Malam di Yogya

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
12 Februari 2019 0:33 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pagi hari di beranda tepi kolam.
zoom-in-whitePerbesar
Pagi hari di beranda tepi kolam.
ADVERTISEMENT
Sabtu pagi, Ardhana Pragota​ sibuk menggumam-gumam, “Meremas atau memeras? Me-re-mas | Me-me-ras.” Gumaman itu tak putus sehingga saya bertanya heran, “Kamu kenapa, sih?” Saya menduga-duga apakah alkohol masih menggenangi kepalanya.
ADVERTISEMENT
Gota tak acuh, namun kemudian kasak-kusuk berdua dengan Tio Ridwan, kawannya, sambil cekikikan. Mereka sejak dulu memang begitu—satu frekuensi dalam banyak hal meski tak mesti satu hati.
Kalau mereka sudah bisik-bisik berdua, paling bagus pergi saja daripada jadi “orang ketiga”.
Tio dan Gota berdiskusi.
Minggu malam, Tio mendekati Gota sambil menenteng laptop. Ia duduk bersila di dekat Gota, membuka layar laptop, dan bertanya lebih detail soal “meremas” dan “memeras”. Keduanya kembali mengobrol khusyuk tanpa bisa diputus. Meski diselingi tawa di sana sini, saya tahu mereka tengah berdiskusi serius.
Semalaman itu, Tio tak tidur. Begitu pula sejumlah kawan yang membantu memilah-milah materi garapan. Namun tidak demikian dengan editor mereka, Aryo dan Rina. Jelang tengah malam, keduanya membawa tumpukan bantal ke dua sofa panjang di ruang tengah, dan bersiap tidur di sana.
ADVERTISEMENT
“Kenapa tidur di sofa? Nggak di kasur saja?” tanya saya. Aryo dan Rina kompak menjawab, “Kalau di kasur bakal bablas, nggak bangun ngedit dini hari nanti.”
Saya tersenyum dan masuk kamar, juga bersiap tidur dengan lebih dulu mengeset alarm ponsel di pukul 03.00 pagi.
Seperti itulah rutinitas kami di Minggu malam, dan kadang Kamis malam. Para penulis merampungkan garapan, sedangkan para editor—setelah mengecek alur penulisan—mencuri waktu untuk tidur sejenak barang dua-tiga jam sebelum berjibaku menyusuri hasil pekerjaan para penulis.
Bedanya, biasanya kami melakukan itu di rumah atau kos masing-masing. Kami yang saling berpencar, berbagi tugas dan berkomunikasi—bertanya, berseru, berbantah, berembuk—lewat grup di ponsel.
Baru pada malam di Yogya itu kami melakukannya di bawah satu atap. Sebab, kami tengah tamasya ke Yogya untuk menghadiri pesta pernikahan kawan satu tim—Agritama.
Pergi tamasya atau ke kondangan?
Happy wedding, Agri & Anit!
Di Yogya, supaya semua mudah dimonitor, saya mencari rumah yang bisa menampung 10 orang sekaligus via Airbnb.
ADVERTISEMENT
Voilà, saya dapat rumah yang amat nyaman ditempati—lengkap dengan kolam sehingga saya bisa berenang setiap hari.
Rumah yang asyik.
Minggu malam, sementara saya sejenak memejamkan mata, Tio malah menyangga mata dengan entah berapa sachet kopi.
Ia mengetik berpindah-pindah tempat—kamar, beranda tepi kolam, ruang tengah, serambi, kamar lagi, keluar lagi ke beranda, berputar terus sekehendak hati.
Sepertinya sih dia sedang berpikir serius.
Selama Tio berputar-putar seantero rumah sembari mengetik, Gota ikut tak tidur. Kapan pun Tio menghampiri, ia segera menarik punggung dari sandaran kursi, menegakkan posisi duduk, dan meletakkan rokok.
Saya diam-diam mengamati keduanya dengan senyum terkulum. Mereka sungguh punya pengertian tinggi satu sama lain, sadar atau tak sadar.
Bukan kuliah subuh. It's Monday Morning 5.19 (ada yang tahu judul lagu grup musik apa ini?)
Pukul 03.15 dini hari setelah alarm ponsel saya berbunyi dan saya keluar kamar, Aryo dan Rina sudah duduk tegak di kursi serambi dengan sorot mata lurus menuju layar laptop. Raut wajah mereka sedemikian serius, bak pahatan arca.
ADVERTISEMENT
Di samping Rina, Erin masih terjaga. Dengan batang rokok terselip di jemari, ia berupaya mencerna apapun yang terpampang pada Google Docs di hadapannya. Begitu pula Johanes masih mengetik meski kusut wajah tampannya tak bisa lagi ditutupi.
Saya berjalan melintasi beranda dan ruang tengah, dan kembali menahan senyum. Tamasya tak membuat mereka lupa pada tugas—atau terpaksa tak lupa karena saya kerap berucap, “Bebas mau apa, terserah saja, pokoknya kerjaan beres, titik.”
***
Malam sebelumnya, Sabtu larut malam, separuh ruang tengah dan beranda rumah itu menjelma arena dansa. Bermula dari celetukan “Siapa bisa dansa?”, Gota mendadak menjadi instruktur dansa.
Diiringi irama waltz yang didapat Ulfa dari YouTube—dan putaran sloki jeruk fermentasi yang diedarkan Dwi Herlambang, Gota mengajari saya dan Rina berdansa.
ADVERTISEMENT
Saya tak sangka dia mahir berdansa. Langkahkan kaki dua kali ke kanan, dua kali ke kiri, maju, mundur, awas menginjak kaki pasangan! Susah payah saya mencoba menghafal arah langkah-langkah itu.
Saya dan Rina tak pandai berdansa. Kami kaku bukan main. Cuma Erin yang bisa menari di tim kami. Tapi, kata dia, “Aku bisanya tari tradisional. Dansa yang begini nggak bisa.”
Apalagi saya. “Aku nggak hafal langkahnya. Ke kanan atau kiri, maju atau mundur dulu,” kata saya, ceriwis seperti biasa sembari bingung menerka gerak kaki Gota.
Gota instruktur dansa yang tegas, tak peduli saya bosnya atau bukan. “Mbok, yang penting ikuti aku. Ketika berdansa, lelakilah yang nge-lead. Kamu ikuti dulu, nanti lama-lama bisa merasakan iramaku.”
ADVERTISEMENT
Dalam hati saya menggerutu, “Ya masalahnya ikut ke kanan atau kiri, maju atau mundur.” Tapi Gota benar. Perlahan saya bisa mengikuti langkahnya.
Tap tap tap tap, kaki saya melangkah tak sesulit di awal. Saya tak lagi menginjak kaki Gota. Setelah beberapa lama, ia memutar badan saya, dan dansa berakhir.
Hmm, lumayanlah kursus singkatnya. Rina—yang semula segan—lama-lama juga bergerak agak luwes. Rina dan Gota berdansa sementara saya berayun-ayun santai di tepi kolam melihat mereka berputar-putar.
Malam itu cerah betul. Saya berlari-lari kecil ke sana kemari, bergerak mengelilingi kolam dan kebun sambil sesekali mendongak menatap langit. Kapan lagi bisa menatap langit berlama-lama, sepuas-puasnya, hingga dini hari. Kan tak selalu.
Memang ada apa di langit? Anggaplah saya pemuja langit. Di sana, semesta tampak hening menenangkan, berkebalikan dengan semesta manusia yang sering bising menyebalkan.
ADVERTISEMENT
***
“Meremas atau memeras? Me-re-mas | Me-me-ras.” Gota dan Tio kembali membincangkan perkara itu.
Saya hanya mengerutkan kening melihat dua sekawan itu. Barulah Senin pagi saat mengecek tulisan Tio, saya paham apa yang mereka obrolkan soal “meremas” dan “memeras” itu.
Sila tengok artikel di bawah ini bila penasaran. Tonton juga video di dalamnya, ya ;)