news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Melepas Jantung Hati ke Tanah Basah

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
17 November 2017 6:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menguburkan anak. (Foto: Yurika Kencana/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Menguburkan anak. (Foto: Yurika Kencana/kumparan)
ADVERTISEMENT
Umur manusia siapa tahu kecuali penciptamu. Dan di antara kita, ada yang harus mati teramat muda. Mereka belum lagi mengembangkan sayap ketika direngkuh tanah basah.
ADVERTISEMENT
“Nggi, ada acara Paliatif Anak di Citos. Mungkin ada yang tertarik datang, aku forward email-nya ke redaksi, ya,” kata Mas Tjatur, salah satu direktur kumparan, pertengahan Oktober.
Saya yang sedang sibuk mengedit, mengernyit mendengarnya. Lalu mengucap ulang kata yang asing di telinga saya itu. “Paliatif?”
“Iya, paliatif. Kamu baca email-nya aja. Dulu anakku didampingi mereka,” kata Mas Tjatur.
Beberapa saat kemudian, saya membaca email itu. “Yayasan Rumah Rachel akan merayakan Hari Asuhan Paliatif Anak Sedunia dengan meresmikan instalasi Living Walls raksasa… Hampir 700.000 anak di Indonesia hidup dengan penyakit serius, dalam kesakitan. Kurang dari satu persen anak-anak ini dapat mengakses layanan asuhan paliatif.”
“...menyediakan penanganan nyeri dan gejala bagi anak-anak yang hidup dengan kanker dan HIV/AIDS di daerah Jakarta dan sekitarnya sejak 2016. ...banyak anak dengan penyakit berat, yang mungkin tidak memiliki hari esok.”
ADVERTISEMENT
Saya, yang awam soal medis, lalu mencari arti kata “paliatif” di Kamus Besar Bahasa Indonesia online. Ternyata paliatif bermakna “Meringankan/mengurangi/meredakan penderitaan.”
Kening saya kian berkerut, lalu merespons email Mas Tjatur, “Anak Mas dulu kenapa?”
Email balasan datang, “Stage 4 neuroblastoma.”
Entah kenapa kata itu terdengar mengerikan di telinga saya--neuro-blast-oma.
Saya buru-buru mengetikkan “neuroblastoma” di mesin pencarian Google. Hasilnya: Neuroblastoma merupakan kanker yang sering ditemukan di kelenjar kecil di atas ginjal (adrenal), memerlukan operasi dan kemoterapi.
Padahal kata “kanker” sendiri sudah cukup menakutkan. Kanker ialah penyakit ketika sel-sel abnormal membelah tak terkendali dan menghancurkan jaringan tubuh. Dan yang dimaksud “membelah” tepatnya adalah menggandakan dan memperbanyak diri tanpa batas.
Ilustrasi sel dalam tubuh. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sel dalam tubuh. (Foto: Thinkstock)
Perasaan saya jadi tak enak dan memutuskan tak bertanya lebih lanjut ke Mas Tjatur soal anaknya--belum.
ADVERTISEMENT
Seorang rekan reporter, Maria Sattwika, melakukan riset kecil-kecilan tentang “paliatif” dan menemukan ada cukup banyak kisah tentang anak penderita kanker di Indonesia. Tampaknya angka 700.000 anak berpenyakit serius yang disebut Yayasan Rumah Rachel--penyedia layanan asuhan paliatif--tak main-main.
Tapi kenapa anak sekecil itu bisa mengidap penyakit seberat itu?
Dokter Edi Tehuter, ahli onkologi anak di RS Kanker Dharmais, pada satu kesempatan mengatakan, kanker pada anak tak dapat dicegah, dan bisa terjadi karena terdapat sel yang tumbuh menyimpang. Namun, penyebab pastinya tidak diketahui hingga kini. Ia bisa saja muncul karena ragam faktor--entah genetik, entah lingkungan, kombinasi keduanya, atau campuran keduanya dengan variabel lain.
Ulfa Rahayu, kawan reporter, lalu mencari tahu lebih jauh. Ia pergi ke kantor Rachel House, menyambangi Dokter Edi, dan menemui keluarga pasien yang dirawat secara paliatif. Cerita lengkap pun bergulir. Duka dan haru campur jadi satu.
ADVERTISEMENT
Terlebih, saat kami tahu, putri Mas Tjatur, Nara, telah tiada. Kami langsung tercenung, meski diam-diam sudah menduganya.
Nara divonis mengidap neuroblastoma tingkat lanjut saat berusia 4 tahun. Kemoterapi tak dapat mengenyahkan kanker yang bersarang dan bertumbuh di tubuhnya. Ia bolak-balik ke rumah sakit dan terus-menerus minum obat. Hingga akhirnya perawatan paliatif dipilih.
Nara menderita kanker neuroblastoma, kini tiada. (Foto: Blog: https://rachel-house.org)
zoom-in-whitePerbesar
Nara menderita kanker neuroblastoma, kini tiada. (Foto: Blog: https://rachel-house.org)
Nara kini telah dipeluk bumi. Seperti juga Meriel, yang mengidap kanker darah atau leukemia. Beberapa jam setelah menggenggam erat tangan ibunya, Meriel mengembuskan napasnya yang terakhir, mengakhiri deraan kemoterapi yang mesti rutin dijalani.
Malaikat-malaikat cilik itu, jantung hati para orang tua mereka, harus meninggalkan dunia lebih dulu di usia muda. Jelas bukan perkara mudah bagi orang tua yang membesarkan dan mati-matian berjuang menyelamatkan.
ADVERTISEMENT
Ragam cara dilakukan untuk membangkitkan semangat sang anak yang merosot diisap kanker. Seperti juga dilakukan Lenah ketika pendengaran Meriel perlahan menghilang.
“Mah, aku kangen deh sama suara Mamah,” ujar Meriel. Lenah lalu menjawab putrinya itu, “Enggak apa-apa kamu enggak bisa denger Mamah. Kamu dengar suara Tuhan saja.”
Rest in peace, Meriel (Foto: Dokumen keluarga Meriel)
zoom-in-whitePerbesar
Rest in peace, Meriel (Foto: Dokumen keluarga Meriel)
Lenah berkata, semua orang lahir ke dunia pasti memiliki arti. “Tuhan pasti punya tujuan untuk masing-masing. Meriel dilahirkan di dunia juga pasti punya tujuan.”
Ucapan Lenah bisa jadi benar. Melalui kisah Meriel, kami bercerita tentang perawatan paliatif yang belum terlalu dikenal di Indonesia. Berharap semoga rangkaian cerita ini menjadi manfaat bagi siapapun yang kebetulan membutuhkan, dan bahwa kekuatan menyertai orang-orang yang teguh menghadapi badai.
ADVERTISEMENT
Juga menjadi pengingat penting, betapa kehidupan sungguh berharga untuk disia-siakan--sesulit dan seterjal apapun jalur yang mesti dilintasi dan didaki.