Bumi Bergerak

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
2 Januari 2019 10:39 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bumi Bergerak
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Bola Bumi. (Foto: Nali Wike/Pixabay)
Bukan cuma zaman yang bergerak. Bumi juga bergerak. Ia tak pernah statis, selalu dinamis. Dengan rentang usia panjang yang tak tertandingi manusia—yang kadang lupa tak bakal hidup selamanya.
ADVERTISEMENT
Saya pertama kali menyadari Bumi aktif bergerak saat duduk di bangku sekolah. Bukan dari buku pelajaran sekolah yang “terpaksa” saya baca.
Saya tak pernah terlalu suka belajar. Sewaktu kecil, misal, saya lebih berminat dengan rubrik kriminal Intisari dan buku-buku cerita detektif karangan Enid Blyton ketimbang buku-buku sekolah yang—menurut saya kala itu—membosankan.
Bumi Bergerak (1)
zoom-in-whitePerbesar
Bumi. (Foto: Skeeze/Pixabay)
Enlightment soal Bumi bergerak saya alami ketika menonton video Ensiklopedia Microsoft Encarta. Ini ensiklopedia digital multimedia yang sekarang mangkat tergilas Wikipedia. Ensiklopedia berbentuk CD-ROM itu saya peroleh saat bapak saya membeli komputer pertama keluarga kami tahun 1990-an.
Bersama komputer putih yang datang ke rumah—lengkap dengan lisensi Microsoft menyertai, terselip CD-ROM Ensiklopedia Encarta itu.
Untuk kehadiran ensklopedia multimedia yang “mewah” itu, saya selamanya berterima kasih. Sebab, secara tak langsung, saya jadi banyak belajar darinya. Ia jauh dari kata membosankan. Pada CD-ROM tipis itu, termuat ratusan video, klip, motion graphic, foto, sampai permainan interaktif.
ADVERTISEMENT
Saya yang biasa terpaku pada teks pada buku-buku, langsung terpana dengan segala visual canggih itu. Sebuah dunia yang belum pernah saya sentuh sebelumnya.
Tak perlu lama bagi saya untuk memutuskan menyusuri satu per satu isi Ensiklopedia Encarta. Berjam-jam saya habiskan di depan layar komputer—hingga satu saat saya bertemu “Pangea”.
Bumi Bergerak (2)
zoom-in-whitePerbesar
Benua super “Pangea". (Foto: S. Brune, GPlates via EurekAlert!)
Ya, Pangea—benua tunggal gigantik di awal Bumi terbentuk.
Saat melihat video tentang bagaimana Bumi bergerak—yang bukan sekadar berotasi, saya semacam mengalami momen keajaiban Helen Keller.
Saya seperti tersentak, “Oh, jadi selama ini aku menapak di tanah yang terus bergerak.”
Bumi ini bukan cuma berputar mengelilingi matahari dan berotasi pada sumbunya, tapi juga bergolak di intinya, pada lempeng-lempeng tanah di dalamnya yang berlapis-lapis.
ADVERTISEMENT
“Oh, karena itu terjadi gempa, gunung meletus, tsunami.”
Betapa menarik, pikir saya ketika itu—yang lalu berulang-ulang menonton motion graphic soal pergerakan benua di Bumi.
Bumi Bergerak (3)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bumi. (Foto: PIR04D/Pixabay)
Momen “pencerahan” waktu itu senantiasa saya ingat, terlebih kini saat negeri banyak dilanda bencana.
Itu sebabnya saya menuliskan pengetahuan—yang sebetulnya secara garis besar sederhana—tersebut ke dalam Liputan Khusus “Negeri Seribu Gempa” yang saya susun bersama rekan-rekan di kumparan pasca-gempa dan tsunami di Palu.
Artikel “Berdiam di Tanah Bergerak: Kisah Negeri Seribu Gempa” itu saya buka dengan kutipan dari film dokumenter Wildest Islands of Indonesia: Volcano Nation.
Ini tentang negeri yang lahir dari api. Negeri dengan gunung berapi paling banyak di dunia, yang mengapung di pusat cincin api Pasifik—tempat sebagian besar gempa dunia terjadi. Negeri itu bernama Indonesia—salah satu teritori paling rentan di Bumi, sebuah jagat yang buas secara geologis.
ADVERTISEMENT
Dalam artikel tersebut, saya “mendongeng” sedikit soal sejarah Bumi; berharap pesan itu sampai kepada pembaca; berharap penjelasan sederhana itu dapat membuat mereka lebih mengerti tentang apa yang terjadi—dan sudah pernah terjadi, dan akan selalu terjadi; berharap beberapa pembaca muda akan jatuh cinta pada Ilmu Bumi dan tertarik untuk mendalaminya di universitas—entah vulkanologi, oseanografi, geologi, geodesi, atau geografi—seperti adik saya, alih-alih lagi-lagi Ilmu Ekonomi atau Politik—seperti saya.
Begini nukilan “dongeng” saya waktu itu:
Pada mulanya, tidak ada Indonesia atau Nusantara.
Dahulu, 300 juta-240 juta tahun lalu, hanya ada satu benua besar di Bumi: Pangea.
Bumi Bergerak (4)
zoom-in-whitePerbesar
Evolusi benua di Bumi. (Foto: Robin/Shutterstock)
Lempeng Pangea bergerak dan meretak 200 juta tahun lalu, pada masa Jurassic atau zaman dinosaurus. Kala itu, benua tunggal Pangea terbelah menjadi dua: Laurasia di utara, dan Gondwana di selatan.
ADVERTISEMENT
Pergerakan lempeng Bumi terjadi terus-menerus hingga akhirnya menghasilkan tujuh benua seperti yang ada saat ini—Afrika, Antartika, Asia, Eropa, Australia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan.
Namun, proses pergeseran itu tak berhenti. Lempeng-lempeng Bumi melanjutkan pergerakannya sekitar dua sentimeter per tahun. Maka di masa depan (dalam hitungan geologi, bukan usia manusia yang singkat), tujuh benua yang kini ada akan bergabung kembali menjadi satu benua raksasa.
Pergeseran konstan lempeng Bumi pula yang melahirkan Indonesia.
Sepaket dengan terbentuknya pulau-pulau Nusantara, muncullah gunung-gunung api.
ADVERTISEMENT
Pergeseran, gesekan, dan tumbukan lempeng Bumi itulah yang menyebabkan gempa. Dan Indonesia ialah “rumah” bagi sebagian besar gempa dunia.
Bumi Bergerak (5)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Bumi bergerak. (Foto: Herun Ricky/kumparan)
Dengan minat tinggi pada Ilmu Bumi—dan nilai 100 sempurna pada tiap ujian Peta Buta saat pelajaran Geografi, saya heran kenapa malah memilih jurusan Hubungan Internasional semasa kuliah—dan berakhir jadi jurnalis alih-alih diplomat. Tapi, orang kadang bisa jatuh cinta pada beberapa hal sekaligus pada waktu sama, bukan?
Berikutnya, dua bulan setelah membuat artikel “Kisah Negeri Seribu Gempa”, Tsunami Selat Sunda datang menerjang. Sungguh pengujung tahun penuh bencana.
Saat membaca laporan mentah salah satu rekan saya yang menyertai para peneliti melakukan riset di pesisir Banten pasca-tsunami, mau tak mau saya merasa apa yang sering dikatakan orang-orang itu benar adanya: Indonesia butuh lebih banyak ilmuwan ketimbang politikus.
Bumi Bergerak (6)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tsunami akibat longsoran gunung api. (Foto: Herun Ricky/kumparan)
ADVERTISEMENT
Meski bencana di pengujung tahun kerap terjadi (Tsunami Aceh juga akhir tahun—26 Desember 2004), saya tetap saja kaget kala kali pertama mendengar kabar Tsunami Selat Sunda. Apalagi, ternyata pemred saya sedang berada di area bencana.
Saya yang sedang cuti untuk berkeliling menyambangi famili di timur Jawa, langsung menghela napas: cuti ini akan seperti ilusi. Sebab, sudah pasti saya akan tetap menenteng laptop ke mana-mana untuk memonitor ini itu. Namanya juga bencana, siapa bisa menerka.
Nah, tepat di situ masalahnya: bisakah ia diterka atau diprediksi untuk meminimalisasi korban jiwa—dan harta benda?
Indonesia yang terletak di lingkar cincin api Pasifik (semacam zona panas di muka Bumi yang lempeng tanahnya terus saling bertumbukan) terang butuh lebih banyak peneliti—dan support system di sekeliling mereka. Sebab, doa tolak bala harus sepadan dengan upaya berlatih waspada. Dan kewaspadaan dibangun dengan terus belajar—mengeksplorasi, mencermati, meneliti.
ADVERTISEMENT
Sebab itu pula saya membuka cerita utama Liputan Khusus “Tsunami Senyap Selat Sunda” dengan—lagi-lagi—nukilan dari salah satu video dokumenter yang saya tonton di sela perjalanan loncat-loncat kota saat cuti.
Docudrama berjudul Krakatoa: The Great Volcanic Eruption itu saya taruh di sini, kalau-kalau Anda ingin tahu dan punya waktu senggang menengoknya.
Ada banyak video dokumenter yang dapat memperluas cakrawala kita soal Bumi yang kita tempati—dan ini sungguh mempermudah metode pembelajaran di masa kini.
Sementara video di bawah ini tentang pergerakan benua-benua di Bumi—seperti saya sebut di atas.
ADVERTISEMENT
Atau ini versi panjangnya...
Video-video—yang dapat dengan mudah dicari di YouTube—itu hanya sekelumit kisah tentang Bumi yang kita pijak sehari-hari.
Dan sebagai makhluk yang berdiam di Bumi, kita tak boleh abai pada planet ini—dan seisinya—bukan?
Tahun dan musim berganti, manusia datang dan pergi, dan Bumi terus bergerak—pasti.