news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Samudra Kata

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
2 Mei 2018 10:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Samudra Kata
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Cintaku pada kata tumbuh seiring cintaku padamu.
Hari rekah. Bus menderu halus membelah padat jalan tol. Aku duduk tenang--buku terbuka di pangkuan, ponsel erat di genggaman. Pada dua benda itu, jiwaku pagi itu kuberikan. Dan semua bermuara kepadamu: sosok di seberang garis waktu.
ADVERTISEMENT
Lembar-lembar kertas tersibak tak tergesa, sesekali disela balas-berbalas pesan pendek. Deretan kata datang dari seberang segara, membawa aroma garam Melaka. Sungguh pagi cerah sempurna.
“Sudah selesai baca buku itu?” tanyamu padaku. Entah buku apa, aku telah lupa kini. Yang jelas, itu bukumu--satu di antara sejumlah milikmu yang kau pinjamkan padaku.
“Sudah,” jawabku singkat. Kamu seperti kaget, “Wah, cepat juga bacanya!”
“Kalau sedang niat,” kataku lekas. Kamu menggoda, “Mungkin karena itu bukuku, jadi kamu cepat sekali membacanya.”
Aku tak menyanggah. “Kurasa juga begitu,” ujarku, tersenyum kecil.
Aku tahu, di tepi laut, kamu juga sedang mengulum senyum.
“Kalau kamu amat menikmati membaca, kamu juga harus mencoba menulis,” katamu lagi.
Aku mengerutkan kening. Menulis apa? Selama bertahun-tahun belakangan, semua yang kutulis adalah tugas kantor--laporan dan pekerjaan apa pun yang diberikan padaku.
ADVERTISEMENT
Kamu memberi isyarat, bukan yang seperti itu. Aku menerka, pasti yang sepertimu.
Aku menggeleng. Aku tak bisa. Yang sepertimu di luar jangkauanku.
Tapi entah bagaimana, tak berapa lama kata-kata seolah rekah dari benak. Mereka mekar seperti bebunga di taman. Kusiram, kurawat, kupetik, kurangkai.
Seperti berlompatan dari kepala, katamu. Maka kutangkap, kuamati, kususun, kubongkar pasang hingga semua terasa pas.
Mungkin aku diam-diam mencuri sedikit ilmumu. Atau sedikit banyak terpengaruh olehmu.
Tapi ini tak sepertimu, pikirku. Yang seperti itu tetap di luar jangkauanku. Dan aku tak ingin mencoba sepertimu.
Aku hanya suka bersenang-senang, bermain dengan kata-kata yang kadang mengalir deras menganak sungai--yang kian tak terbendung bila situasi sedang begitu menekan dan aku ingin terjun ke jurang.
ADVERTISEMENT
***
Samudra Kata (1)
zoom-in-whitePerbesar
“Tulisanmu mirip dia, tahu,” ujar seorang sahabat. Aku mengangkat bahu, tak terlalu peduli. Memangnya itu penting?
Aku belajar autodidak dari mana-mana, berguru pada banyak orang yang separuhnya tak kutemui langsung, membaca karya ragam penulis meski tak semua bisa mengena di hati. Itu mungkin cocok-cocokan.
“Yang penting tulisanku tak jelek. Lihat, menurutmu ini sudah cukup bagus, belum? Jangan-jangan orang pusing bacanya karena terlalu padat rapat,” kataku, menyorongkan lembaran-lembaran kertas pada sahabatku kala kami kopi darat di malam hening hangat.
Ia membuka halaman demi halaman, membaca tenang sembari menyesap kopi, lalu berkomentar, “Ini bagus, seperti mereka. Aku tak bisa menulis yang seperti ini.”
Aku tertawa. Itu dulu ucapanku padanya--dia yang memintaku mencoba menulis.
ADVERTISEMENT
“Tulisan kita beda jenis,” ujarku, ganti mencermati prosa milik sahabatku. “Dan aku tak bisa menulis dalam Bahasa Inggris begini lancar sepertimu,” kataku, berdecak kagum.
Grammar-ku agak kacau, kalau kamu perhatikan,” kata dia.
“Itu minor. Peduli setan dengan English grammar. Kamu selalu bisa memperbaikinya setelah cerita terbentuk,” ujarku.
Semula, kami berniat membuat buku bersama--aku dan sahabatku itu. Tapi kini, setelah melihat betapa jauhnya tipe tulisan kami, niat itu kami urungkan.
Lebih baik cerita-cerita kami tak disatukan karena kentara amat memaksa. Kasihan pembaca. Lompatan “kuantum” macam itu akan membingungkan mereka.
Samudra Kata (2)
zoom-in-whitePerbesar
“Aku pinjam nama mantan pacarmu buat karakterku, ya,” kataku pada sahabatku setengah merayu.
Dia tak pernah sungguh-sungguh mengiyakan, tapi aku memaksa. Nama bekas kekasih Israel-nya itu sejak awal sudah memikatku.
ADVERTISEMENT
Entah apa arti kata “Nir” dalam Bahasa Ibrani (aku sudah buka kamus, tapi tak yakin). Yang jelas, makna kata itu dalam Bahasa Indonesia, yang diturunkan dari Bahasa Sanskerta--“tidak”--cocok dengan yang kubutuhkan dalam ceritaku. Nir menegasikan segala yang ada.
Nir, pada satu masa, pernah “menenggelamkan” sahabatku. Karibku itu, tenggelam dalam kolam kelam suramnya, lantas menghasilkan puluhan tulisan--yang semula hendak digabungkannya dengan tulisanku, namun urung karena gaya bahasa kami yang berbeda itu.
“Jadi, kapan itu kamu bukukan?” tanyanya.
Aku kembali mengangkat bahu. “Belum tahu. Begitu banyak buku bertebaran. Apa bedanya aku bikin satu buku--yang belum tentu dibaca--atau tidak?”
Dia menyahut enteng, “Kalau aku sih bikin buku tidak untuk dibaca orang, tapi buat koleksi sendiri. Kalau ternyata ada yang baca, itu bonus.”
ADVERTISEMENT
Aku tersenyum. Koleksi kenangan--mengabadikan memori dalam satu bundel kertas. Bukan ide buruk.
Tak susah, memang. Membuat buku dalam jumlah terbatas bukan lagi perkara rumit. Asal ceritanya sudah ada, “tinggal” cari percetakan--yang jumlahnya kini seabrek. Lalu?
“Lihat nanti,” kataku singkat. “Ada yang perlu kutunggu.”
***
Sembari menunggu, aku membuka salah satu cerita yang paling kusuka.
Samudra Kata (3)
zoom-in-whitePerbesar
Menjelang senja, Yosef Legiman melihat Maria Pinto mengarungi langit dengan kuda terbang. Angin tiba-tiba menggeliat bangkit dan mendesis. Udara menjelma mantra ganjil yang berdengung dalam bahasa sihir; wangi, membius segala yang bergerak dan keras kepala. Ia tertegun, menengadah, mendekap senjata laras panjang otomatis, dan teringat pesan komandannya, “Biarkan dia lewat, jangan menembak.”
Ya, Kuda Terbang Maria Pinto karangan Linda Christanty. Cerpenis jurnalis serbabisa itu satu di antara penulis favoritku. Aku pernah sekali-dua kali bertemu dia, dan dia pasti tak sadar akan sosokku--yeah, memangnya siapa aku.
ADVERTISEMENT
Pokoknya, aku suka tulisan-tulisan dia yang, mengutip Franz Kafka, “membangunkan kita dengan hantaman di kepala, seperti kapak bagi laut beku di dalam diri.”
Hidup memang himpunan dengungan mantra ganjil. Seperti cintaku padamu yang menjelma samudra kata.
Anjani, tepi tebing
Sumber gambar: Pexels, Goodreads