Peluru Terakhir untuk SBY dari Antasari

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
15 Februari 2017 8:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Saya mohon kepada Pak SBY jujur. Beliau tahu perkara ini. Beliau saya minta jujur dan cerita apa yang beliau alami, dan apa yang beliau perbuat. Beliau perintahkan siapa untuk merekayasa dan mengkriminalisasi Antasari. Saya minta SBY terbuka pada publik.”
ADVERTISEMENT
Ucapan itu dilontarkan Antasari Azhar Selasa siang (14/2) di Kantor Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Jakarta Pusat, dan sontak bak detonator bom atom bagi Susilo Bambang Yudhoyono, mantan presiden Republik Indonesia yang kini sedang sibuk menyokong putranya di pemilihan kepala daerah paling bergengsi se-Indonesia: DKI Jakarta --jantung pemerintahan negeri.
Oke, bila “bom atom” dianggap berlebih, maka rangkaian kalimat yang terlontar dari bibir Antasari tersebut, klisenya, bagai petir di siang bolong bagi ayahanda Agus Harimurti Yudhoyono sang calon gubernur Jakarta itu.
Antasari, yang baru tiga pekan lalu, 25 Januari, mendapat grasi dari Presiden Jokowi, secara mengejutkan dan mendadak kini masuk dan naik ke atas "panggung", ikut bermain catur di tingkat elite politik nasional.
ADVERTISEMENT
Ia memilih momen yang "pas" dan krusial: kurang dari 24 jam sebelum pilkada serentak digelar, tentu termasuk untuk DKI Jakarta.
Setelah dua pekan lalu, 2 Februari, SBY “membombardir” Jokowi dengan rentetan kalimat “Saya mohon hukum ditegakkan” gara-gara simpang siur isu dugaan penyadapan terhadap percakapan teleponnya dengan Ma’ruf Amin, kini giliran SBY yang menerima berondongan peluru lewat Antasari.
Mengingat pilkada hendak berlangsung tak kurang dari tujuh jam lagi, kemungkinan “kejutan” dari Antasari itu ialah “peluru” terakhir yang diterima SBY --yang notabene “patron” AHY-- pada saat-saat akhir sebelum pilkada.
Persoalan makin runyam karena Antasari bukan orang "biasa" apalagi anak kemarin sore. Ia, bagaimanapun, adalah mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, yang entah bagaimana (panjang ceritanya) terlibat perkara kriminal dan divonis bersalah dalam kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen --Direktur PT Putra Rajawali Banjaran yang ditembak usai main golf di Tangerang hingga kemudian tewas di rumah sakit, 15 Maret 2009.
ADVERTISEMENT
Kasus 8 tahun lalu itu pula yang membuat Antasari mendatangi Bareskrim Polri hari ini --dan bermuara pada hilangnya ketenangan yang menenangkan pada hari kasih sayang itu.
“Pada kesempatan yang baik hari ini, tanggal 14 Februari 2017, inilah ending dari perjalanan panjang saya selama 8 tahun --2 tahun di tahanan, 6 tahun di lembaga pemasyarakatan. Pagi ini saya mendatangi Bareskrim Polri dalam rangka melaporkan apa yang saya rasakan 8 tahun lalu, yakni adanya persangkaan palsu atau rekayasa dalam kasus saya.”
Antasari tak perlu sampai setengah jam lebih bicara seperti SBY dua pekan lalu untuk menimbulkan pergolakan politik hebat.
Ia jelas memicu badai besar --yang belum diketahui kapan dan bagaimana akan berakhir.
ADVERTISEMENT
SBY merespons cepat, mencoba memadamkan "kobaran api" dari "bom" yang dijatuhkan Antasari.
Seperti biasa, jalan pertama yang dipilih SBY untuk menyampaikan tanggapan ialah lewat akunnya di media sosial Twitter --di mana ia memiliki 9,57 juta pengikut, sebelum akhirnya malam hari menggelar konferensi pers “darurat” di rumah dinasnya, Mega Kuningan, Jakarta Selatan --yang beberapa waktu lalu “digrudug ratusan orang.”
“Saya berharap penegak hukum bisa membuka kembali kasus Antasari. Mengungkap semua fakta, data, dan kebenaran dengan gamblang,” kata SBY, menanggapi ucapan Antasari di Bareskrim beberapa jam sebelumnya.
“Kasus Antasari terang-benderang… Tapi saya yang tidak terlibat sama sekali, dituduh secara sadis,” ujar SBY lagi, dengan raut wajah serius dan prihatin.
Tentu saja ini soal serius. Tuduhan Antasari bukan hanya diarahkan pada SBY selaku single actor, tapi juga sebagai pihak yang berkongkalikong melakukan kejahatan terhadapnya.
ADVERTISEMENT
Pada titik ini, Antasari menyeret nama lain: Hary Tanoesoedibjo --politikus pengusaha yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo).
Hary Tanoe, dalam cerita Antasari di Bareskrim, berperan sebagai “pesuruh” Cikeas (nama lain untuk menyebut SBY, merujuk pada lokasi kediaman pribadi SBY).
“Ada orang malam-malam ke rumah saya. Orang itu siapa? Saya lihat label baju. Orang itu Harry Tanoe. Beliau diutus dari Cikeas. Beliau meminta agar saya tak menahan Aulia Pohan,” kata Antasari.
Aulia Pohan. Ini nama penting ketiga yang disebut Antasari. Dia besan SBY, mantan deputi gubernur Bank Indonesia yang divonis penjara 4 tahun akibat kasus korupsi. Pada 2008, Aulia dan serombongan pejabat BI terjerat kasus penarikan dana Rp 100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Antasari menceritakan percakapan yang menurutnya terjadi antara dia dan Hary Tanoe soal Aulia Pohan.
“(Hary Tanoe berkata), ‘Saya bawa misi, Pak. Saya diperintah menemui Bapak.’ ‘Misi apa?’ tanya saya sambil bercanda. Dia bilang, ‘Ini serius, Pak. Misi dari Cikeas supaya Bapak tidak tahan Aulia Pohan. ‘Tidak bisa,’ kata saya. ‘KPK sudah punya SOP (standar operasional prosedur).’ (Hary Tanoe berkata), ‘Mohonlah Pak, nanti keselamatan Bapak bagaimana?’”
Antasari lanjut menirukan dialog antara dia dan Hary Tanoe. “Malam itu, sekitar Maret 2009, saya bilang, saya sudah memilih profesi sesuai hukum. Apapun saya terima risikonya.”
“Saya harus bicara ini. Saya besok (kalau) mati, sudah siap kok,” kata Antasari lagi.
Ia lalu kembali mengarahkan “peluru” ke SBY. “Untuk apa waktu itu anda menyuruh Hary Tanoe datang ke rumah saya malam-malam, (waktu saya) sebagai Ketua KPK?”
ADVERTISEMENT
Tak seperti SBY yang langsung menggelar konferensi pers --tentu karena pernyataan Antasari secara tak langsung menjadi ancaman serius bagi nasib Agus di Pilkada Jakarta esok, Hary Tanoe belum memberikan pernyataan signifikan.
Namun, seiring anjloknya harga saham 4 perusahaan Hary Tanoe pada penutupan perdagangan Selasa sore, Ketua Bidang Politik Partai Perindo Arya Sinulingga mengancam akan akan melaporkan Antasari ke polisi jika tuduhannya tak terbukti.
“Kalau tidak bisa membuktikan, bisa masuk pidana,” kata Arya yang menyebut Antasari sekadar mencari sensasi.
Hary Tanoe, menurut Arya, tak punya kedekatan khusus dengan SBY.
“Peluru” Antasari ditanggapi murka oleh SBY.
“Tiba-tiba hari ini ada serangan black campaign dari Saudara Antasari, narapidana yang baru saja mendapat grasi dari Presiden Jokowi. Saya harus menyatakan bahwa grasi Presiden Jokowi ada muatan politiknya,” kata SBY.
ADVERTISEMENT
Ia lantas balik "mengancam". “Apa yang dilakukan Antasari tidak mungkin tanpa blessing kekuasaan. Para penguasa berhati-hatilah dalam menggunakan kekuasaan. Jangan bermain api, terbakar nanti.”
Tentu saja, melihat peristiwa dramatis hari ini, mau tak mau yang terlihat ialah: SBY berhadapan Jokowi. Ini bukan lagi soal Pilkada Jakarta, tapi pertarungan dini Pemilu Presiden 2019, seperti diramalkan beberapa pihak sejak semula.
SBY (dan orang-orang di belakangnya) punya kepentingan Agus menang, sedangkan Jokowi (dan partai pendukungnya) bakal lebih aman jika Ahok menang --meski tentu realita di baliknya tak sesimpel ini.
Dari awal, sudah bisa diduga bahwa turunnya Agus Harimurti sang Putra Mahkota SBY bakal menjadikan Pilkada Jakarta sebagai geladi resik Pemilu 2019.
ADVERTISEMENT
Pada tingkat ini, permainan catur tak lagi berada pada tingkat lokal, melainkan level elite. Sangat mungkin, mereka yang bertarung pada Pilkada Jakarta ialah bidak-bidak dari kekuatan politik lebih besar di belakang mereka --dengan sengkarut kepentingan saling berkelindan.
Pertarungan politik kini, bisa dibilang, telah memasuki fase paling banal. Rakyat Indonesia mesti bersiap kembali untuk makin terbelah.