SQUARE,_LIPSUS_Tak_Siap_Corona_Pembersihan_LRT_cegah_corona-ajnsoezlbp4c8wzdc6ll.jpg

Membuka Rute Penderita Corona, Perlukah?

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
13 Maret 2020 11:46 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Disinfeksi gerbong MRT. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
zoom-in-whitePerbesar
Disinfeksi gerbong MRT. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Kemarin, seorang kawan mengirimkan screenshot peta area tertentu. Peta itu dipenuhi lingkaran-lingkaran merah yang goresannya dapat dibuat dengan mudah di ponsel.
“Apa ini?” tanya saya sambil mengamati sekurang-kurangnya lima titik yang dilingkari di potongan peta Google itu.
“Lokasi-lokasi yang dilewati salah satu suspect corona sebelum ia periksa ke RS,” jawabnya.
“Kok kamu tahu dia suspect corona?” tanya saya lagi.
“Kenalannya temanku. Dia demam dan batuk, kayak gejala corona,” kata dia.
Dari informasi beberapa temannya di kantor berbeda, kawan saya lantas melingkar-lingkari potongan peta area yang ia ambil dari Google.
“Memangnya kenalan temanmu itu sudah positif corona?” tanya saya, masih penasaran.
Ia menjawab, “Belum tahu sih, tapi kan tetep ngeri. Daerah ini soalnya lumayan deket dari tempat gue.”
“Oh iya,” sahut saya, baru ingat ia sehari-hari sering melintasi kawasan itu, dan wajar karenanya jadi begitu cemas.
Saya lalu berucap klise, “Pakai masker, sering-sering cuci tangan yang bersih, jaga kesehatan, berdoa.”
Ia membalas cepat, “Sejak Terawan bilang kita harus berdoa, guelangsung berdoa.”
Semenit kemudian, ia kembali berkirim pesan. “Loe juga mesti hati-hati. Loe kan hampir tiap hari naik KRL.”
KRL Commuter Line Bogor-Depok-Jakarta, dalam rapat tertutup Gubernur DKI Jakarta dan jajarannya, memang disebut sebagai rute potensial bagi penyebaran virus corona COVID-19 sehingga ia masuk radar pengawasan.
Saya tersenyum membaca pesan kawan saya itu, dan mengetik balasan, “Gue juga pakai masker dan berdoa.”
Penumpang KRL di stasiun. (Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Saya yakin, bukan hanya kawan saya itu yang khawatir. Saya sendiri pun sama. Setiap hari, saya membagikan berbagai update link berita terkait perkembangan corona di Indonesia ke suami dan keluarga.
“Kamu pakai masker di kereta, Bun?” tanya suami saya suatu hari.
“Pakailah, antisipasi selalu perlu,” jawab saya.
“Tapi kan katanya masker buat yang sakit. Yang sehat nggak usah,” kata dia.
“Masalahnya, belum semua orang yang sakit—flu, batuk—pakai masker. Apalagi di KRL. Aku pernah loh di kereta berdiri deket orang yang bersin nggak ditutup tangan apalagi masker, padahal bersinnya keras, nggak kira-kira. Dan edukasi etika batuk dan bersin di tempat umum itu nggak selalu bisa kilat,” kata saya, nyerocos panjang.
“Siap, Bun…” sahut suami saya, lalu ngeloyor pergi.
Pekerja bermasker menuju kantor. (Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Seperti kawan saya, saya juga pernah menandai lokasi-lokasi yang disebut-sebut jadi persinggahan penderita dan suspect corona. Terlebih, penelitian dari satu tim ahli epidemiologi menyebut bahwa virus corona bisa menyebar sejauh 4,5 meter dan bertahan 30 menit di udara.
Disinfeksi gerbong LRT di Depo Kelapa Gading, Jakarta. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Mungkin akan lebih menenteramkan hati bila pemerintah membuka informasi soal rute (bukan identitas) yang dilintasi para penderita corona pada hari-hari ketika ia diduga sudah terinfeksi namun belum diisolasi.
Hal itu dilakukan di sejumlah negara lain agar masyarakat yang pernah berada pada lokasi dan jam yang sama dengan si pasien—artinya sempat bersinggungan dengannya—dapat lebih mawas diri dan segera memeriksakan diri ke rumah sakit apabila merasa tak enak badan, sehingga bisa meminimalisasi risiko kontaminasi lebih luas.
Seperti di Taiwan ini…
(Bersumber pada informasi Taiwan Centers for Disease Control)
Lalu di New South Wales, Australia, yang membuka data penerbangan pasien positif corona.
(Dok. NSW Government)
Selanjutnya di Québec, Kanada.
(Dok. Gouvernement du Québec)
Kemudian di Mississauga, masih Kanada—negara yang istri perdana menterinya terkena corona.
(Dok. City of Mississauga)
Begitu pula di Korea Selatan.
Jadi, kira-kira, perlu tidak kebijakan serupa diterapkan di Indonesia?
Warga melintas di Monas menggunakan masker. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten