news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Membedah Bahasa Cinta Pria versus Wanita

13 November 2017 9:33 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jatuh cinta. (Foto: Instagram @lunamaya)
zoom-in-whitePerbesar
Jatuh cinta. (Foto: Instagram @lunamaya)
ADVERTISEMENT
Jatuh cinta, berjuta rasanya. Itu kata Tante (atau nenek) Titiek Puspa dalam salah satu lagunya. Jutaan rasa itu pula yang kemudian mewujud dan mengalir dalam untaian kata-kata. Jutaan rasa menjadi jutaan lagu, jutaan prosa--yang menginspirasi dan melumerkan hati jutaan orang.
ADVERTISEMENT
Bahasa cinta ada di mana-mana. Tapi, sadarkah kita, ternyata ada pola berbeda antara lelaki dan perempuan dalam menggunakan bahasa cinta. Statistik bahasa cinta pria versus wanita inilah yang diulas oleh The New York Times, Selasa (7/11).
The New York Times meneliti berbagai esai selama empat tahun terakhir, dan memetakannnya, termasuk dengan melihat gender si pengarang. Hasilnya: ketika menulis tentang cinta, pria cenderung menulis tentang seks dan tindakan/aksi, sedangkan wanita condong menulis tentang pernikahan dan perasaan.
Yang juga menarik, bahkan saat gender telah melebur dan roman sesama jenis tak setertutup dahulu, perempuan dan lelaki tetap bicara dalam bahasa cinta yang berbeda. Setidaknya, esai-esai modern yang diteliti The New York Times menunjukkan hal tersebut.
Peta Bahasa Cinta Pria vs Wanita. (Foto: The New York Times)
zoom-in-whitePerbesar
Peta Bahasa Cinta Pria vs Wanita. (Foto: The New York Times)
Kata-kata pada bagian kanan diagram di atas (lingkaran merah jambu) biasa didapati pada esai-esai yang ditulis oleh wanita, sedangkan kata-kata di bagian kiri (lingkaran biru muda) kerap ditemui pada esai yang dibuat para lelaki.
ADVERTISEMENT
Ukuran lingkaran pada diagram menunjukkan seberapa sering kata tersebut digunakan. Makin besar lingkaran, makin sering kata tersebut kita jumpai. Para wanita misalnya kerap menggunakan kata “pernikahan”, “rumah”, “suami”, “bayi”, “cinta”, “rasa”, “hati”, “kehidupan”, “hati”, dan lain-lain.
Sementara kaum adam sering menggunakan kata “hubungan”, “memulai”, “berbagi”, “sekolah”, “momen”, “cantik”, “gadis”, “pikiran”, “waktu”, dan lain-lain.
The New York Times menegaskan, esai-esai yang mereka teliti tak mewakili keseluruhan sampel. Namun, temuan pola-pola di atas telah didukung oleh riset panjang.
Studi tersebut juga menunjukkan, perempuan cenderung bicara tentang emosi dibanding pria. Dan orang tua cenderung menggunakan kosakata emosional yang lebih banyak terhadap anak perempuannya.
Temuan penting lain dalam riset ini menjadi penegasan betapa pola didik yang diterapkan orang tua kepada anak perempuan dan lelaki mereka cenderung berbeda--bila tidak disebut diskriminatif. Anak lelaki secara umum diajari untuk mengekspresikan kemarahan mereka, sedangkan anak perempuan sebaliknya, diajari untuk menahan rasa marah.
ADVERTISEMENT
Hasil dari pola pengajaran itu pun berdampak pada bahasa yang digunakan. Pada akhirnya, pilihan kata lelaki cenderung lebih aktif, bahkan agresif. Contohnya: “pukul”, “serang”, “tinju”, “pertempuran”, dan lain-lain.
Sementara perempuan cenderung menggunakan kata untuk menggambarkan perasaan, seperti “kebencian”, “marah”, “terluka”, dan lain-lain. Yang amat mencolok, wanita secara signifikan kerap memakai kata “merasa”.
Pria dan wanita. (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Pria dan wanita. (Foto: Thinkstock)
Bukan berarti lelaki tidak menulis tentang emosi secara berbeda dari perempuan. Mereka hanya menyebutkan kata-kata soal perasaan dengan lebih sedikit.
Soal seks versus cinta, berdasarkan riset tersebut, perempuan dan lelaki sama menginginkan keduanya. Tak ada beda. Hanya, kata William Doherty, profesor sains keluarga di Universitas Minnesota, reaksi seksual (sexual chemistry) lebih sering menjadi pembuka bagi lelaki dalam menjalin hubungan. Sedangkan perempuan cenderung memulainya dari kedekatan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, menurut profesor emeritus linguistik Universitas California Berkeley Robin Lakoff, garis pemisah antara perilaku pria dan wanita soal cinta (apakah emosional atau romantis) sesungguhnya kabur.
“Pada tahun 1950-an, pria bisa memperlihatkan kemarahan, rivalitas, permusuhan, dan mereka bisa bersumpah serapah. Sementara wanita bisa mengekspresikan ketakutan, duka, cinta, dan mereka bisa menangis. Kini, kita agak bingung soal gender dan stereotip,” kata Robin.
Apapun, bahasa cinta sesungguhnya universal dan abadi sepanjang zaman. Apakah anda pria atau wanita, anda bisa dibuat leleh olehnya. Benar?