilustrasi. Tak mungkin ada mobil macam itu pada masa kisah “bakteri” ini terjadi. Kereta kuda itu bahkan bukan di London.
“Pakai sepatu? Tentu, sayang,” kata si bakteriolog ketika kereta kuda mulai berbalik, dan menyembunyikan sosok hitam yang berjalan angkuh di kejauhan. Selanjutnya, sesuatu yang aneh menyambar benaknya, dan ia tertawa. Ia lalu berkata, “Bagaimanapun, ini benar-benar sangat serius.”
“Kau tahu, pria itu datang ke rumah untuk menemuiku, dan dia seorang anarkis. Jangan, jangan pingsan, atau aku tak bisa menceritakan sisa kisahnya. Tadinya aku tak tahu dia anarkis, dan ingin membuatnya takjub dengan mengambil sampel pengembangan spesies baru bakteri yang telah kuberitahukan padamu, yang kurasa menyebabkan bercak-bercak biru pada berbagai jenis monyet. Dan seperti orang tolol, aku bilang itu kolera Asia. Dan dia kabur dengan racun itu ke reservoir London, dan sudah pasti dia akan membuat segalanya tampak biru di kota beradab ini. Dan sekarang dia telah menelan cairan itu.”
ADVERTISEMENT
“Tentu saja aku tak bisa mengatakan apa yang akan terjadi, tapi kau tahu cairan itu mengubah anak kucing itu menjadi biru, juga tiga anak anjing, dan burung pipit itu—biru cerah. Masalahnya, sekarang aku akan mengalami kesulitan dan mengeluarkan biaya lebih untuk menyiapkan sampel bakteri serupa lebih banyak lagi.”
“Memakai mantelku di hari yang panas ini! Kenapa? Karena kita mungkin bertemu Nyonya Jabber? Sayangku, Nyonya Jabber bukan wajib militer. Kenapa kita harus mengenakan mantel pada hari yang panas karena Nyonya——Oh! Baiklah.”
***