Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Semrawut (Informasi) Corona di Indonesia
12 Maret 2020 8:42 WIB
Memonitor berita-berita soal coronavirus COVID-19 sungguh tak menggembirakan, terutama kala wabah global ini sudah resmi diumumkan menghampiri Indonesia. Dua kasus pertama segera diikuti oleh belasan kasus lainnya.
Begini runtunannya: tanggal 1 Maret ada 2 pasien positif corona, 5 Maret bertambah menjadi 4 pasien, 8 Maret 6 pasien, 9 Maret melonjak jadi 19 pasien, 10 Maret naik lagi menjadi 27 pasien, dan 11 Maret tercatat 34 pasien.
Memang, dua pasien kini telah negatif corona dan dinyatakan sembuh. Namun itu tak mengurangi kekhawatiran terkait potensi penyebaran COVID-19 yang tak selalu terdeteksi manusia—dan teknologi canggihnya—yang penuh keterbatasan.
Kecemasan tak lantas terpangkas mendengar ucapan pemerintah yang kadang terkesan meremehkan masalah. Maksud hati tentu ingin menenangkan, namun yang ikut tertangkap adalah nuansa menyepelekan.
“Untuk apa lockdown? Makanya (orang terinfeksi) jangan sampai bertambah. Yailah, cuma segitu saja kok lockdown. Enggaklah,” kata Juru Bicara Pemerintah RI untuk Penanganan Kasus Corona, Achmad Yurianto, di Istana Kepresidenan. Ia tengah menjawab pertanyaan wartawan soal potensi isolasi di Indonesia.
Ucapan itu tak salah. Saat ini, kondisi Indonesia (atau setidaknya Jakarta) memang tidak seperti Italia dan Wuhan ketika isolasi hendak diterapkan.
Saat pemerintah Italia memutuskan untuk mengisolasi seluruh negara, jumlah orang terinfeksi di sana hampir menyentuh angka 6.000, dengan 233 di antaranya meninggal. Sementara ketika otoritas Tiongkok memutuskan untuk mengisolasi Wuhan disusul 12 kota lain di provinsi yang sama, Hubei, jumlah kasus infeksi corona di China mencapai 571 orang, dengan 17 di antaranya meninggal.
Dilihat dari statistiknya saja, amat jauh dengan situasi di Indonesia yang per 11 Maret baru punya 34 pasien positif corona, dengan angka kematian satu saja. Satu pasien meninggal itu pun warna negara asing, bukan WNI.
Tapi, waspada dan antisipatif tetaplah perlu. Tak ada salahnya memetik pelajaran dari negara-negara yang telah lebih dulu diserang corona.
Isolasi total Italia pada 9 Maret diberlakukan kurang dari dua bulan sejak kasus pertama corona muncul di negeri itu pada akhir Januari. Serupa, isolasi Wuhan pada 23 Januari diterapkan tak sampai dua bulan dari kasus pertama mereka di medio Desember 2019.
Ya, tentu setiap daerah berbeda-beda, tidak bisa dipukul rata, dan doa terbaik selalu mengalir untuk negeri sendiri. Tapi, siaga bukan berarti berharap hal buruk datang. Ia lebih seperti senjata terasah yang bisa berguna di kemudian hari. Terlebih, kala masyarakat mulai resah seperti sekarang.
Rabu pagi, misalnya, berseliweran berbagai kabar di grup chat. Satu, dari sebuah gim yang mengabarkan telah melakukan pembersihan menyeluruh pada area dan fasilitasnya setelah seorang anggotanya diisolasi di RSPI Sulianto Saroso.
Dua, dari perusahaan yang meminta pegawainya untuk tidak bekerja di lokasi tertentu di kantor mereka usai seorang pekerja diduga corona.
Tiga, dari manajemen gedung perkantoran yang akan melakukan disinfeksi gedung pada hari kerja setelah seorang pegawai demam dan meninggal, sehingga seluruh karyawan diminta bekerja remote.
Kabar nomor satu benar, kabar nomor dua tidak benar dan pekerja terkait negatif corona, sedangkan kabar nomor tiga disebut tak tepat sebab disinfeksi tak berhubungan dengan kematian karyawan.
Disinfeksi, terutama saat weekend, memang mulai jamak dilakukan di area perkantoran ibu kota sebagai bagian dari protokol pencegahan penyebaran corona masing-masing perusahaan.
Pencegahan adalah mutlak, namun kecemasan sulit dihalau. Maka wajar pertanyaan “Mungkinkah Jakarta lockdown terjadi” terlontar—dan Pak Yuri tangkas menangkis: “Untuk apa lockdown? Makanya (kasus infeksi) jangan sampai bertambah.”
Masalahnya: bagaimana supaya pengidap corona tidak bertambah?
Jawaban versi awamnya mungkin bisa begini: jaga daya tahan tubuh masing-masing (konsumsi makanan bergizi, banyak minum air putih, rajin olahraga, cukup istirahat); cuci tangan yang bersih; gunakan masker; jaga kebersihan lingkungan; jangan pergi ke negara terjangkit—tapi Indonesia sendiri sudah terjangkit; dan hindari berinteraksi dengan pengidap corona—tapi bagaimana bisa tahu persis apakah seseorang itu carrier/suspect/positif corona atau bukan, sebab penderita tak selalu menunjukkan simtom?
Hmm, kok jadi tampak pelik ya?
Penyampaian informasi (mencakup komunikasi dan koordinasi) secara tepat dengan takaran pas memang tantangan berat. Tapi, tak lantas membuat miskoordinasi pusat dan daerah boleh sering terjadi dan ujung-ujungnya berimbas pada kebingungan publik.
Dinas Kesehatan Provinsi Bali, misalnya, mengaku tak tahu bahwa pasien yang meninggal di RSUP Sanglah Denpasar, Rabu dini hari (11/3), merupakan satu di antara deret kasus positif corona yang sehari sebelumnya diumumkan Yurianto di Jakarta.
Selama ini, pasien tersebut diisolasi dengan status “dalam pengawasan”, bukan suspect atau positif corona.
Pasien disebut dalam pengawasan ketika memiliki gejala influenza seperti demam dan batuk. Ia akan “naik tingkat” menjadi suspect apabila punya riwayat kontak dengan penderita corona. Suspect itu artinya juga diduga mengidap corona dan harus menjalani pemeriksaan spesimen.
Sejak corona masuk Indonesia, pasien yang baru berstatus “dalam pengawasan” alias belum suspect pun tetap diperiksa spesimen.
“Sampai tadi malam (sebelum meninggal, status pasien) dalam pengawasan COVID-19. Lalu karena meninggal, kami kontak ke Jakarta, khususnya Kemenkes dan jubir pemerintah Pak Achmad Yurianto. Kami dapat penjelasan, pasien ini ternyata kasus nomor 25 yang dibacakan kemarin. Tapi kami belum menerima (hasil tes labnya),” kata Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Dewa Made Indra.
Kasus 25 dipaparkan pemerintah pusat sebagai berikut: perempuan, 53 tahun, WNA, imported case (tertular di luar negeri), dalam kondisi stabil. Sesudah meninggal, pasien itu dikonfirmasi Inggris sebagai warga negara mereka.
Meski Sekda Bali tak merasa diberi tahu bahwa pasien yang meninggal di RSUP Sanglah tersebut positif corona, Yurianto mengatakan dokter si pasien sudah tahu.
“Ini langsung ke dokter penanggung jawab pasien. Semua pasien kan ada dokter penanggung jawabnya… Jadi begitu lab confirm positif, dokter langsung tahu dan bicara ke pasien,” kata Yuri di Kantor Staf Presiden, Jakarta, dua jam setelah Sekda Bali memberikan keterangan pers di Denpasar.
Sebetulnya, insiden pemerintah daerah yang nge-blank macam itu hanya mengulang apa yang pernah terjadi pada kasus corona pertama di Indonesia.
Pada 2 Maret, Wali Kota Depok Mohammad Idris mengaku baru tahu dua warganya positif corona setelah Presiden Jokowi mengumumkannya di Istana Merdeka. Di kesempatan lain, ia mengatakan sudah mendengar kabar tersebut pada 1 Maret dari rumah sakit di Depok yang menjadi tempat pemeriksaan awal si pasien sebelum dirujuk ke RSPI Sulianto Saroso Jakarta.
“Kami langsung memerintahkan kepala dinas kesehatan kami untuk konfirmasi ke Kementerian Kesehatan… Baru dapat informasi (dari pemerintah pusat) hari Senin, positif. Loh, gimana? Harusnya dilakukan tindakan cepat,” kata Idris, seolah bingung sendiri.
Kebingungan itu berakibat buruk bagi pasien. Alamat rumah mereka diungkap ke publik, kediaman mereka dipasangi police line, hingga akhirnya mereka merasa tertekan dan itu berimbas pada lambatnya proses kesembuhan.
Yang terbaru, Kompas melaporkan seorang warga Padang Sidempuan yang sempat memeriksakan diri ke RSUD kotanya, kaget karena surat rujukan dari dokternya—yang berisi keterangan bahwa ia diduga terinfeksi corona—beredar di media sosial. Dinas Kesehatan setempat juga membuka identitasnya. Padahal kemudian, ia dinyatakan negatif corona oleh RSUP H. Adam Malik Medan.
Insiden-insiden itu, yang masih terjadi kala Protokol Komunikasi Publik tentang Penanganan COVID-19 telah disusun pemerintah, terang membuat orang geleng-geleng kepala.
Pertama, protokol itu dengan gamblang mengatur bahwa identitas pasien tak boleh dibuka ke publik. Kedua, protokol itu juga meminta pemerintah daerah dan pusat berkomunikasi intens.
Alih-alih menunjukkan pemerintah siap dan mampu menangani wabah, miskoordinasi dan miskomunikasi membuat penanganan informasi corona kian dipertanyakan.
Terlebih, ketika kini WHO telah menetapkan wabah corona sebagai pandemi.