Kemeja Kusam Dwi Herlambang

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
29 Februari 2020 1:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dwi Herlambang mematahkan dahan pohon di pekarangan kantor. Bengal betul, memang.
zoom-in-whitePerbesar
Dwi Herlambang mematahkan dahan pohon di pekarangan kantor. Bengal betul, memang.
ADVERTISEMENT
“Kraaakk…!!” Dahan pohon itu meretak patah seiring tarian perut Dwi yang menggila.
ADVERTISEMENT
Malam itu, sembari daily checking pendapatan liputan, Dwi berjoget meliuk-liukkan perutnya yang gembul ke kanan dan ke kiri. Ia berputar-putar mengelilingi pohon yang tertanam di halaman kantor sambil sesekali bergelantungan di dahannya.
Tak dinyana, dahan itu patah. Dwi kaget. Ia mungkin lupa memperhitungkan bobot tubuhnya kala bersandar dan bergelantungan di dahan pohon kecil itu. Ia pun garuk-garuk kepala, lalu berpose dengan memegang dahan patah itu.
Meski terang bersalah karena telah menyakiti tanaman, ia terlihat gembira. Semua tertawa memandangnya: Dwi berbalut kemeja merah kusam menggenggam dahan pohon patah.
“Ini kemeja hoki,” kata Dwi. Nama lengkapnya: Dwi Herlambang Ade Putra. Hobinya: melawak.
Dwi dan kemeja kusamnya.
“Lu kalau nerima penghargaan rapian dikit kenapa?” kata Ardhana Pragota berkomentar, gemas melihat kemeja kusam Dwi saat menerima Agrarian Reform Media Award, Kamis malam (27/3). Menurut dia, Dwi seharusnya tampil lebih “tertata”.
ADVERTISEMENT
“Sebel lihat baju itu,” sahut Tio Ridwan keesokan harinya, mengamini ucapan Gota.
Nyaris semua rekan Dwi di Lipsus kumparan sepakat: kemeja merah itu keterlaluan buluknya, hasil dipakai “melantai” di mana-mana saat liputan.
Dwi tentu saja tak peduli. Bukan cuma kemeja, celana jeans-nya saja jauh lebih kumal. Tak heran ia tak repot-repot berpikir soal pakaian apa yang kiranya cocok dikenakan pada malam pengumuman penghargaan.
Dwi pertama kali menerima email pemberitahuan bahwa tulisannya—Bara Api Konflik Agraria—masuk nominasi Agrarian Reform Media Award, saat tengah mewawancarai salah seorang menteri.
Usai liputan, Dwi menengok tulisan kandidat-kandidat juara lainnya, dan langsung pesimistis. “Berat, karena empat tulisan lain yang masuk nominasi itu bagus semua,” kata dia, berbagi kisah deg-degannya di malam penganugerahan.
ADVERTISEMENT
Sewaktu para pemenang diumumkan, Dwi kian berdebar-debar. “Peringkat tiga Mongabay, kedua Tempo. Seketika harapan pupus. Tapi ternyata malah dapat juara pertama. Luar biasa senang dan lemes. Campur aduk banget rasanya.”
Dwi berdebar-debar menanti pengumuman.
Perasaan Dwi makin campur aduk kala ingat dulu, saat akan berangkat liputan konflik agraria ke Konawe Selatan di Sulawesi Tenggara.
“Aku tuh naik pesawat yang tipenya sama seperti yang waktu itu belum lama jatuh,” ujar Dwi.
Tak banyak pilihan penerbangan ke daerah itu, dan Dwi harus memasrahkan diri pada doa. Sepanjang tiga jam perjalanan, ia—yang duduk di window seat—terus membuka mata dan menghabiskan waktu dengan melihat laut dari ketinggian.
Dwi betul-betul merasa insecure. “Auto doa itu mah. Kalau ketiduran, takut bangun-bangun udah dievakuasi,” ujarnya, bersyukur selamat sampai tempat tujuan.
ADVERTISEMENT
Setelah sepekan di Konawe, Dwi pulang ke Jakarta. Giliran Gota berangkat ke Kebumen, Jawa Tengah, untuk mengecek konflik agraria di sana. Sementara itu, Dwi serta editornya, Aryo Bhawono, berkeliling ke sejumlah narasumber di kitaran Jakarta-Bogor, sedang Rina Nurjanah—juga editor Lipsus—menganalisis dan mengolah data.
Dwi bersama para editornya, Rina Nurjanah dan Aryo Bhawono.
Hingga lewat tengah malam jelang artikel publish, Gota masih bertelepon dengan tentara untuk mendapat penjelasan versi TNI. Sebab, konflik agraria di Kebumen melibatkan warga dan tentara. Ia mengobrol khusyuk dengan Komandan Kodim satu jam lebih.
Berkat kerja keras mereka semua, liputan konflik agraria itu akhirnya tersaji, bahkan tak disangka meraih penghargaan. Dwi pun—dengan kemeja merah kusamnya—berdiri memegang trofi.
Dwi bersama para pemenang lain di podium Agrarian Reform Media Award.
“TERIMA KASIH TEMAN-TEMAN LIPUTAN KHUSUS KUMPARAN. KALIAN SEMUA JUARA!!!” tulis Dwi dalam huruf kapital dan tanda seru panjang di grup WhatsApp. Supaya praktis, jumlah tanda seru itu di sini dipangkas.
Ini salah satu kawan Dwi di Lipsus kumparan. Namanya Johanes. Panggil saja Jo. Tanpanya, Dwi adalah remahan rengginang. Dan tanpa Dwi, Jo ialah serpihan rempeyek. Hobi Jo: menggoda para nona. Satu dari dua nona di potret ini termakan godaannya.
Jo dan Dwi. Kerap gelut, kerap rukun.
Dwi dalam ancaman editornya. Ya, si kacamata hitam yang tampak kumat ingin menyambat orang itu.
Dwi dan Kakanda Gota.
Gota dan kenangan. Maria Sattwika, perempuan eks Lipsus kumparan ini, hingga kini masih menaruh perhatian pada bekas timnya. Pagi-pagi sekali, ia berkirim pesan ke mantan rekan-rekannya di Lipsus untuk berucap selamat.
Anyway, liputan Dwi dan kawan-kawan bisa ditengok di sini:
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Oh, jangan khawatir, Dwi sekarang punya kemeja baru—biru antikusam. Ganteng, kan? ;)
Selamat ya, Dwi :)
Buat yang penasaran dengan tulisan-tulisan Dwi, boleh intip akunnya di kumparan: Dwi Herlambang Ade Putra.
_________________
Semua foto diambil dari Dok. Tim Lipsus kumparan dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).