news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Danarto, Alquran, Mukjizat, dan Kiamat

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
20 November 2017 6:31 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dataran tandus. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dataran tandus. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Dataran tandus dataran batu, tumbuh lurus tak kenal waktu. Belalang mencuat mengorak sayapnya, ilalang pucat karena panas-Nya. Dataran tandus dataran batu, dataran rumput dataran ilalang. Belalang bertengger di batu-batu. Batu diremas-remas-Nya menjadi debu. Dan debu diterbangkan angin ke segala penjuru. Batu-batu. Dataran tandus penuh batu-batu. Batu-batu besar. Besar sekali. Berbongkah-bongkah. Persegi. Di sana-sini tumbuh rumput-rumput. Jarang sekali. Rumput-rumput pun susah hidup di sini. Angin berembus kencang sekali, panas menyengat kulit. Udara pengap menyesakkan paru-paru. Rumput-rumput menjadi kering, tercerabut dan terpental-pental diterbangkan angin, menumbuk bongkahan batu, terkapar dan dilarikan angin lagi, jauh lagi, menumbuk bongkahan batu-batu lagi, terkapar tunggang langgang, kusut-masai, hingga sampailah ia pada suatu lekukan batu yang menganga lebar, karena digerogoti angin sepanjang masa... --Armageddon, Danarto
ADVERTISEMENT
Membaca penggalan cerita pendek Danarto berjudul “Armageddon” di atas, entah kenapa saya teringat pada Padang Mahsyar. Tentu bukan berarti saya pernah ke sana. Lebih tepatnya, saya teringat pada deskripsi tentang Padang Mahsyar yang katanya akan menjadi tempat segala makhluk ciptaan Allah berkumpul di Hari Penghakiman, usai mereka dibangkitkan.
Mungkin juga, imaji itu muncul karena judul cerpen tersebut: Armageddon. Semacam akhir dunia. Atau, jika merujuk Kitab Perjanjian Baru, ialah lokasi yang diramalkan--entah literal atau simbolik--menjadi tempat berkumpulnya bala tentara untuk pertempuran akhir zaman antara kejahatan dan kebaikan.
Akhir dunia… akhir zaman… itu artinya juga: kiamat. Dan kiamat menjadi salah satu kecemasan Danarto. Bukan karena ia takut mati, tapi lantaran ia mengkhawatirkan orang lain. Danarto waswas kiamat datang cepat.
Danarto, sastrawan Indonesia (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Danarto, sastrawan Indonesia (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
“Saya agak takut. Tahun 2036 itu akan ada komet yang menabrak Bumi. Padahal teman-teman saya punya anak-anak kecil. Waktu tahun 2036 nanti, mereka ada yang berumur 19 tahun, 25 tahun. Saya sudah pasti nggak ada lagi,” kata Danarto saat mengobrol santai, Senin (6/11).
ADVERTISEMENT
Ia melanjutkan, “Jadi apa yang akan anda lakukan menghadapi 2036? Apa benar tahun 2036 ada komet atau meteor besar yang akan menabrak Bumi? Kan di dunia ini, nggak ada yang peduli tentang musibah yang akan datang, sebab bisa saja tidak terjadi.”
Saya yang mendengar ucapan Danarto hanya mengernyitkan dahi, dengan hati diliputi ketidakpercayaan. Selang beberapa waktu kemudian, saya iseng mencari tahu lewat mesin pencari Google. Apa sih maksud Danarto?
Ilustrasi asteroid. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi asteroid. (Foto: Pixabay)
Rupanya, sempat beredar desas-desus pada akhir 2004 bahwa Apophis, asteroid seukuran 3,5 lapangan bola yang terletak di dekat Bumi, akan menabrak Bumi pada 2036. Namun, hal tersebut telah dibantah oleh Badan Antariksa AS pada Januari 2013, yang menyebut kemungkinan tabrakan Apophis dengan Bumi hanya 1:1.000.000 alias aman. Itu kata NASA.
ADVERTISEMENT
Saya belum sempat memberi tahu Danarto tentang hal tersebut, dan berencana untuk mengabarinya agar ia tak terlampau khawatir.
Soal angkasa dan semesta tampaknya menjadi salah satu minat Danarto. Setidaknya, ia menyukai film petualangan fiksi ilmiah macam Interstellar yang disutradarai Christopher Nolan.
“Bagus itu film Interstellar. Sayang kalau tidak nonton. Mereka pindah karena Bumi sudah rusak. Berdebu tiap hari tiap malam. Bagus ceritanya,” kata Danarto.
“Sebenarnya dunia ini mengecil dan menyempit. (Bumi) sudah sesak sekali,” imbuh lelaki yang disebut Goenawan Mohamad sebagai sastrawan pelopor realisme magis di Indonesia itu.
Mungkin, bila belum sesepuh itu (77 tahun), Danarto cocok mendaftar menjadi warga Asgardia--negara antariksa pertama di dunia (manusia), yang meski belum berwujud konkret, namun setidaknya punya misi jangka panjang membangun tempat tinggal manusia di luar angkasa.
Alquran. (Foto: Ayebmahezahdia/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Alquran. (Foto: Ayebmahezahdia/Pixabay)
“Alquran,” jawab Danarto ketika ditanya tentang buku yang paling berpengaruh dalam hidupnya.
ADVERTISEMENT
“Alquran itu menurut saya buku yang gaib karena ditulis oleh Tuhan. Semua ulama besar bicara sumbernya Alquran. Setiap kali saya membaca Alquran, (saya selalu berpikir) ini ayat suci bagus loh, padahal sudah lama (ada).”
“Jadi tiap kali habis, saya baca ulang lagi dari depan. Habis, saya ulang lagi. Tiap kali mengulang, (saya merasa) ada ayat suci yang baru terbaca, padahal sudah dilalui terus,” ujar Danarto mengutarakan rasa takjubnya pada Alquran.
Ia lalu berkata, “Sekarang, setelah tua begini, saya melihat semua ini gaib, mukjizat.”
Mukjizat dalam pandangan Danarto tak melulu sesuatu yang “wah” seperti bisa membangkitkan orang mati atau menyembuhkan orang sakit, melainkan hal-hal sederhana dalam kehidupan sehari-hari, yang bila diamati, bagi dia terasa luar biasa. Contohnya, bayi yang bertumbuh dalam rahim ibunya.
Lukisan Danarto. (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Lukisan Danarto. (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
“Rahim itu sesungguhnya laboratorium Tuhan, maka harus dipelihara betul rahim itu. Dari rahim itu, akan lahir keturunan-keturunan--ini sebenarnya mukjizat,” kata Danarto.
ADVERTISEMENT
Ia sendiri selama menikah dengan Siti Zainab Luxfaiti yang kerap disapa Dunuk, tak dikaruniai anak. Pernikahan pasangan berjarak 19 tahun itu berakhir setelah 15 tahun, dan kini Danarto hidup sendiri.
Pada wawancara yang dimuat dalam Southeast Asia Digital Library Northern Illinois University, Dunuk mengatakan, “Sudah 15 tahun menikah belum punya anak, dan mungkin sekarang nggak akan punya anak. Tapi sebetulnya, berkeluarga kan tujuannya bukan sekadar punya anak, atau ada keharusan untuk punya anak. Banyak sekali hal-hal yang bisa dikerjakan dalam hidup ini. Apa-apa diterima dan disyukuri saja.”
Dunuk yang mengenal Danarto lewat penyair Taufiq Ismail itu juga bercerita, “Kata orang-orang, ‘Beruntungnya, suamimu baik sekali.’ Bagi saya, dia memang suami yang pengertian. Sejak awal pernikahan, tidak pernah menyuruh saya berbuat ini itu, atau menuntut saya harus tinggal di rumah. Saya dibebaskan. Beberapa waktu terakhir ini, saya jarang pulang karena banyak kegiatan di Yayasan Salamullah. Empat hari sekali pulang, seminggu sekali pulang, tidak apa-apa. Dia baik sekali.”
ADVERTISEMENT
Namun, jalan hidup manusia siapa tahu berujung di mana. Pernikahan langgeng Danarto-Dunuk berakhir tahun itu juga, seiring perbedaan “keyakinan” antara keduanya. Yayasan Salamullah yang menjadi wadah berkegiatan Dunuk, tak lain ialah aliran Salamullah pimpinan Lia Aminuddin alias Lia Eden yang difatwa MUI sesat. Danarto menjauh dari Salamullah, sedangkan Dunuk tetap di dalamnya hingga meninggal tahun lalu, pertengahan September 2016.
Buku-buku Danarto. (Foto: Instagram @penerbitdivapress)
zoom-in-whitePerbesar
Buku-buku Danarto. (Foto: Instagram @penerbitdivapress)
Pahit adalah bagian dari rasa kehidupan, dan Danarto mengakrabinya. Lukisan dan tulisan yang menjadi penyambung hidupnya, kerap tak bisa memberikan kecukupan--tak peduli ia memenangi sejumlah penghargaan atas karya sastranya pada periode 1980-an.
“Saya itu miskin,” ujarnya terkekeh. Ia menambahkan, “Lukisan nggak laku, cerpen nggak laku. Betul-betul nggak laku. Sampai pembantu saya bilang, ‘Pak, beras sudah habis.’”
ADVERTISEMENT
Belum lagi, Danarto harus memberi upah asisten rumah tangganya yang memiliki anak dan cucu. Ia lantas menjual barang-barang, mulai televisi, sepeda, cincin, sampai cermin kesayangan mantan istri. Lukisan-lukisannya pun dijual murah dari pintu ke pintu--asal laku.
“Sejak dulu menulis nggak bisa menghidupi,” kata Danarto lagi. Penghasilannya saja lebih banyak datang dari melukis ketimbang menulis. Namun ia tak henti melakukan keduanya.
Danarto yakin kesulitan hidupnya akan makin berlipat ganda. Ia menyebut itu semua ujian, dan hal tersebut tak membuatnya hilang kepercayaan pada keajaiban--mukjizat yang ia lihat ada di mana-mana.
“Saya punya teman, seorang Katolik, dulu cari nafkah sama-sama dia. Dia tidak menulis, tidak melukis, menikah, beranak pinak, lupa sama gereja, semua anaknya jadi orang (sukses). Kita sering tak sadar bahwa sekeliling kita sebenarnya mukjizat. Teman saya itu cengangas-cengenges saja (saya ngomong begitu),” kata Danarto renyah.
ADVERTISEMENT
Mukjizat lainnya, ujar dia, adalah orang yang bisa hidup dari sampah. “Satu kilometer dari Istana Merdeka misalnya, orang mengorek-ngorek tong sampah untuk bisa hidup. Gila. Negeri yang begini kaya, rakyatnya ada yang berlimpah ruah kekayaannya, tapi kok ada orang-orang yang hidup dari sampah.”
“Kemarin saya bertemu--di Ciputat yang banyak pemulung--seorang ibu mendorong gerobak dengan dua anaknya di dalam gerobak. Ayah anak-anak itu di depan gerobak. Mereka bisa hidup di atas gerobak, dari sampah. Luar biasa. Selain itu, ada konglomerat yang menguasai lahan sekian hektare. Dia beli semua, dimiliki sendiri. Nggak ada yang protes. Itu juga luar biasa,” kata Danarto, terheran-heran dengan “mukjizat” di sekitarnya--entah sungguh heran atau menyindir jurang perbedaan itu.
Catatan pengingat di pintu rumah Danarto. (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Catatan pengingat di pintu rumah Danarto. (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
Mukjizat terpenting dalam hidup Danarto sendiri ialah salat. “Saya ini sebenarnya terlambat salat. Umur 27 tahun baru salat.” Kenapa? “Dulu kan saya ingin menyatu dengan Tuhan. Padahal kalau salat kan terpisah (dengan Tuhan). Kata orang, ‘Lucu logika Pak Narto itu.’”
ADVERTISEMENT
Danarto mulai salat di Garut, Jawa Barat, di usia 27 tahun. “Saya beli buku Tuntunan Shalat, saya baca, saya praktikkan. Ketika saya mulai Allahu Akbar, seluruh kawasan seperti terdengar suara ‘Allahu Akbar’, terdengar sampai jauh, seperti kor di stadion. Satu minggu saya mengalami itu. Sekarang nggak lagi. Mungkin ini kemunduran atau saya harus mencari bentuk (kekhusyukan) yang baru.”
Dekat dengan Tuhan. Itulah yang dirasa Danarto saat ini. Itu sebabnya ia pernah memainkan teater monolog yang berkisah tentang manusia yang sendirian di Bumi, ketika semua telah musnah, dan ia lantas bersahabat dengan Tuhan.
Dunia seni Danarto memang tak cuma melukis dan menulis, tapi juga berteater. Ia bersama kawan-kawannya di Yogyakarta dahulu mendirikan Sanggar Bambu, yang kemudian melahirkan banyak tokoh di bidang seni.
ADVERTISEMENT
“Penulis muda-muda best seller itu pintar semua sekarang. Ika Natassa, Okky Madasari, dan mungkin yang paling menonjol Dewi ‘Dee’ Lestari. Ada nama-nama lain juga,” ujar Danarto, memuji para penulis muda.
Filosofi Kopi dan Madre itu bagus sekali. Bagus sekali,” imbuhnya tentang dua karya Dee yang telah difilmkan.
Selama ini, ujar Danarto, “Justru yang paling tidak berpengaruh itu karya-karya saya, karena sulit (dimengerti). ‘Ini cerpen macam apa?’ kata orang. Kan sempat disebut nama sekian puluh sastrawan yang paling memengaruhi, dan nggak ada nama saya di situ. Sudah betul itu. Memang nggak ada yang tertarik sama cerpen saya.”
“Eka Kurniawan suka,” ujar seorang kawan menceletuk. Danarto balik bertanya, “Oh ya? Kata siapa?”
ADVERTISEMENT
“Baca di blog Eka. Dia bilang Godlob kumpulan cerpen yang utuh, dengan gaya dan teknik menyatu.”
“Ah, masa? Eka Kurniawan itulah yang hebat,” kata Danarto tersenyum tipis, memuji penulis Lelaki Harimau yang masuk nominasi The Man Booker International Prize 2016 itu.
Ilustrasi gagak (Foto: Pelly Benassi/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gagak (Foto: Pelly Benassi/Unsplash)
Gagak-gagak hitam bertebahan dari angkasa, sebagai gumpalan-gumpalan batu yang dilemparkan, kemudian mereka berpusar-pusar, tiap-tiap gerombolan membentuk lingkaran sendiri-sendiri, besar dan kecil, tidak keruan sebagai benang kusut. Laksana setan maut yang compang-camping, mereka buas dan tidak mempunyai ukuran hingga mereka loncat ke sana loncat kemari, terbang ke sana terbang kemari, dari bangkai atau mayat yang satu ke gumpalan daging yang lain. Dan burung-burung ini jelas kurang tekun dan tidak memiliki kesetiaan. Matahari sudah condong, bulat-bulat tidak membara dan membakar padang gundul yang luas itu, yang di atasnya berkaparan tubuh-tubuh yang gugur, prajurit-prajurit yang baik, yang sudah mengorbankan satu-satunya milik yang tidak bisa dibeli: nyawa! --Godlob, Danarto
ADVERTISEMENT
Malam turun menjemput Danarto. Ia kembali ke rumah kontrakannya di Pamulang, Tangerang, ke atap bernaungnya yang disesaki oleh tumpukan dan serakan buku-buku di sana sini. Tak bisa dikatakan tempat tinggal yang layak, tentu saja. Sungguh-sungguh macam kapal pecah. Berantakan bukan main.
Danarto di rumah kontrakannya. (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Danarto di rumah kontrakannya. (Foto: Jacinta Nungky/kumparan)
“Harga kosan dekat kantormu berapa?” ujar Danarto, seolah menghitung lebih hemat mana tinggal di kosan atau rumah kontrakan.
Beberapa saat sebelumnya, Danarto berkata, “Belum lama ini, tahun 2014, saya ‘diramal’ oleh Taufik Ismail akan jatuh miskin.”
Yang dimaksud “diramal”, ujarnya, lebih semacam “pengingat” dari sahabat agar ia waspada. Dan demikianlah yang terjadi: Danarto didera kesulitan ekonomi sejak 2014.
Apakah badai telah berlalu kini? “Oh, masih terus. Mungkin nanti akan lebih besar lagi,” kata Danarto.
ADVERTISEMENT
Tapi, ujarnya, “Harus pasrah. Seperti dikatakan dalam Alquran, ‘Kamu akan Saya uji terus-menerus. Tak bisa kamu bilang kamu beriman sebelum Saya uji.’ Saya sadar, saya ini kan ‘barang ciptaan’, jadi ya okelah. Makanya doa saya, ‘Ya Allah, karuniai hamba kemudahan dalam usaha.’ Karena kemudahan dalam usaha itu penting, apalagi saya ini sudah tua. Tenaga berkurang, pikiran berkurang, dan harus tetap survive.”
Melihat Danarto terbatuk-batuk dan tertatih-tatih sendiri di rumah sesak tanpa pendingin udara itu, untaian doa terucap di hati. Ya, semoga kemudahan lekas mengiringi, setelah segala pahit yang dicecap. Amin.