Cintaku di Ujung Pensil Alis

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
19 Januari 2019 20:02 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Tahu seperti apa warna hati orang jatuh hati?” “Merah jambu? Violet? Jingga?” “Semua, lalu bubuhkan rona hangat mentari, dan beri tetes manis biru margarita.”
ADVERTISEMENT
Sydney, Desember 2018
(Raydar/Pixabay)
Aku sudah lama memperhatikan gerak-gerik Gina diam-diam, tapi belum pernah sedekat ini dengannya. Ia berjarak 30 sentimeter dari wajahku—sepanjang ruang renggang yang biasa ada di antara mataku dan televisi yang menayangkan rupa-rupa borok negeri dan mendengungkan ocehan nyinyir para serigala.
Jemari Gina menyentuh kening dan pipiku, lalu bergerak lincah naik turun dengan lembut. Aku memasrahkan wajah legam kasarku sepenuhnya pada jemari mulus itu. Jari-jari itu menari di atas wajahku, melukisi parasku dengan lengkung garis-garis tipis yang kian lama kian menebal.
Mata Gina terpusat pada satu titik di wajahku: alis. Di antara ibu jari dan telunjuknya terimpit pensil alis merah jambu—warna perempuan jatuh hati di kartun-kartun. Aku mencoba membaca tanda: apa mungkin ia bisa menaruh hati padaku?
ADVERTISEMENT
Aku mengintip jari manis di tangan kirinya, lalu mengembuskan napas lega. Tak ada cincin di sana. Setidaknya ia belum bertunangan.
Aku bukannya tak dengar kabar burung bahwa Gina sudah punya kekasih. Tapi, siapa tahu isi hati perempuan. Mana tahu aku bisa menyelinap senyap ke dalam hatinya seperti pencuri malam.
“Gin, lama sekali sih merias Gana? Letakkan saja pensil alis itu kalau wajahnya tak bisa diperbaiki. Bukan salahmu ia sulit didandani,” kata Ayu yang melintas di kamar ganti itu.
Aku mendengus kesal, tapi Gina tak terusik. Ia menyahut tenang sambil kembali menggeser pensil alis, “Alis Gana tipis. Aku perlu waktu lebih untuk membuatnya sedikit lebih rimbun.”
Ayu mengangkat bahu. “Aku tak tahu buat apa kau repot-repot begitu. Alis lebat pun tak bakal banyak membantunya. Tapi ya sudahlah, suka-sukamu.”
ADVERTISEMENT
Aku menyeringai sembari mengacungkan jari tengah ke arah Ayu. Ia menjulurkan lidah dan berlalu. Huh, dasar pengganggu.
Gina mengamati alisku lekat-lekat, lantas menggeleng tak puas. Ia memegang daguku, dan mendekatkan wajahnya padaku. Jarak kami memendek—25 sentimeter, 20 sentimeter, 15 sentimeter, Gina lalu menarik wajahnya menjauh tanpa aba-aba. Aku kembali mengembuskan napas yang sempat tertahan.
“Beri aku waktu lima menit lagi ya,” kata Gina padaku sambil memutar-mutar pensil alis merah jambunya. Aku menjawab sembarang, “Seluruh waktuku di dunia boleh kau ambil.”
Ia tertawa dan menimpali, “Aku bukan malaikat pencabut nyawa.”
“Tapi bisa jadi malaikat pencabut hati,” ujarku menjadi, membuat Gina terbahak dan nyaris menjatuhkan pensil alis di sela jemarinya.
(Pexels via Freestocks)
Lihatlah susunan alfabet pada nama kita...
ADVERTISEMENT
[G-I-N-A | G-A-N-A]
Tidakkah kesamaan itu menyenangkan? Bayangkan betapa serasi abjad-abjad itu bila bersanding di kartu undangan pernikahan.
Gina & Gana
Aku berkhayal sementara Gina menyapukan kuas makeup ke wajahku, membedakiku tipis-tipis demi tampilan cerah di depan kamera. Di sekeliling kami, suasana mulai riuh. Acara akan dimulai dalam setengah jam.
“Cik Gina, Mas Gana, siap-siap ya,” kata produser program melongokkan kepala ke kamar ganti.
Aku dan Gina hendak membawakan acara paling tak penting sedunia, dan Gina meriasku demi itu meski aku merasa tak perlu berdandan.
“Masa mukaku cemerlang tapi mukamu kusam. Nanti nggak enak dilihat penonton,” kata Gina.
Maka kubiarkan dia memoles wajahku. Toh aku tak rugi apa-apa. Malah untung karena bisa sedekat ini dengannya, dan mencium wangi yang menguar dari tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Gina & Gana
Huruf-huruf itu berdansa di kepalaku. Aku bukannya tak tahu kami beda agama. Gina yang keturunan Tionghoa pemeluk Buddha, sedangkan aku yang Jawa tulen ber-KTP Islam. Well, ini bukan kali pertama agama jadi aral. Perempuan yang dulu pernah kucinta pun tak seiman denganku. Dia Katolik, dan pada akhirnya aku bukan lelaki pilihannya.
Kata orang, lelaki tak perlu takut kehabisan perempuan, sebab populasi perempuan lebih banyak dari lelaki. Tapi ini bukan soal populasi. Ini soal hati. Soal satu dari yang seribu satu. Apakah karena ada seribu lainnya, maka aku tak boleh mendekati yang satu—karena iman?
Sudahlah, kupikir nanti saja. Lagi pula, apa mungkin Gina mau denganku?
“Kamu sudah punya pacar, Gin?” tanyaku spontan. Aku jadi kaget sendiri. Bisa-bisanya aku melontarkan pertanyaan bodoh itu pada saat-saat begini, kala kamera sudah bersiap-siap menyorot wajah kami.
ADVERTISEMENT
Gina menjawab pendek, “Sudah, tapi nggak di sini.”
Aku mengernyitkan dahi mendengar ucapannya. “Maksudmu?”
Gina kembali mendekatkan wajahnya kepadaku—25 sentimeter, 20 sentimeter, 15 sentimeter, dan menarik lagi paras manis berbibir tipis itu pada jarak yang sama seperti sebelumnya. Kali ini ia tampak puas.
Gina melepas jemarinya dari keningku, lalu tersenyum simpul. “Proximity does matter,” ujarnya seraya meletakkan pensil alis merah jambunya ke wadah kosmetik.
Aku mengamati warna-warna kakao kosmetik di wadah itu.
Cintaku di ujung pensil alis.
(Anderson Guerra/Pexels)