SQ-_Tegal_sejak_diberlakukan_lockdown-vnkrntrea7fnbdtraiqg.jpg

Corona di Angka Seribu, Jawa Tengah Sudah Merah

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
28 Maret 2020 14:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penambahan ruang isolasi pasien corona. (ANTARA/Moch Asim)
zoom-in-whitePerbesar
Penambahan ruang isolasi pasien corona. (ANTARA/Moch Asim)
Hari itu datang juga. Kala pasien positif corona di Indonesia mencapai angka 1.000, dari hari sebelumnya yang 893. Bertambah 153 dalam sehari.
Kenaikan tajam itu tak mengherankan, karena semakin banyak orang dites corona, dan kian meluasnya sebaran virus ke luar Jakarta akibat mobilitas orang-orang dari ibu kota ke daerah-daerah. Kali ini bukan hanya di kitaran Jawa Barat, utamanya Bogor Depok Tangerang Bekasi (Bodetabek) yang bersinggungan langsung dengan Jakarta sebagai episentrum wabah, namun sudah bergerak konstan ke Jawa Tengah.
Pemudik dari Jakarta ke Wonogiri saja ada lebih dari 13.000. Belum lagi ribuan lainnya yang berdatangan ke Jepara, Purwokerto, Cepu, Pemalang, Kebumen, Brebes, Wonosobo, dan Cilacap. Tak heran Gubernur Jawa Tengah Ganjar Prabowo jadi waswas.
Ganjar Pranowo. (Afiati Tsalitsati/kumparan)
Berdasarkan situs resmi Monitoring Data COVID-19 Pemprov Jawa Tengah, di provinsi itu pada Sabtu pagi, 28 Maret 2020, tercatat 43 kasus positif, dengan 6 orang meninggal, 2 sembuh, dan 35 lainnya masih dirawat. Sementara itu, pasien dalam pengawasan (PDP) berjumlah 344 orang, dan orang dalam pemantauan (ODP) berjumlah 5.307.
Sejak 25 Maret, pasien positif corona di Jawa Tengah pun telah naik seratus persen, dan membuat Ganjar terus mewanti-wanti masyarakat.
“Saya ingatkan, jangan menyepelekan. Jangan merasa kuat dan sehat, lalu berbuat semau sendiri tanpa mengindahkan imbauan pemerintah. Boleh jadi anda kuat, anda sehat, atau imun anda bagus, sehingga meskipun tertular, anda tidak merasakan gejala sakit. Tapi ketahuilah, anda tetap bisa menularkan virus ini pada orang tua, istri, suami, dan anak-anak anda.”
Jejeran peti mati di Italia untuk korban meninggal akibat virus corona. (REUTERS /Flavio Lo Scalzo)
Eksodus juga terjadi di Italia. Ketika corona (lebih dulu) mewabah di Italia utara, banyak orang—anak-anak muda—memenuhi Stasiun Centrale di Milan untuk pulang ke kampung halaman mereka masing-masing di penjuru Italia. Alhasil, virus lebih cepat tersebar ke seantero negeri.
Seperti Italia, tingkat kematian akibat corona di Indonesia pun terhitung tinggi. Masalahnya, tenaga medis Indonesia kalah jauh dari Italia. Italia—yang juga sangat kerepotan menangani corona—punya jumlah dokter 11 kali lipat lebih banyak dari Indonesia (Italia 40.931 dokter, sedangkan Indonesia 3.777 berdasarkan catatan WHO pada 2017).
Mereka yang terjangkit corona namun tidak sadar dan tetap beraktivitas seperti biasa di tengah masyarakat, menjadi penyebab kasus infeksi melonjak tinggi hingga menembus angka 1.000. Sebab, orang-orang positif corona yang tak sadar dan tak terdeteksi itu lantas menularkan virus yang diam-diam mereka miliki tersebut ke sejumlah orang lainnya, sehingga membuat rantai penyebaran corona semakin panjang tak putus-putus.
Ini, misalnya, mungkin terjadi pada legislator DPR RI Imam Suroso. Politisi PDIP itu meninggal Jumat malam, 27 Maret, dengan status PDP corona. Kalau-kalau lupa, PDP ialah seseorang yang mengalami demam atau ISPA atau pneumonia, dan punya riwayat perjalanan ke wilayah terjangkit corona atau kontak dengan orang positif COVID-19 dalam 14 hari terakhir.
Mbah Roso—sapaan Imam Suroso—memanfaatkan masa reses DPR dengan pulang ke kampung halaman sekaligus daerah pemilihannya di Pati, Jawa Tengah, untuk menggelar pengobatan gratis dan bakti sosial tindak pencegahan corona.
Setiba di Pati dari Jakarta, menurut informasi yang diterima Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Bambang Wuryanto, Mbah Roso merasa meriang. Namun ia mungkin menganggapnya biasa sehingga tetap berkegiatan bersama warga.
Mbah Roso senam bersama warga Desa Saliyan, serta membagi-bagikan masker dan hand sanitizer kepada warga di Desa Winong dan Pasar Puri Baru. Barulah ketika mulai sesak napas, Mbah Roso memanggil dokter pribadinya. Ia lalu dibawa ke RSUP Dr. Kariadi Semarang, dan langsung masuk ICU. Lima hari kemudian, ia meninggal.
Bila hasil tesnya nanti memperlihatkan ia terkena corona, maka sungguh tragis dan ironis. Seseorang yang berkeliling kota bertemu masyarakat untuk menyosialisasikan upaya-upaya pencegahan corona, bisa jadi membawa virus itu di dalam dirinya.
Itu belum pasti yang terjadi pada Imam Suroso. Hasil tes belum keluar, dan semua tentu berharap yang terbaik demi banyak orang.
Meski begitu, Pemerintah Kabupaten Pati langsung melacak warganya yang sempat kontak dengan Mbah Roso, termasuk tim medis yang menanganinya dan wartawan yang meliput kegiatannya. Sementara warga desa yang ditemui Mbah Roso diminta untuk mengisolasi diri selama 14 hari.
Gugus Tugas COVID-19 di Pati mengisyaratkan, pelacakan kontak cukup sukar karena kontak sudah terjadi secara berantai.
Tegal akan memasang beton di sekeliling kota bak benteng demi mencegah coronavirus. (ANTARA/Oky Lukmansyah)
Situasi Jawa Tengah yang makin mengkhawatirkan lantas membuat Pemerintah Kota Tegal mengambil langkah drastis. Mereka hendak memasang beton pembatas jalan sepanjang 500 meter untuk mengisolasi kota mulai 30 Maret sampai 30 Juli. Isolasi wilayah itu disebut sang wali kota sebagai local lockdown.
Peneliti epidemiologi klinis FKUI-RSCM, dokter Tifauzia Tyassuma, mengibaratkan isi baskom Jakarta—yang bermuatan campuran orang dan virus—kini telah meluber keluar ke mana-mana.
Water barrier dipasang untuk menutup jalan ke arah Alun-alun Kota Tegal. (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah)
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten