(Senja sebelum) Corona dan Tamatnya Globalisasi

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
10 April 2020 0:20 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wildan Ramdani/Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Wildan Ramdani/Pixabay
ADVERTISEMENT
“Kamu lagi baca buku apa?” tanyaku sore itu sambil menatap semburat jingga di langit.
ADVERTISEMENT
“Aku mau baca ulang buku Albert Camus. Sampar,” ujarnya sembari berkutat dengan ponsel.
Ingin sekali aku membanting smartphone yang ia genggam. Bisa-bisanya ia sibuk dengan gadget itu kala cahaya senja turun begitu menawan, bertemu kilau lilin yang memantul lembut pada gelas-gelas bening di hadapan kami.
“Kenapa mau baca ulang buku itu?” tanyaku, separuh tak acuh.
Aku bukannya tak pernah mengulang membaca buku-buku yang kusuka. Dan aku tahu Sampar cukup istimewa baginya. Kalau aku tak salah ingat, pengarang buku itulah—Albert Camus—yang membuat dia memutuskan untuk mengambil jurusan filsafat semasa kuliah.
Ia meletakkan handphone-nya. “Kadang, membaca buku yang sama di waktu berbeda bisa memberikan rasa dan makna yang juga berbeda,” jawabnya, dengan raut lebih serius.
ADVERTISEMENT
Same book, different taste. Begitulah kira-kira menurutnya.
Aku tersenyum setuju. Aku juga sering merasakan hal yang sama. Buku yang sama, pembaca yang sama, tapi dengan situasi dan momen berbeda yang melingkupi si pembaca, bisa menghasilkan nuansa berbeda.
Aku tak menuntut jawab lebih lanjut atas pertanyaan awalku—“Kenapa ingin baca ulang buku itu?”
Kurasa sudah jelas, situasi saat ini cukup cocok dengan buku itu. Sampar, yang juga dikenal sebagai penyakit pes, bercerita tentang wabah yang melanda kota Oran.
Sementara saat ini, penyakit menular lainnya sedang melanda—tak hanya satu kota, tapi bahkan seluruh negara di muka bumi. Ia sudah tentu bernama coronavirus disease alias COVID-19.
Sore itu, corona belum mengguncang ibu kota, belum merambat ke penjuru negeri. Setidaknya, di atas kertas belum. Meski, para ilmuwan curiga virus itu sebetulnya diam-diam beredar senyap.
ADVERTISEMENT
Tapi, data pemerintah adalah pegangan resmi. Dan senja itu, catatan kasus corona di negeri ini masih nol.
Jakarta masih berdenyut kencang dan menyala terang. Dan kami duduk tenang di sebuah restoran Italia. Tak terganggu dengan fakta bahwa negeri asal penganan-penganan yang kami makan sore itu mulai genting dicengkeram corona.
“Kamu cuti dan nggak ke mana-mana?” tanyanya sambil mengernyitkan dahi.
Aku mengiyakan. “Kenapa cuti harus ke mana-mana? Yang penting istirahat dari rutinitas dan pikiran soal kerjaan, kan?”
“Oh, itu seperti bukan kamu. Kamu yang dulu, sekali cuti langsung ke Rusia,” katanya.
Aku tertawa sambil mengibas tangan. Seperti biasa, ia melebih-lebihkan.
“Aku cuma sekali ke Rusia. Tapi memangnya sekarang bisa ke mana?” ujarku bertanya balik.
ADVERTISEMENT
“Entah, ke luar kota mungkin. Ke luar negeri memang tak aman,” sahutnya.
Corona sudah mengamuk di luar sana.
“Semua tiket pesawat turun. Temanku sebetulnya mengajak ke Vietnam. Tapi risiko bepergian saat ini tinggi, kan? Lebih baik tak ke mana-mana dulu,” ujarku.
Ia mengangguk.
Beberapa hari lalu (atau beberapa minggu lalu—waktu kini terasa samar bagiku), aku tak sengaja melihat foto-foto lockdown di Moskow, dan seketika kangen kota itu. Padahal, aku tak terlalu suka dengannya.
Mendadak terasa ada ironi yang mengambang.
Corona seperti berkecamuk di puncak globalisasi. Ketika individu-individu bisa dengan mudah berpindah dari satu negara ke negara lain untuk kemudian membaur dan bersama-sama melangkah menjadi warga dunia.
Ketika jaring perjalanan internasional telah begitu ekstensif dan terpintal erat. Ketika batas-batas negara melebur. Ketika barat dan timur bergantung lekat satu sama lain. Ketika semua serba-dekat. Ketika dunia dilipat. Ketiga traveling jadi kegemaran masyarakat global. Ketika pengalaman merasai budaya lain bisa bernilai lebih tinggi dari satu unit apartemen atau rumah di tengah kota.
ADVERTISEMENT
Saat itulah tiba-tiba semua tercerabut. Corona muncul dan meraja. Ia menyebar cepat dan menjadikan manusia sebagai perantara sempurna untuk berkuasa.
Hanya perlu satu ‘spesies’ virus untuk mengubah wajah dunia.
Penerbangan komersial terhenti. Perjalanan bisnis mandek. Rantai perdagangan tersendat. Interkoneksi terusik. Negara-negara menutup pintu. Lockdown. Shutdown.
Roda ekonomi dalam tanda tanya besar. Globalisasi tamat—untuk sementara.
Musim berganti. Sunyi. Tanpa polusi. Alam membenahi diri.
Sementara manusia dan negaranya bertempur di tengah pandemi.
Survival of the fittest. Mungkin itu yang kini sedang terjadi.
***
“Kamu jadi baca ulang buku itu?” tanyaku.
“Belum sempat,” jawabnya.
“Tak perlu,” sahutku.
Ia berada di episentrum wabah.