Samudra Prahara

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
21 April 2018 8:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“... soon the waves rose higher, heavy clouds darkened the sky, and lightning appeared in the distance. A dreadful storm was approaching.” ― Hans Christian Andersen, The Little Mermaid
Matahari bersembunyi berhari-hari. Ia mengalah pada awan kumulonimbus yang berarak megah di angkasa, menyelubungi daratan dengan rona kelam kelabu, dan mengirim pasukan topan guntur lewat gelegarnya yang membuat ciut jiwa-jiwa tak bernyali.
ADVERTISEMENT
Butir-butir air menampar-nampar keras kaca jendela. Petir menyambar-nyambar di sela gumpalan mega. Semesta murka.
Anjani membuka tirai dan memandang lautan. Samudra bergolak hebat. Ia keluar ke beranda dan mendongak ke langit. Ini jelas bukan hujan biasa.
Air mengamuk di udara, menghantam bumi dengan geram. Ia bagai bilah-bilah belati yang mencari mangsa.
Cuaca seburuk itu akan membuat siapa pun didera gelisah. Mereka yang waras akan berpikir sedikit cerdas untuk berdiam aman di dalam ruangan.
Tapi Anjani tak waras. Ia keluar kamar dan berjalan menuju kolam―tempatnya melihat purnama raya―di tengah hujan deras. Selain kecamuk tarian air dan kilat di angkasa itu, suasana begitu hening―atau mencekam.
Anjani berhenti di tepi kolam, dan menurunkan kaki ke dalam air. Ia bersenandung lirih sembari menadah hujan dengan kedua tangannya. Ia merasa sesuatu akan terjadi, entah apa. Waktunya kian dekat.
ADVERTISEMENT
***
Musim semi malu-malu menampakkan diri. Hawa sejuk mengiringi langkah Nir di sepanjang Nyhavn, jalanan di Pelabuhan Kopenhagen dengan bangunan warna-warni yang menjadi landmark kota itu. Di depan rumah bercat merah kecokelatan bernomor 20, kaki Nir terhenti.
Ia teringat ucapan Anjani. Ah, mau bertemu Hans Christian Andersen rupanya.
Rumah Nomor 20 bertuliskan “Boel’s Gaard” itu pernah ditinggali Andersen. Tapi Nir bukan ke Nyhavn untuk bertemu arwah penulis Denmark itu. Ia hanya ingin mencari angin laut setelah menghabiskan berjam-jam di ruangan.
Lagi pula esok ia sudah meninggalkan Kopenhagen. Tak ada salahnya mengambil jeda sejenak dari gempuran pekerjaan―yang menurut Anjani, sebaiknya ia kurangi signifikan. Well, tapi toh kini ia sudah lebih sehat. Tubuhnya tak lagi ringkih berkat ramuan mujarab tabib Cina yang ia jumpai di Singapura.
ADVERTISEMENT
Nir meneruskan berjalan, menyeberangi jembatan yang menghubungkan jalan di kedua sisi kanal, dan berbelok ke kanan, mencari sudut yang tak terlalu riuh. Di depan bangunan putih, ia melihat papan menu bertuliskan H.C. Andersen’s Café.
Tentu saja aroma Andersen ada di mana-mana. Denmark adalah rumahnya, dan dia―dengan deretan karya legendaris yang mendunia―adalah aset negara. Kafe di rumah nomor 67 itu pun dahulu pernah ditinggali Andersen selama 20 tahun.
Nir menarik salah satu kursi di depan Kafe Andersen, duduk santai, dan melihat-lihat daftar menu sebelum akhirnya memutuskan memesan Irish coffee*) dan smørrebrød**). Ia tak ambil pusing apakah santapan di kafe itu lezat atau tidak, sebab yang menariknya ke situ adalah nama kedainya.
ADVERTISEMENT
Sambil menyesap kopi yang lebih pas disebut koktail itu, Nir mengecek kembali jadwal penerbangannya ke Jakarta. 07.45. Ah, padahal kalau siang, ia berencana lari pagi dulu di Langelinie***) sembari mengucapkan selamat tinggal pada Putri Duyung di dermaga.
Hari pertama tiba di Kopenhagen, Nir diajak koleganya berfoto di depan duyung itu―yang diberi nama serupa salah satu judul dongeng Andersen: The Little Mermaid. Walau sesungguhnya, kata “little” amat tak cocok karena si duyung dengan payudara yang telah tumbuh sempurna, jelas-jelas bukan bocah.
“Kau tak bisa mendatangi Kopenhagen tanpa berjumpa Little Mermaid,” ujar sang rekan. Ia bilang, patung perunggu―yang sebenarnya terlihat biasa-biasa saja―itu bagaimana pun adalah ikon kota macam Merlion di Singapura dan Liberty di New York.
ADVERTISEMENT
Maka Nir mengirimkan potret tak istimewanya bersama si duyung telanjang kepada Anjani―yang lantas melontarkan humor dingin. “Kamu terlambat datang, Pangeran. Putrimu sudah jadi buih di lautan 181 tahun lalu.”
“Tapi ada kamu, dan aku bisa mendatangimu,” goda Nir. Anjani menjawab hambar, “Belum tentu. Kita punya masalah serius dengan ruang dan waktu.”
Anjani tentu saja benar. Nir agak menyesal mengusiknya. Padahal ia merasa frekuensi komunikasi mereka perlu dikurangi. Medan magnet lubang hitam jadi terlalu kuat, membuat mereka dalam bahaya. Celakanya, Anjani tampak tak keberatan diterpa bahaya.
Nir mulai menggigit smørrebrødnya kala dia tiba-tiba merasa diawasi. Angin dingin berembus di tengkuknya, membuat dia seketika merinding. Nir segera menoleh ke kanan, tepi kanal tempat barisan kapal ditambatkan.
ADVERTISEMENT
Sepasang kekasih berwajah Asia yang berbahagia (pasti sedang bulan madu) saling memotret di samping kapal. Seorang lelaki Nordik (mungkin turis lokal Skandinavia) berjalan tak terburu-buru menuju dermaga dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana dan kamera dikalungkan di leher.
Tak ada yang aneh. Nir menepis perasaan ganjil yang menyelimutinya. Mendadak angin kencang bertiup, menerbangkan serbet dan tisu di atas meja. Langit cerah berubah pucat dikepung mendung. Nir mengancingkan jasnya rapat-rapat dan buru-buru menghabiskan smørrebrød di piringnya.
***
Ombak ganas silih berganti menerjang Teluk Air Mata Iblis. Gemuruhnya bercampur tiupan garang angin laut, bergaung mengerikan tak putus-putus. Dan di tepi tebingnya, Anjani berdiri. Matanya menatap lurus ke lautan.
ADVERTISEMENT
Tebing itu dikenal dengan sebutan “The Devil’s Tears” oleh penduduk setempat. Julukan yang amat mungkin diberikan oleh para turis yang jatuh cinta pada tempat itu. Bisa jadi mereka berpikir, mungkin seperti itulah jika iblis menangis mengucurkan air mata.
Pagi itu, badai sudah berlalu. Langit masih gelap dan laut menyisakan gusar, tapi petir tak lagi menyambar-nyambar. Cukup aman untuk bersepeda santai ke tebing. Itu sebabnya sejak subuh Anjani sudah mengayuh sepeda keluar dari penginapan.
The Devil’s Tears adalah lokasi favoritnya, dan dia ingin menanti matahari terbit di tempat itu, sembari berlama-lama mendengar nyanyian samudra. Apalagi esok ia sudah pergi meninggalkan Jungut Batu setelah hampir dua pekan menghabiskan waktu tenang di sana.
ADVERTISEMENT
Anjani seperti tak rela pergi dari desa itu. Meski tentu saja, keengganan itu berkurang setelah ia menerima telepon Nir semalam.
“Aku beli buku Little Mermaid buatmu. Versi asli, the dark one. Nggak sengaja lihat di toko buku bandara,” kata Nir di sambungan telepon.
Anjani tersenyum. Bila Nir hendak memberinya buku, itu artinya mereka akan bertemu―atau setidaknya, Nir akan mencari waktu untuk menemuinya.
“Terima kasih, Pangeran,” kelakar Anjani. “Tapi, kenapa pilih Little Mermaid? Kamu di bandara? Sudah mau pulang?” ujarnya.
Mendengar deretan pertanyaan itu, Nir menarik napas. “Tunggu, kujawab satu-satu.”
“Ya, aku di bandara, beberapa menit lagi boarding. Penerbangan pagi, 07.45―di tempatmu pasti masih malam. Transit di Doha 15.50, tiba di Jakarta 07.45 esoknya. Sehari semalam, 24 jam menyeberang benua. Kalau soal Little Mermaid, tiba-tiba ingat kamu saja saat lihat buku itu. Jadi aku ambil,” ujar Nir.
ADVERTISEMENT
Anjani mendengar “laporan” lengkap itu dengan kening berkerut, lalu tertawa. Tak biasanya Nir memberi informasi begitu rinci soal apa pun―pekerjaan maupun perjalanan.
Tapi, ah, betapa kebetulan. “Aku juga kembali lusa. Pesawatku sampai Soetta jam 07.40,” kata Anjani. “Mau sarapan bersama sebentar?”
“Boleh. Nanti kita atur sarapan di mana,” sahut Nir. Anjani tersenyum lagi, “Ok. Safe flight, and see you soon.”
Hingga pagi, senyum tak hilang dari paras Anjani. Ia memandang lautan luas dan mendengar debur ombak sembari menerka-nerka sudah sampai mana Nir sekarang.
Ruang, waktu, ruang, waktu. Anjani berdendang dengan suara rendah.
Matahari mulai meninggalkan cakrawala ketika ponselnya bergetar. Anjani melirik layar. Bukan telepon, tapi notifikasi berita. Ia tak berniat membukanya, namun ekor matanya terlanjur menangkap abjad-abjad yang melintas.
ADVERTISEMENT
Pesawat Jatuh di Laut Hitam Rute Kopenhagen-Doha dengan 259 penumpang
Angin berdesir. Jantung Anjani berdenyut cepat.
Ia menggerakkan jemari di layar ponsel dan membuka berita itu.
Pesawat berangkat dari Kopenhagen pukul 07.45. Dijadwalkan tiba di Doha pukul 15.50 waktu setempat.
Makin membaca ke bawah, pijakan Anjani kian goyah. Aksara-aksara memburam.
Saksi mata di Yalta, Krimea, mendengar dentuman dan melihat bola api di langit sebelum pesawat meluncur ke laut.
Anjani menggeser artikel itu ke atas lagi, membaca ulang nama pesawat nahas itu.
Itu pesawat yang ditumpangi Nir.
Anjani beringsut ke tepi tebing, lalu duduk di batu besar yang menjorok ke laut. Bola matanya menggelap. Ia kembali bersenandung.
***
Catatan kaki:
ADVERTISEMENT
*) Campuran wiski Irlandia, kopi, gula, dengan krim kocok di atasnya.
**) Sandiwch terbuka khas Denmark. Berupa roti gandum hitam atau roti tawar berlapis mentega atau keju, dengan potongan daging atau ikan dan selada atau lobak atau jamur diletakkan di atasnya, dilengkapi taburan bawang.
***) Area publik yang terdiri dari taman dan dermaga. Kawasan ini destinasi populer untuk sekadar berjalan-jalan santai. Dermaga Langelinie juga menjadi salah satu lokasi sandar kapal-kapal yang datang ke Kopenhagen.
Hening
malam bulan baru kamarmu harum melati derap menggema di angkasa berdebu pasukan Izrail turun berselubung seratus belati
bola mata mengintai dari balik kaca nada jernih melempar sapa “wahai bala tentara langit, apa tengah berlangsung pertempuran sengit?”
ADVERTISEMENT
“pertarungan adalah abadi.” “untuk itu kau sandang belati?” “agar jiwa-jiwa terbebas dari jerat penjara kehidupan, berdiam tenang dalam dekap kegelapan.”
kau mengangguk, seakan mengerti ucapan dingin itu dia berdiam takzim, memperhatikan rupa-rasa dunia menghirup aroma fana yang kian menyengat menyerbu meraba hati para makhluk yang sulit bersetia
ia mundur, menjauh dari jendela “sampai jumpa.” kau menatap mata hitam obsidiannya dalam-dalam “ya, hingga kudipeluk kekal kelam.”
belati-belati meluncur ke bumi menyebar, merangsek, menancap ke segala penjuru menjemput yang lelap tertidur, yang riang bernyanyi, yang hangat dikecup, yang terbakar amarah, yang sekarat dibantai, yang digempur sunyi aliran merah darah terhenti, lalu beku membiru
seketika yang ada hanya hening
Jungut Batu, April 2017
Gambar diambil dari Pexels, Unsplash, Pixabay, Flickr, streckers.dk, dokumen pribadi penulis. Prosa dan puisi ditulis putus-sambung pada waktu berbeda.
ADVERTISEMENT