Kembang Kuburan

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
8 Juni 2018 6:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kembang Kuburan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Gubuk rotan itu berdiri teduh di seberang kuburan. Ia tak berdinding, sepenuhnya terbuka memagut angin sepoi yang setia singgah. Di lantai tanahnya, sepatu-sepatu berbaris rapi. Deretan lars hitam gagah bersisian dengan sepatu tumit rendah berhias kembang-kembang biru-merah-violet-jingga.
ADVERTISEMENT
Aku sudah beberapa kali melewati gubuk itu dalam perjalanan ke stasiun. Namun siang itu, ia tampak lebih menuntut perhatian. Itu pasti gara-gara sepatu kembang-kembang warna meriah yang terlihat mencolok. Mungkin pemiliknya perempuan desa setempat, dengan paras manis ayu memikat.
Perempuan kuburan… sepatu kuburan… kembang kuburan…
Hawa di kuburan itu sejuk sunyi menenangkan. Aku menghirupnya dalam-dalam. Membilas pori-pori kulit dan mengisi paru-paru dengan udara kuburan.
Ah, aku lupa bilang padamu. Gubuk rotan itu bengkel sol sepatu. Itu sebabnya puluhan sepatu berderet-deret di sana. Mereka tak baru, tapi sedap dipandang. Tukang sol itu pastilah tak sekadar membenahi sepatu rusak, tapi juga membersihkannya dengan telaten.
Aku belum pernah melihat wajah tukang sol itu, dan penasaran ingin berjumpa dengannya. Tiap kulewat gubuknya, entah kenapa ia tak kentara. Mungkin ia ada di balik sepatu-sepatu yang tergantung, sehingga tak terlihat saat aku melintas. Mungkin ia sedang sembahyang di satu tempat tak jauh dari sana. Mungkin ia tengah rebah beristirahat. Entahlah.
ADVERTISEMENT
Yang jelas, gubuk si tukang sol memberi nuansa berbeda pada pekuburan kecil itu. Gubuk dan kuburan itu serasi alami, dengan warna-warni sepatu kembang-kembang memancar cerah ke pusara.
Kembang kuburan… perempuan kuburan… sepatu kuburan…
Aku hampir selalu lewat jalan tikus itu. Memangkas jarak dan menghemat waktu, meski harus melewati kuburan. Nyatanya, area pemakaman itu dipenuhi udara segar bersih, membuatku merasa tak salah pilih rute.
Kembang Kuburan (1)
zoom-in-whitePerbesar
Entah kenapa, di satu malam aku teringat gubuk dan kuburan itu. Mungkin karena keteduhan yang terasa serupa--malam yang sejuk hening usai hujan mengguyur bumi; malam ganjil Ramadan yang, menurut bapakku, mungkin malam seribu bulan.
Ia mendengar suara berdenging di awang-awang usai asar (entah telinganya sempat kemasukan air atau apa, tapi baginya itu bisa jadi bunyi bala tentara malaikat turun dari langit), dan bergegas berkirim pesan kepada anak-anaknya untuk menyempatkan diri beribadah malam. Tapi seperti biasa, aku malah duduk menekuri keyboard laptop dengan angan mengembara.
ADVERTISEMENT
Aku melongok keluar. Malam hitam pekat. Pepohonan dedaunan merunduk serempak. (Mungkin mereka memang biasa begitu? Aku tak ingat--dan mulai berhalusinasi).
Suara langkah kaki terdengar lamat-lamat. Sepatu kembang menapak lambat-lambat. Ia menginjak tanah basah pekuburan, menyusuri rimbun kembang sepatu putih di garis batas pekarangan kuburan dan jalanan.
Kembang sepatu… sepatu kuburan… sepatu kembang…
Fajar merekah. Sepatu kembang menghilang. Kembang sepatu bersiram embun merah.
Wangi melati menguar dari salah satu makam. Di sana, perempuan berkebaya gading menjinjing sekeranjang penuh kembang segar.
Ia membersihkan pusara sebelum menabur kembang. Jemari lentiknya dengan cekatan menjumputi daun-daun kering, menggosok tanah dan debu yang melekat di nisan.
Nisan itu telah bersih kini. Aku tertegun. Ada namaku di sana.
Kembang Kuburan (2)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ilustrasi gambar: Pexels