Maharaja Iblis

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
15 Juli 2019 15:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 Cahaya malam. (Avi Agarwal/Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Cahaya malam. (Avi Agarwal/Unsplash)
ADVERTISEMENT
“Dharmawangsa lima, sembilan belas empat lima.”
Persis seperti dulu. Ia membaca pesan singkat di ponselnya sekali lagi. Sekadar memastikan tak salah waktu dan lokasi. Tidak di momen yang ia nanti ini. Tidak pada pertemuan pertama mereka setelah sekian lama ia mati. Tidak malam ini.
ADVERTISEMENT
Sekilas ia melirik ke kaca spion di dalam mobil, mengamati wajahnya sendiri, dan merasa cukup puas. Rona merah tipis menjalari kedua pipinya. Ia terlihat segar dan tak lagi serupa orang mati. Bagus, sebab ia tak boleh sampai terlampau menakuti orang.
19.43. Mobil yang ia tumpangi berhenti di pelataran bangunan megah-kuno. Petugas membuka pintu mobil dan ia melangkah keluar dengan ringan, tak terintimidasi aura angkuh tempat itu. Gaun magentanya melambai anggun kala ia menapaki jalur menuju rumah utama, membuatnya seperti berjalan sambil menari.
Ia sampai di ambang pintu, dan kehadirannya merontokkan waktu. Angin dingin beraroma kemboja sekonyong-konyong bertiup menerobos pintu, membikin merinding orang-orang yang sedang menikmati santap malam mewah.
Mereka menoleh seketika ke pintu—ke arahnya, dan tertegun mendapati figur arkais berdiri di sana. Ia melepas tatap mata menghunjam yang membekukan seisi ruangan. Orang-orang terkesima, termakan kengerian, dan tersihir wangi kembang kuburan.
ADVERTISEMENT
Sihir kemudian patah ketika sosok itu menarik sudut-sudut bibirnya membentuk senyum ramah memikat, seolah minta maaf karena telah mengusik.
Tetamu memaklumi. Ruangan kembali berdengung lembut oleh obrolan para pengunjung restoran yang berbaur dengan denting halus sendok-garpu-gelas-pisau. Di atas meja-meja makan bergaya klasik, napas lega diam-diam terembus.
Oh, dia pasti manusia biasa, bukan dewi kayangan kesasar yang hendak murka atau bangsa lelembut celaka yang bisa bikin mampus.
Gaun magenta melanjutkan langkahnya—masih diiringi lirikan orang-orang. Ia melintasi ruangan, menyeberangi taman, menyapu udara dengan parfum kemboja, terus lurus menuju sudut terbuka yang dirambati alamanda.
19.45. Sepasang mata bersorot tajam menyambutnya, menatapnya lekat-lekat. Mata elang yang ia nanti.
Pemilik mata itu berdiri, dan mengulurkan tangan kepadanya. “Halo, Marina.”
ADVERTISEMENT
Ia menyambut uluran tangan itu. Hangat seperti dulu. “Hai, Ardana.”
Keduanya berjabat erat, dan jarum jam di dinding seberang mereka berputar mundur...
***
Waktu. (Fabrizio Verrecchia/Unsplash)
“Dharmawangsa lima, sembilan belas empat lima.”
Marina memasuki pelataran restoran dengan langkah lincah balerina. Hatinya bungah. Ardana telah kembali dari misi berbahaya di Laut Hitam. Minggu lalu di perairan itu, kapal pesiar berpenumpang dua ribu orang diserang komplotan perompak. Satu di antara para sandera utama adalah menteri terkemuka asal Indonesia yang sedang berlibur bersama gundiknya.
Rupa-rupanya, panglima bajak laut menawan penumpang kapal untuk satu tuntutan: agar aparat membebaskan kekasih gilanya—yang gemar membunuh sepuluh orang dalam satu sabetan pedang. Si kekasih sinting ditangkap Interpol di Selat Malaka di tengah perjalanan menemui klien penting: taipan asal Asia yang menjadi penadah barang rampokan mereka. Ia kemudian ditahan di Sumatera, membuat pasangannya—raja segala bajak laut—naik pitam dan mengincar pejabat tinggi negeri ini untuk disandera.
ADVERTISEMENT
Maka Ardana dikirim untuk bergabung dalam operasi penyelamatan di Laut Hitam yang berlangsung berhari-hari dengan negosiasi alot di sana sini. Di hari ketujuh, Ardana jemu dengan proses perundingan yang berlarut-larut. Ia memutuskan untuk bertindak.
Dalam sekali tabur, selusin bajak laut mati bergelimpangan setelah diserang rasa sakit hebat di perut. Tak sampai sejam, jenazah mereka diangkat dari Coral Marina—nama kapal pesiar itu. Rilis pers yang digelar usai autopsi menyebut gerombolan lanun itu mati keracunan bumbu masakan mereka sendiri.
Tapi Marina tahu bukan begitu yang terjadi. Begitu duduk di hadapan Ardana, ia tersenyum dan membuka obrolan. “Sebaiknya kau tak menggunakan serbuk itu terlalu sering. Ia serbuk iblis.”
“Dan aku titisan iblis,” ujar Ardana meraih tangan Marina dan menciumnya.
ADVERTISEMENT
“Jangan cemaskan serbuk itu. Bagaimana pentasmu minggu lalu? Sayang sekali aku tak jadi menonton,” kata Ardana sambil memanggil pelayan, siap memesan makanan.
Marina melempar senyum tawar. “Seperti biasa, sukses besar. Tarianku belum pernah tak memukau, bukan? Bahkan kau yang tak terlalu peduli pada seni sampai mau-maunya mengencani penari.”
Ardana menggenggam tangan Marina dan menatap lurus mata magentanya. “Kau berbeda dengan yang lain. Kau Maharani Balerina—penari jelmaan malaikat dengan kemahiran meracik bumbu iblis.”
Marina mengangkat bahu. “Aku tak tahu mesti tersanjung atau tersindir. Tapi aku khawatir serbuk itu harus kugunakan sendiri sebentar lagi.”
Ardana menautkan kedua alisnya, “Kau benar-benar tak bisa menolak lamaran putra pemilik sanggarmu itu?”
Terdengar tarikan napas sebelum Marina menggeleng. “Pilihannya cuma dua: dia mati atau aku mati. Salah satu dari kami harus mati, atau aku akan jadi miliknya. Sejak dulu aku sudah jadi properti perusahaan. Kebebasan adalah harga yang harus kubayar untuk menjadi seorang Maharani Balerina.”
ADVERTISEMENT
Ia menggeram halus. “Kalau aku pergi, mereka akan mengejarku sampai ujung dunia, lalu menemukanku dan membunuhku. Aku terlalu banyak tahu, jadi aku harus menjadi bagian dari mereka atau sirna. Penari baru selalu bisa dicari.”
Ardana menatap nanar ke langit di atas mereka. Ia tahu tak bisa membawa lari Marina begitu saja. Mereka tak bisa bersembunyi selamanya. Ia sendiri terikat kontrak dengan iblis. Ia bisa mati kapan saja tanpa ada yang mencari—kecuali Marina; itu pun kalau gadis itu masih hidup.
“Jangan kau yang mati. Aku punya cara.” Ardana menegakkan duduknya. Marina memandang nyalang kepadanya.
“Jangan bilang kau akan menggunakan serbuk itu lagi. Kau harus sadar, aku menghadapi keluarga taipan yang licin, bukan pemilik sanggar biasa,” ujar Marina, memberi peringatan serius atas rencana apa pun yang ada di kepala lelaki di depannya.
ADVERTISEMENT
Rahang Ardana mengeras. “Kau kenal aku dengan baik. Tak ada cara yang tak patut dicoba. Keahlianmu meracik bumbu iblis pasti bukan diberikan para dewa tanpa tujuan. Kau dimaksudkan untuk jadi penyihir.”
Marina tertawa hambar. Api menari di bola matanya.
Berlayar. (Casey Horner/Unsplash)
Sebulan kemudian, publik dikejutkan oleh berita kematian keluarga Bimasena, taipan ternama asal Indonesia. Ia beserta istri dan anaknya ditemukan tewas di penthouse suite kapal pesiar Coral Marina yang tengah melintasi Selat Bosporus menuju Laut Hitam.
Kematian itu sungguh tragis karena terjadi hanya seminggu menjelang pernikahan Ravan, sang putra sekaligus pewaris tunggal konglomerasi bisnis besar Bima. Padahal, undangan sudah disebar dan jas serta gaun pengantin telah siap dikenakan. Ravan akan kawin dengan balerina terkenal kesayangan keluarga itu, Marina Scheherazade.
ADVERTISEMENT
Penyelidikan digelar dan seluruh ruangan di kapal celaka itu digeledah. Seminggu kemudian, otoritas Turki menyatakan keluarga tersebut keracunan bumbu. Bumbu maut ditemukan pada baklava—jajanan khas Asia Tengah—yang tersisa di penthouse suite Coral Marina yang mereka tempati.
“Tapi kenapa hanya mereka bertiga yang tewas, sedangkan penumpang lain yang memakan baklava sejenis baik-baik saja?” tanya wartawan.
Pejabat Direktorat Keamanan Turki menjelaskan, baklava beracun itu tak berasal dari kapal. Ia dibeli dari sebuah kafe di Anadolu Kavağı saat kapal tengah berlabuh di sana. Semua pegawai di kafe itu telah diperiksa. Mereka mengatakan pramusaji yang melayani keluarga Bima adalah orang baru. Ia belum sampai dua minggu bekerja, dan raib tak tentu rimbanya sehari sesudah tragedi di Coral Marina.
ADVERTISEMENT
Polisi kesulitan menggambar sketsa wajah pelayan misterius itu karena—entah mengapa—rekan-rekan kerjanya memberikan deskripsi berbeda satu sama lain. Mereka benar-benar tak yakin wajahnya seperti apa. Lebih buruk lagi: identitasnya selama bekerja di kafe itu palsu belaka, dan ia tak meninggalkan satu sidik jari pun. Ia tak terlacak. Lenyap tak berbekas.
Ramuan sihir. (Pratiksha Mohanty/Unsplash)
“Adakah kaitan antara kematian Bima dengan kematian massal para perompak yang membajak Coral Marina bulan sebelumnya? Mereka sama-sama tewas karena bumbu,” tanya wartawan lain. “Apakah keluarga Bima sedang berlibur di Coral Marina atau punya keperluan lain?” Reporter terus mencecar.
Pejabat Turki itu selintas mengusap titik keringat yang muncul di keningnya sebelum memberikan keterangan terpenting. Ia mengatakan, hasil penyelidikan atas seluruh jalur komunikasi Bima mengungkap bahwa mendiang taipan itu merupakan penadah barang rampokan para perompak Laut Hitam yang tewas dilibas bumbu masakan.
ADVERTISEMENT
Meski komplotan itu tewas, harta rampasan mereka belum seluruhnya ditemukan. Dan Bima berada di Coral Marina untuk mencari satu yang paling berharga: batu alexandrite milik Tsar Rusia yang dicuri dari Istana Musim Dingin di Saint Petersburg. Batu itu konon selalu berada di kantong sang panglima bajak laut ke mana pun ia pergi, dan ia kali terakhir berada dalam kondisi hidup di Coral Marina.
Publik gempar. Bimasena, konglomerat terhormat itu, ternyata bajingan. Orang-orang berhenti pura-pura berduka atas kematiannya. Mereka bisik-bisik, yakin Bima terkena tulah. Desas-desus tak berkesudahan membuat saham berbagai perusahaan milik mendiang taipan itu bertumbangan hampir seketika.
Keriuhan telah reda ketika isi surat wasiat Bima tersebar ke khalayak. Di dalamnya, tercantum nama Marina Scheherazade sebagai ahli waris utama sang taipan setelah istri dan anaknya—yang mati bersama dia di kapal.
ADVERTISEMENT
Namun Marina bak menghilang ditelan bumi. Maharani Balerina itu meletakkan kostum baletnya dan mundur dari lampu sorot.
Tarian malam. (Vladislav83/Pixabay)
***
“Dharmawangsa lima, sembilan belas empat lima.”
Ardana melangkah tenang menuju meja di sudut taman. Kali ini Marina tiba lebih dulu. Ia duduk bersilang kaki dengan rokok terselip di jemari. Gurat tegas di wajah perempuan itu mengental dan mengendap. Bola matanya menggelap. Ardana curiga, aroma bumbu iblis merasuki Marina dan bersekutu dengannya.
Tanpa menoleh ke lelaki yang baru duduk di dekatnya, Marina berkata dengan suara sedingin es. “Sudahkah kubilang padamu: sekali kau menempuh jalan setan, tak ada cara untuk kembali. Selamanya kau tertawan.”
Ardana menyahut lembut. “Apa ruginya, Marina? Kita sudah jadi tawanan sejak dulu. Dengan atau tanpa serbuk iblis itu.”
ADVERTISEMENT
Marina mematikan rokoknya, lalu mematri pandangan pada mata elang Ardana. Ia mengeluarkan botol kecil dari quilted bag-nya, dan menaruhnya perlahan di atas meja.
“Segel botol ini terbuka saat aku memeriksa kotak penyimpanan,” ujarnya lirih.
Ardana terperangah. Tak ada yang bisa mengakses kotak itu selain dia dan Marina—seharusnya.
“Ravan tak mati,” bisik Marina. “Ia muncul tiba-tiba di hadapanku seperti hantu kuburan, dan membuatku menelan bumbu racikanku sendiri,” ujarnya, menjeling ke arah botol di meja.
Darah Ardana serasa membeku. Marina melanjutkan ucapannya. “Aku menelan satu-satunya serbuk tanpa penawar—serbuk putri tidur. Aku akan tidur lama sekali. Bertahun-tahun, seperti mati.”
Ardana menukas, “Kau bicara apa? Mayat Ravan bahkan telah diautopsi. Kalau pun ia hidup dan hendak membalas dendam, kenapa ia hanya menidurkanmu alih-alih membunuhmu?”
ADVERTISEMENT
Marina meletakkan kepalanya di pundak Ardana. “Tak lama lagi, aku ada tapi tiada. Itu mungkin salah satu jenis siksaan terbaik darinya.”
Marina mengatupkan kelopak matanya. “Jangan mati sebelum aku bangun. Dan berhati-hatilah dengan Ravana. Ia Maharaja Iblis.”
Juli 2019, dalam upaya mengunci diri di negeri fantasi