Diniharii yang Pergi Dini: Satu Anna Karenina Lagi

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
6 Oktober 2017 10:46 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Anna Karenina (Foto: AFP Story by Anna Malpas)
zoom-in-whitePerbesar
Anna Karenina (Foto: AFP Story by Anna Malpas)
At the station, Anna feels disoriented, focusing on the fakeness of the people in the crowd and hardly knowing why she is there or what destination to request. She boards the train and despises the artificiality of her fellow passengers.
ADVERTISEMENT
Stepping off the train as it stops at Obiralovka, Anna walks along the platform in a despairing daze, finally resolving to throw herself under an approaching train in order to punish Vronsky and be “rid of everybody and of herself.”
A train approaches, and Anna impulsively throws herself under the wheels, begging God for forgiveness and feeling a pang of confusion and regret when it is too late.
The candle of her life is extinguished.
— Anna Karenina, Leo Tolstoy, Part Seven
Demikianlah batas tipis hidup dan mati memisahkan manusia dan mayat—raga yang fana dan jiwa yang (mungkin) kekal.
Hanya dengan satu detik keputusan disusul satu detik aksi di momen berikutnya, ada menjadi tiada. Satu jentikan jari, dan semua berakhir.
ADVERTISEMENT
Segala depresi, frustrasi, seketika pergi. Seiring musnahnya satu lilin kehidupan.
Selalu ada Anna Karenina dalam hidup ini. Karakter legendaris dalam novel penulis besar Rusia Leo Tolstoy itu seolah menghantui banyak perempuan di dunia. Ia bak kutukan, bahkan bagi mereka yang tak mengenalnya.
Pagi ini, saya kembali teringat Anna Karenina saat secara tak sengaja membaca berita sedih tentang Diniharii, perempuan muda yang menaruh tubuhnya di lintasan kereta--yang kemudian tanpa ampun melindasnya.
Entah apakah Diniharii itu nama sesungguhnya atau tidak. Tapi begitulah ia memberi nama akun Facebook-nya: Diniharii.
Mengenang Diniharii (Foto: Facebook/Diniharii)
zoom-in-whitePerbesar
Mengenang Diniharii (Foto: Facebook/Diniharii)
Enam hari kemudian, Rabu 6 Oktober, Diniharii berjalan di atas rel, dan membiarkan kereta rel listrik Commuter Line yang datang dari arah Cibinong menuju Nambo, Bogor, menghajar tubuhnya. Perempuan 20 tahun itu tewas seketika.
ADVERTISEMENT
Ya, usia Diniharii baru 20 tahun saat orang-orang melihatnya berjalan di rel kereta sambil menangis. Ia diam saja dan terus berjalan kaki sembari menangis, meski ramai orang berteriak menyuruhnya minggir karena kereta akan lewat.
Matahari belum di atas kepala saat Diniharii memutuskan hidupnya harus berakhir hari itu. Ia keluar dari rumah kontrakannya di Bogor sekitar pukul 09.00 WIB.
“Ia sempat menelepon temannya, katanya merasa depresi,” kata polisi. Ada beban yang harus ditanggung, ditambah pertengkaran dengan ibunya di Bandung.
Kepala Diniharii saat itu mungkin terasa amat berat.
Ketika kepala kereta sudah terlihat di ekor matanya, ketika orang-orang meneriaki dan mengklaksonnya, ia malah menutup telinganya dengan tangan.
Kereta datang, lilin hidupnya pun padam.
Kereta (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Kereta (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Anukriti Gupta dari Centre for Women’s Studies, School of Social Sciences Jawaharlal Nehru University, dalam makalahnya, The Death of Anna Karenina, memaparkan detail analisis tentang perkara bunuh diri Anna Karenina yang melempar diri ke hadapan kereta yang melaju.
Gupta membuka makalahnya dengan penegasan bahwa tema-tema semacam keterbatasan (finitude), rasa bersalah (guilt), keterasingan (alienation), keputusasaan (despair), dan kematian (death) adalah topik menonjol dalam bahasan para eksistensialis.
For Jean Paul Sartre, death has no special importance in itself and that it is just the final absurdity, neither more nor less absurd than life itself.
To Albert Camus, the feeling of absurdity could strike any man in the face of any street corner and this sudden birth of feeling arrives generally in four ways: 1) The mechanical nature of many people’s lives may lead them to question the value and purpose of their existence; this is an intimation of absurdity. 2) An acute sense of time passing, or the recognition that time is a destructive force. 3) A sense of being left in an alien world. 4) A sense of isolation from other beings.
ADVERTISEMENT
Dan tepat itulah yang dirasakan Anna Karenina—mungkin juga Diniharii, saat memutuskan untuk membiarkan tubuh mereka dimangsa kereta.
Mari simak sekali lagi bagian saat Anna Karenina memutuskan hendak bunuh diri:
At the station, Anna feels disoriented, focusing on the fakeness of the people in the crowd and hardly knowing why she is there or what destination to request. She boards the train and despises the artificiality of her fellow passengers.
Stepping off the train as it stops at Obiralovka, Anna walks along the platform in a despairing daze…
Jelas sekali betapa Anna saat itu membenci dunia dan orang-orang di dalamnya. Ia merasa putus asa dan menganggap mereka penuh kepalsuan.
Diniharii, yang menutup telinga ketika orang-orang riuh berteriak memperingatkannya, dan saat suara kereta makin kencang menderu menggeram menujunya, seperti berteriak kepada dunia: aku tak mau mendengarmu lagi.
ADVERTISEMENT
Dan mereka berdua tamat--Tolstoy membunuh Anna Karenina, tokoh utama novelnya, dengan mematikan dia; dan Diniharii memutuskan mengambil alih nasib dengan caranya sendiri.
Gupta lantas menyitir Émile Durkheim, Bapak Sosiologi Modern, dalam membedah kategori bunuh diri Anna Karenina.
Merujuk buku Durkheim, Suicide: A Study in Sociology, Gupta mengklasifikasikan bunuh diri Anna Karenina ke dalam tipe Bunuh Diri Melankoli (Melancholy Suicide).
Melancholy Suicide is connected with a general state of extreme depression and exaggerated sadness, causing the patient not to realise sanely the bonds which connect him with people and things about him.
ADVERTISEMENT
Life seems to him (or her) boring or painful. Hallucinations and delirious thoughts often associate themselves with this general despair and lead directly to suicide.
Anna Karenina’s suicide is the result of extreme despair and the realisation of weakening relationships and the fear of getting lost in the cruel world without anybody for help.
Perempuan dan kereta. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan dan kereta. (Foto: Pixabay)
Sejak pertama kali membaca Anna Karenina, bahkan mungkin sebelum itu, saya sudah menyimpan kengerian pada lintasan kereta. Seperti tempat lain yang mengandung banyak tragedi, pun rel-rel baja itu.
Tak pernah sekali pun saya berniat melangkahkan kaki di antara lajur-lajur besi itu, hingga satu hari saya “terkurung” di antaranya, tepat saat hati sedang gundah. Anggap saja kebetulan, sebab manusia tak tentu tahu misteri hidupnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kala itu saya terpaksa menyeberangi rel tanpa palang karena angkutan umum yang hendak saya tumpangi berada di sisi lain. Tapi, saat kaki sudah melangkah keluar dari rel jalur Jakarta-Bogor, ternyata kereta arah Bogor-Jakarta sudah akan melintas di rel lain yang ada di hadapan saya.
Orang-orang sontak berteriak kepada saya. Entah “Awas, Mbak!” “Pergi, Teh!” atau apalah, saya sungguh tak ingat. Saya tak terlalu memperhatikan seruan-seruan itu karena berkonsentrasi pada kereta yang datang.
Suara keras laju kereta memudarkan semua teriakan-teriakan manusia, yang—rasanya di telinga saya waktu itu—terdengar sayup-sayup saja.
Heran, bagaimana saya bisa tak melihat kereta melaju di ujung lintasan. Padahal jika kepala kereta sejak awal sudah tertangkap ekor mata saya, tentulah saya akan menunda menyeberangi rel.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk mundur menyeberang rel sebelumnya, jelas tak mungkin. Karena dari sisi lain, sudut mata saya melihat rangkaian gerbong kereta Jakarta-Bogor juga segera melintas tepat di belakang punggung saya.
Sungguh momen menakutkan, karena saya tahu dalam beberapa detik saja, saya akan berada di antara laju kencang kereta Bogor-Jakarta dan Jakarta-Bogor. Satu kereta melaju di depan saya, dan kereta lainnya melintas di belakang saya. Saya di tengah mereka.
Salah langkah sedikit, atau keseimbangan rusak sebentar saja, bisa celaka. Maka, saat itu saya menjaga diri penuh konsentrasi. Hidup atau mati.
Ketika dua ular besi melintas di depan dan belakang tubuh saya, saya diam, bergeming. Kaki saya tancapkan kuat-kuat pada tanah, sejengkal pun tak bergeser ke depan, belakang, samping kanan atau kiri. Stick to the earth.
ADVERTISEMENT
Kereta berlalu, saya kembali melangkah menyeberangi rel menuju jalan raya, dan orang-orang (seperti) berteriak lega—lagi-lagi seruan itu tak jelas terdengar oleh telinga saya, hanya semacam dengung di kejauhan.
Rel kereta (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Rel kereta (Foto: Pixabay)
Beberapa waktu setelah insiden “terjebak” di tengah dua kereta itu—setahun lalu, saat hendak bersiap berangkat ke negeri asal Anna Karenina, saya menyusun larik-larik berikut.
Saya harap, tak ada lagi Anna Karenina lain nanti.
Negeri Kelabu
/1/
sepuluh tahun lalu kala kita belum bertemu lidah tak terserang kelu dan hidup lepas dari cengkeram jemu
aku menulis di secarik kertas senandung cinta untuk tanah nun jauh yang hanya kutemui di mimpi malam melintas dan kusentuh di lembar-lembar kitab terisi penuh
aku menyebutnya Negeri Kelabu tempat segala muram bersemayam di bawah putih langit bersalju dilingkari dingin angin menderu menikam
ADVERTISEMENT
hati-hati dengan lamunan, kata mereka ganjil melihatku bergeming di genting sepanjang senja aku tersenyum, membiarkan semua sembarang menerka kembali menatap lembayung di sore manja
aku berdiri, merentangkan kedua tangan ke angkasa merasakan embusan udara di sekujur tubuh meramal badai yang akan mengadang para perasa mengirim bisik rahasia untuk jiwa-jiwa rapuh
kalbuku bongkah jelaga magnet seluruh suram dan kelam masa silam mewujud kompas menuju hitam telaga merayumu menyelam lalu menarikmu tenggelam
/2/
aku di antara dua lintasan dengan gemuruh melesat di kiri dan kanan mata-mata membelalak ngeri aku diam tenang, kaki kokoh terpatri
bising itu lenyap selusin gerbong logam berlalu dalam sekejap aku melangkah menyeberangi jalur baja menertawakan nasib tragis Anna Karenina
ADVERTISEMENT
kegilaan menyelimuti hantu perempuan bangsawan membuntuti benakmu berduka kau memutuskan menjemput dia--di tempatnya mati seketika
tiga hari lagi aku memasuki gerbang Kerajaan Bayang-Bayang imperium persekutuan realitas dan fantasi sumber api kesintingan di petang jalang
setelah itu mungkin aku tak ingin pulang mendekap roh perempuan hantu di awang mencari ruang hampa untuk menghilang
November 2016
Untuk Diniharii (paling kanan pada potret di bawah) yang tak pernah saya kenal, semoga damai menaungi jiwamu kini di keabadian.
Diniharii (kanan), perempuan yang bunuh diri. (Foto: Dok. Facebook Diniharii)
zoom-in-whitePerbesar
Diniharii (kanan), perempuan yang bunuh diri. (Foto: Dok. Facebook Diniharii)
Catatan penting: Jika ada di antara anda yang membutuhkan informasi atau mencari pertolongan seputar depresi atau isu kesehatan mental lain, anda dapat menghubungi dokter kesehatan jiwa di puskesmas dan rumah sakit terdekat, atau mengontak komunitas Into The Light untuk memperoleh pendampingan di email [email protected] atau via Facebook: http://www.facebook.com/intothelightid, Twitter: http://www.twitter.com/intothelightid, dan Instagram: http://www.instagram.com/intothelightid.
ADVERTISEMENT