Kalimat Sempurna

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
18 November 2018 9:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kalimat Sempurna
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
There’s no such thing as perfect writing, just like there’s no such thing as perfect despair. ― Haruki Murakami, Hear the Wind Sing
ADVERTISEMENT
Aku baru sadar, aku beruntung bisa belajar menulis―dengan benar. Sepuluh tahun lebih aku mempelajarinya sejak bekerja sebagai jurnalis. Dan sampai saat ini, aku belum berhenti belajar dan bereksperimen soal tulis-menulis.
Tulisanku tidak serta-merta bagus―dan mungkin sekarang pun tak bagus-bagus amat. Setidaknya, tak semrawut dan dapat dipahami. Pun untuk menuju dan mencapai level standar itu, butuh ketekunan. Sebab aku bukan tipe orang yang serbabisa atau cerdas luar biasa. Rata-rata saja.
Omong-omong soal tulisan, Murakami benar: tidak ada kalimat yang sempurna.
Itu sebabnya aku selalu melihat kembali tulisanku yang sudah rampung. Untuk mengecek kalau-kalau ada tipo (ya, typo telah diserap ke Bahasa Indonesia), kalau-kalau ada susunan kalimat yang tak pas atau tak logis secara gramatikal maupun leksikal, kalau-kalau ada kata sambung atau konjungsi yang tertinggal, kalau-kalau data dan informasi tak lengkap atau terlihat janggal, kalau-kalau komposisi antara teks dan visual kurang sesuai atau tak setimbal.
ADVERTISEMENT
Pokoknya, banyak “kalau-kalau” yang perlu diantisipasi untuk membentuk kalimat dan cerita yang sempurna, jadi―pesanku berkali-kali kepada para penulis di timku―jangan lupa untuk selalu memeriksa ulang tulisan yang sudah selesai, bahkan telah tayang.
“Jangan dulu tidur setelah tulisan published! Sisir lagi artikel kalian dan segera kabari kalau ada yang salah atau ganjil!” Begitulah kira-kira teriakan-teriakanku setiap Senin pagi kepada anggota timku―yang beserta seruan-seruan lainnya kerap membuatku dijuluki “Bos Diktator” oleh anak buahku.
Entah mereka berkelakar atau tidak, tapi untuk menghasilkan kisah sempurna kadang memang diperlukan tangan besi―atau tangan dingin. Tak ada tempat bagi kesalahan sekecil apa pun. Karena sekali kesalahan kecil ditolerir, ia akan lekas mengembang menjadi kesalahan besar.
Sebegitu pun, kesalahan-kesalahan masih saja terjadi. Apalagi kalau tidak diantisipasi.
ADVERTISEMENT
Namanya juga manusia, tempatnya salah, kata orang. Oh, jangan biasakan lunak dengan kekeliruan, dong. Kesalahan harus diminimalisasi atau kita tak maju ke mana-mana.
Manusia memang tak sempurna, tapi kalimat sempurna dihasilkan dari kendali tanpa batas.
Yeah, kurasa aku memang diktator.
Kalimat Sempurna (1)
zoom-in-whitePerbesar
“Nggi, bantuin edit rilis gue dong, please…” kata seorang kawan menyorongkan lembaran kertas kala kami berjumpa di kafe. Dia government affairs strategist di satu perusahaan dan pemilik startup PR kecil-kecilan.
Aku membaca sepintas tulisan padat di kertas itu, dan menggeleng-geleng jengkel melihat kekacauan di situ. “Ini tak bakal dimuat di mana-mana. You should hire a professional writer,” kataku, pedas.
We don’t have that professional writer, yet―but we will. That’s why I need your help. Kamu pasti bisa membenahinya dalam satu jam, kan,” katanya, memandangiku dengan memelas.
ADVERTISEMENT
“Setengah jam cukup,” kataku, lalu meminta soft file tulisan itu dan mengedit langsung di sana sambil menyesap kopi.
“Nih,” kataku 20 menit kemudian, memutar laptop ke arah kawanku supaya dia bisa melihat editanku.
“Aduh, thanks banget, ya,” kata dia girang. Matanya berbinar-binar menatap layar laptop.
Aku menimpali, “Ini kopi, kamu yang bayar. Oh ya, bantuan pertama gratis. Bantuan kedua, ketiga, dan seterusnya, bayar. Cause I am a professional writer.
Dia mendelik, dan aku menyeringai. Ternyata bisa menulis ada gunanya.
Kalimat Sempurna (2)
zoom-in-whitePerbesar
“Aku mau belajar menulis betulan,” kata kawan lain yang memutuskan pergi agar punya banyak waktu luang untuk belajar menulis.
Aku mengangguk mengerti meski menyimpan nyeri di hati. Betapa nasib kadang menertawaimu habis-habisan. Kawanku itu selama ini bersama orang yang tepat untuk mengajarinya menulis―aku. Tapi aku tak pernah benar-benar mengajarinya kecuali selintas-selintas. Aku tak tahu dia sungguh-sungguh ingin menulis.
ADVERTISEMENT
Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna.
“Tolong ajari kawanku menulis, ya. Baik-baiklah kalian di sana,” kataku pada seorang teman yang kini akan mengiringi kawanku yang pergi.
“Apa yang enggak buat Mbak Anggi,” ujarnya. Aku tersenyum. Mereka akan cocok satu sama lain.
There’s no such thing as perfect despair.
Kalimat Sempurna (3)
zoom-in-whitePerbesar
“Nggi, bantu edit lagi dong,” kata temanku yang tukang mengusik.
“Enggak ah, kecuali kamu bayar jasa pengeditan,” jawabku pendek.
“Aku bantuin jual buku kamu, deh. Kapan itu selesai?” ujarnya, merayu.
“Should be by the end of this year. But I’m not in a rush with that dark roman,” kataku.
Buku itu berisi cerita-cerita yang tak benar-benar selesai kutulis. Semua kisah menggantung di udara. Dengan tanda tanya berserak di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Karena aku tahu kisah itu tak bakal pernah lengkap sempurna, dan mungkin kalau tamat pun akan sama membosankan, maka aku sudahi begitu saja―seada-adanya.
Buku itu akan jadi kalimat tak sempurnaku. Tanda bahwa hidup adalah kelindan rantai peristiwa nir-paripurna yang menyimpan ribuan tanya dan fatamorgana.
Things pass us by. Nobody can catch them. That’s the way we live our lives. ― Haruki Murakami
***
Ilustrasi gambar: Pexels, Unsplash