Ihwal Guntur dan Syukur

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
12 Januari 2020 17:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bulan. Foto: Robert Karkowski/Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Bulan. Foto: Robert Karkowski/Pixabay
ADVERTISEMENT
04.30. Aku bangkit dari ranjang menuju taman. Hawa masih dingin. Aku mendongak dan melihat bulan menggantung di langit—bundar, terang. Gerhana penumbra telah lewat. Bulan tak lagi redup.
ADVERTISEMENT
Di bawah cahayanya, aku merentangkan tangan, meregangkan tubuh, dan menghirup udara segar sambil menyapa tetumbuhanku serta satu laba-laba mungil yang membangun kerajaan di sudut taman. Ia menebar jaring-jaring halus transparan di dekat bonsai anting putriku. Kubiarkan ia bersarang di situ. Aku tak keberatan.
Awan sirus. Foto: Pixabay
06.30. Aku memunguti daun-daun kering di taman, hasil tiupan angin yang lebih kencang belakangan. Usai memasukkan dedaunan mati itu ke keranjang sampah, aku kembali menengadah. Langit biru cerah berhias serabut awan putih.
Aku memanggil putriku. “Al, kalau langitnya begini, artinya cuaca bagaimana?” Ia sedang belajar bab ‘cuaca’ di sekolah.
“Cerah,” jawab Aliyah, lalu menambahkan, “Tapi ada awan di sana. Bukan awan abu-abu.”
Aku mengangguk. “Itu namanya awan sirus. Warnanya putih dan bentuknya tipis seperti serabut. Memang bukan awan hujan yang tebal kelabu. Awan sirus biasa muncul saat cuaca cerah,” kataku—yang sedari kecil gemar mengamati awan di langit.
Awan kumulonimbus. Foto: Igor Ovsyannykov/Pixabay
“Awan hujan namanya apa?” tanya Aliyah.
ADVERTISEMENT
“Nimbostratus. Awan pembawa hujan berwarna putih keabu-abuan. Dia tebal, menutupi cahaya matahari. Tapi yang bahaya itu kumulonimbus—kelabu gelap dan menjulang. Kalau kumulonimbus datang, hujan bakal turun deras bersama angin dan petir. Ini awan paling mengancam. Ada muatan listrik di dalamnya,” ujarku, teringat salah satu ceritaku.
Matahari bersembunyi berhari-hari. Kumulonimbus berarak megah di angkasa, menyelubungi daratan dengan rona kelam kelabu, mengirim pasukan topan guntur lewat gelegarnya yang membuat ciut jiwa-jiwa tak bernyali.
Hujan. Foto: Sourabh Yadav/Pixabay.
Untuk orang yang tumbuh di kota hujan, kurasa ketertarikanku pada awan cukup wajar. Jenis awan jadi penanda apakah hujan akan turun atau tidak. Hawa menjelang hujan pun punya aroma khas.
Sewaktu kecil, aku tak cuma suka melihat awan. Aku juga senang membaui hujan dan memandangi kilat yang menyambar-nyambar. Kurasa, Bogor dulu punya kilat lebih banyak dari saat ini—dan suplai listrik yang lebih sedikit. Begitu hujan lebat turun, listrik bisa langsung mati sehingga aku membaca diterangi lilin.
ADVERTISEMENT
Aku ingat satu momen ketika hujan deras mengguyur dan aku sedang mengaji di rumah bersama teman-teman sekitar. Petir mendadak menyambar menggelegar. Sedetik kemudian, lampu mati. Ibuku langsung menyalakan lilin-lilin di ruang tengah, sedangkan sebagian temanku menutup kuping mereka dengan kedua tangan, jeri mendengar raungan halilintar.
“Jangan tutup telinga. Suara malaikat lebih keras dari bunyi petir,” kata Pak Ustaz kami.
Aku tak tahu itu benar atau tidak, tapi aku diam saja. Tak ingin bertanya apa pun. Tak juga menutup kuping seperti kawan-kawanku. Aku terpukau pada gelegar halilintar yang baru lewat. Meski petir kerap singgah, bunyi guntur sedahsyat itu tak sedemikian sering.
Petir. Foto: Felix Mittermeier/Pixabay
Untuk orang yang tak sehari-hari tinggal di Bogor kala itu, guntur yang tiap hari menyapa pada musim hujan mungkin agak mengagetkan.
ADVERTISEMENT
Sekali waktu, petir seperti masuk ke ruang tengah rumahku. Ia menyala terang, membuat nenekku—yang sedang berkunjung dari timur Jawa—amat kaget dan memeluk dua cucunya erat-erat di tempat tidur. Sementara aku yang dirangkul justru terus memandang ke titik petir datang, di ruang tengah, tepat depan televisi.
Beberapa waktu kemudian, rumahku dipasangi tiga penangkal petir. Ujung-ujungnya yang runcing berdiri angkuh di pucuk genting.
Gunung Salak. Foto: Flickr/cipera1
07.30. Aku melambai ke arah petugas keamanan yang tengah membukakan portal untukku, lalu menoleh lagi ke jalan. Seketika aku terkesima. Gunung membentang megah di hadapan. Dari portal di depan perumahanku itu, ia tampak menjulang. Seluruhnya biru, tak bersaput awan.
Cuaca cerah membuatnya terlihat utuh jelas meski di kejauhan. Kombinasi kemegahan Gunung Salak dan birunya langit membuatku merasa tenteram. Hari Minggu biasa yang istimewa, pikirku.
ADVERTISEMENT
Anugerah alam belum berakhir. Melintasi lapangan bola desa, gunung lain berdiri anggun. Itu Gunung Pancar dibayangi Gede-Pangrango bersaudara. Aku berdecak kagum. Rangkaian gunung di sisi kanan dan kiri jalan adalah lanskap mewah yang memanjakan mata. Gunung-gunung ini seolah melingkari Bogor.
Beberapa detik kemudian, aku memaki-maki diri sendiri karena lupa mengeluarkan ponsel untuk memotret. Padahal, tak setiap hari gunung-gunung itu terlihat sebegitu menawan. Ya sudahlah, toh aku tetap senang dibuatnya.
Kolam renang. Foto: Pixabay
08.00. Aku berenang bolak-balik di kolam yang berjarak semenit berkendara dari rumahku. Sebetulnya, kolam renang itu ada di depan rumahku. Tapi karena ia beda kompleks dengan perumahan tempatku tinggal, aku harus berputar untuk sampai ke sana. Sebab, kedua perumahan dibatasi tembok beton dan rimbun tetumbuhan. Andai tak begitu, aku tinggal lompat dan langsung mencebur ke kolam.
ADVERTISEMENT
Air kolam yang jernih, langit biru yang bersih, dan puncak gunung yang menyembul di balik kelopak kembang, semua terlihat olehku yang merendam diri di kolam selama dua jam. Panorama itu sungguh menenteramkan hati. Tiba-tiba, aku merasa beruntung dan bersyukur. Sebab aku tak perlu ke mana-mana untuk menyenangkan diri. Tinggal pulang ke rumah sendiri.