Pesan Tak Sampai

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
28 November 2019 22:06 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Tim Eiden/Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
(Tim Eiden/Pexels)
ADVERTISEMENT
“Hi, how are you?”
“Just fine—normally ups and downs like what’s life supposed to be.”
ADVERTISEMENT
Aku berharap bisa mendengar lebih banyak darinya—tentang dia, tentang kisahnya sehari-hari, tentang intrik senyap di balik tirai, tentang hidup dan segala rahasianya.
Aku berharap bisa mendapat setumpuk petuah darinya—tentang pedoman bersikap tegar di kala hati remuk redam, tentang petunjuk mujarab memilih arah di persimpangan jalan, tentang cara menusuk musuh dalam selimut tanpa terlihat melukai, tentang panduan praktis mengikis kesulitan hidup agar jauh dari rasa merana.
Tapi empat kata itu saja yang muncul di layar—“Hi, how are you?”
Ia muncul setelah sekian lama hanya untuk melontarkan tanya singkat yang mengambang di udara, dan pergi lagi tanpa menyempatkan diri membaca jawabnya.
Aku bukannya tak tahu… aku tak bakal mendengar apa-apa darinya, tak bakal mendapat jalinan nasihatnya, tak bakal menerima pesan berikutnya, tak bakal melihatnya lagi.
ADVERTISEMENT
Ia telah melebur dengan malam, meluruh ke dalam padang pasir, terbang bersama badai gurun, bersenyawa dengan semesta.
(Walid Ahmad/Pexels)
“Hi, how are you?”
Kalimat sapa itu kuterima jelang subuh, satu jam sebelum ledakan membelah langit Sahara, kala pesawat yang ia tumpangi pecah berkeping menjadi semburat cahaya galaksi menyilaukan mata.
“Just fine—normally ups and downs like what’s life supposed to be.”
Ia seharusnya membaca balasanku setibanya di Johannesburg—kota tempat kami pertama berjumpa setelah terisap angin gurun.
Angin gurun pula yang membuat kami berpisah, dan akhirnya kini membawanya pergi.
(Flickr)