Hainan, Bukan Hanoi

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
16 Januari 2018 23:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hainan, Bukan Hanoi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
“Ayo, ikut ke China. Aku mau ke Hong Kong, mampir Beijing,” kata seorang kawan belum lama ini.
ADVERTISEMENT
Saya langsung menggeleng sambil menyertakan 1001 alasan. “Enggak ah, aku sudah pernah ke Beijing. Dan sedang nggak terlalu minat ke China. Lagi pula Hong Kong ramai, kan? Aku suka yang agak sepi.”
Saya lalu menceletuk, “Ke Vietnam aja, gimana? Mampir Hanoi.”
Sebab, saya memang belum pernah ke Hanoi. Sekalinya menjejak Vietnam, cuma untuk transit semalam. Itu pun di Ho Chi Minh, dan tak sempat keliling-keliling.
Kenapa mesti Hanoi? Ya, karena ingin saja. Tak ada alasan spesifik. Tapi salah satu pertimbangannya, segala-gala di Vietnam relatif murah, jadi bisa lumayan hemat meski mondar-mandir ke sana kemari.
Apapun, kawan saya itu keukeuh hendak ke China. Ya gimana enggak, lha wong ternyata dia dapat tiket pesawat gratis, lengkap dengan karcis masuk Disneyland HK secara cuma-cuma. Rupanya dia menang lotre apalah, begitu--saya lupa namanya.
ADVERTISEMENT
“Ya sudah, kalau nggak mau ke Beijing, bareng ke Paris aja gimana?” kata dia, seakan kami punya banyak simpanan tunai yang tinggal ditarik dari rekening abadi.
“Aku nggak minat ke Paris. Mending ke Praha, Bukares, atau negara-negara Balkan-Baltik lain,” kata saya menyahut enteng sama gila, seolah punya tumpukan duit tak berseri.
Kami lalu tertawa bersama. Saya dan kawan saya itu memang kurang cocok soal destinasi favorit. Dulu, waktu dia menyodorkan tawaran ke Rusia--karena tahu saya penggila negeri Lenin Stalin Putin itu, dia malah membatalkan kepergiannya ke Moskow dan “berkhianat” dengan terbang ke negeri Trump (yang waktu itu masih “kepunyaan” Obama).
Tapi, ada satu tempat yang kami amini sebagai lokasi kesukaan bersama: Bali. Yeah, nggak jauh-jauh, cuma selemparan batu dari tempat tinggal kami.
ADVERTISEMENT
Kembali ke Hanoi, pekan lalu tiba-tiba seorang rekan mengampiri saya dan berkata, “Mbak, ke Hainan, ya. Tinggal berangkat aja.”
Hainan, Bukan Hanoi (1)
zoom-in-whitePerbesar
“Hainan?” tanya saya memastikan, khawatir salah dengar. Dalam hati saya berucap ragu, Bukan Hanoi kan?
“Iya, Hainan,” kata teman saya itu. Saya pun menyahut, “Oke.”
Jadi, saya akan pergi ke pulau sekaligus provinsi paling kecil dan paling selatan di China yang dijuluki “island of leisure, vacation, and longevity” itu.
Saya tersenyum-senyum sambil geleng-geleng kepala, dan segera berkirim pesan singkat kepada kawan saya yang berencana ke China.
“Aku kualat nih. Aku bakal ke Hainan, China, hahahaa…” kata saya seraya tertawa.
Saya sih senang-senang saja karena--seperti teman saya itu: saya tak bayar sendiri, meski bukan karena menang undian. Hal lain: saya senang naik pesawat.
ADVERTISEMENT
Bukan apa-apa, tapi waktu luang sepanjang perjalanan di langit itu macam kemewahan buat saya. Sebab selama itu pula artinya: ponsel mati, dan saya bisa baca buku sepuas mungkin.
Kapan lagi bisa begitu, coba? Sementara sehari-hari saya punya berbagai urusan (halah, sok sibuk), bersama ponsel yang melekat bak separuh nyawa.
Maka, barang pertama yang saya siapkan sebelum pergi adalah novel-novel--yang sering kali dibeli meski belum tentu terbaca. Tiga yang akan saya ceburkan ke ransel malam ini ialah When We Were Orphans Kazuo Ishiguro, Immortality Milan Kundera, dan The Gambler Fyodor Dostoyevsky.
Saya rasa, 4 jam 30 menit perjalanan Jakarta-Haikou tak bakal membosankan bersama mereka--buku-buku itu, diselingi obrolan dengan teman seperjalanan baru, mungkin.
ADVERTISEMENT
Daan… mana tahu di Hainan--yang berlokasi di seberang Hanoi itu--saya dapat apa, ya kan?
Bukan Hanoi, Hainan pun jadi.
Hainan, Bukan Hanoi (2)
zoom-in-whitePerbesar
PS: Foto-foto Hainan di atas diambil dari Unsplash dan Pixabay.
Update: Berikut oleh-oleh dari Hainan ;)