Siapa Beking Tambang Emas Liar di Buru?

20 Maret 2017 16:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Penambang di Gunung Botak yang sedang beristirahat (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Penutupan tambang emas bermerkuri di Pulau Buru, Maluku, yang berhasil tanpa gejolak, patut diapresiasi. Para penambang liar akhirnya meninggalkan Gunung Botak dan Gogorea tanpa dipaksa.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya bukan perkara mudah menutup tambang emas ilegal, terutama Gunung Botak.
Di gunung yang makin botak dipangkas dan dikeruk itu, Pemerintah Provinsi Maluku sudah berkali-kali mengupayakan penghentian penambangan liar. Namun upaya-upaya itu bagai menepuk angin, terlebih bila tanpa dukungan kuat pemerintah pusat.
Emas, bagaimanapun, adalah soal harta --yang diinginkan dan diincar banyak orang. (Baca: )
Maka, bukan rahasia lagi bahwa banyak oknum berkepentingan dan “bermain” dalam tambang ilegal emas Buru. Tidak hanya oknum lokal, tapi juga melibatkan oknum elite di tingkat nasional.
Ada gula ada semut. Emas di Buru ini memiliki putaran uang yang luar biasa. Bisa miliaran rupiah tiap hari. Tak heran bila banyak pihak punya kepentingan atasnya.
ADVERTISEMENT
Seseorang yang memiliki bisnis hotel dan penginapan di Kota Namlea menceritakan, kamar-kamar hotel dan penginapannya selalu penuh dipesan tiap hari pada 2012-2015 lalu.
Para pemesan kamar adalah pemodal-pemodal tambang emas. Tak jarang mereka membawa uang berkoper-koper untuk disalurkan kepada para penambang maupun kepada oknum-oknum yang membantu.
“Karena banyaknya uang yang mereka bawa, kalau bagi-bagi uang itu tidak perlu dihitung. Langsung saja uang itu diambil untuk dibagi-bagi,” kata dia saat ditemui kumparan (kumparan.com) Jumat, 10 Maret lalu.
Saat Gunung Botak dan lokasi tambang lainnya di Pulau Buru ditutup pada 14 November 2015, bisnis hotel dan penginapan di Kota Namlea langsung melorot.
“Sekarang masih relatif sepi, meski aktivitas penambangan mulai lagi per Januari lalu. Saya dengar penambang masih 3.000 orang. Dulu penambang bisa mencapai 50.000 orang,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Dengan ditutupnya kembali Gunung Botak dan Gogorea pada 19 Maret kemarin, sudah bisa dipastikan bisnis hotel dan penginapan di kota ini makin sunyi.
Sedih sudah pasti. Tapi pemilik hotel mendukung upaya penutupan kegiatan penambangan rakyat yang selama ini menggunakan merkuri dan sianida tersebut.
Tumpukan karung material emas di Gunung Botak. (Foto: Naufal Abdurrasyid/kumparan)
Para pemilik modal tambang emas, jelas bukan dari Pulau Buru. Sebagian besar mereka adalah saudagar emas dari Sulawesi Selatan. Ada juga para pemilik modal dari China dan Hong Kong. Modus mereka memodali kelompok penambang.
“Mereka mengambil keuntungan besar dari penambangan di Gunung Botak. Sangat besar. Apalagi penambangan liar tak membayar pajak satu rupiah pun,” kata salah seorang aparat pemerintah di Namlea.
Pendana tambang ilegal, ujar sumber yang enggan disebut namanya ini, beroleh pendapatan amat besar. Sebab sebelum memberi modal dengan sistem ijon, mereka sudah mematok harga beli yang nilainya di bawah harga emas di pasaran.
ADVERTISEMENT
“Jika di pasaran harga emas per Rp 500 ribu per gram, pemodal itu beli dengan harga Rp 350 ribu per gram,” katanya.
Artinya, jika satu kelompok tambang bisa mendapatkan ratusan gram emas dalam sekali menambang, maka si pemodal bisa meraup untung puluhan juta rupiah dari hasil ijon itu. Belum lagi dari bagi hasil penambangan.
Para pemodal ini juga mendatangkan merkuri dan bahan kimia lain untuk aktivitas penambangan dan pengolahannya. Entah dari mana mereka mendapatkan merkuri, dan lewat pelabuhan mana merkuri itu didatangkan. (Baca: )
Selama ini tidak ada pihak yang berani berterus terang mengenai distribusi merkuri yang bisa mendatangkan pencemaran ini. (Baca )
ADVERTISEMENT
Peredaran uang yang begitu besar di Gunung Botak pada tahun 2011-2015 bisa dilihat dari banyaknya kios Western Union di lokasi tambang. Dengan jasa Western Union, kiriman uang termasuk dari asing semakin mudah masuk.
Penambang emas di Gunung Botak, Kabupaten Buru. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Di kalangan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kabupaten Buru, berembus desas-desus adanya pejabat negara yang ikut melindungi aktivitas penambang di Gunung Botak.
Itulah yang selama ini menghambat upaya penutupan Gunung Botak dan Gogorea. Bagaimana mau bersih, kalau sapu yang digunakan juga kotor.
Tentu pejabat atau mantan pejabat di Jakarta yang masih punya pengaruh itu tidak langsung melibatkan diri secara langsung. Biasanya nama mereka dibawa-bawa oleh para pemilik modal.
Ada salah satu pemodal yang selama ini namanya sangat masyhur di kalangan penambang Gunung Botak. Dia Mansyur Lataka, saudagar emas dari Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT
Mansyur selama ini mencoba berbagai upaya agar aktivitas tambang di Gunung Botak tetap dipertahankan. Hobinya membawa nama jenderal, pejabat, atau mantan pejabat untuk menakut-nakuti aparat di Pulau Buru.
Mansyur Lataka saat diamankan dari kericuhan. (Foto: Dok. Istimewa)
Mansyur beberapa kali melaporkan beberapa pejabat di Pulau Buru ke atasannya di Jakarta dengan dalih bermacam-macam. Dia pun pernah memprovokasi para penambang untuk memprotes dan merobohkan pagar seng yang dipasang Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Maluku di Sungai Anhoni pada 23 Januari 2017 lalu.
Pemasangan seng dilakukan agar penambang tidak masuk ke Sungai Anhoni yang merupakan daerah yang dikerjakan PT Buana Pratama Sejahtera (BPS) untuk melakukan penataan dan normalisasi. (Baca: )
Apa yang dilakukan Mansyur Lataka membuat kericuhan di lokasi. Masyarakat adat yang merupakan sekuriti PT BPS setempat mengusirnya. Mereka minta agar Mansyur Lataka tidak mengaku-aku sebagai wakil masyarakat adat. Nyaris terjadi bentrokan.
ADVERTISEMENT
Beruntung aparat polisi dan TNI sedang berada di lokasi. Mereka mengatasi persoalan dengan baik. Mansyur dan para penambang kemudian membubarkan diri. Mereka pulang dengan tangan hampa, tidak berhasil merobohkan pagar seng.
Kapolres Buru AKBP Leo Simatupang membenarkan kejadian ini. Namun, Mansyur Lataka tidak diperiksa karena langsung meninggalkan lokasi.
“Benar kejadian tersebut. Tapi tidak ada yang diperiksa. Yang bersangkutan langsung meninggalkan lokasi dan pulang ke camp-nya,” kata Leo.
Mansyur Lataka saat memprovokasi penambang. (Foto: Dok. Istimewa)
Masih banyak kisah tentang Mansyur Lataka. Mansyur juga disebut pernah ditangkap Polres Morowali, Sulawesi Tengah, karena kepemilikan ekskavator yang diduga terkait aktivitas penambangan ilegal.
“.... penambangan kayu jati oleh CV Welma cabang Morowali di Desa Korololaki dan Desa Korololama Kecamatan Petasia awal tahun ini. Dari kasus ini, Polres Morowali sempat menahan Haji Mansyur Lataka selama 30 hari dan sebuah eskavator miliknya,” tulis Arianto Sangaji dalam buku Politik Lokal di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Arianto dalam catatan kaki di buku itu menuliskan, informasi tersebut dia peroleh dari wawancara dengan aktivis lingkungan di Morowali pada 2014.
Nama Mansyur Lataka dalam pemberitaan sejumlah media nasional juga pernah disebut. Saat sejumlah warga Buru berdemonstrasi di depan Kementerian ESDM pada 2016 misalnya, Mansyur ditulis sebagai pengurus Konsorsium Koperasi Wilayah Pertambangan Gunung Botak.
Sayang, kumparan belum bisa bertemu Mansyur saat mendatangi Gunung Botak 10 Maret lalu.
Kawasan tambang di Gunung Botak, Maluku. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Salah satu hal lain yang membuat penghentian tambang liar di Gunung Botak terhambat ialah sengkarut pergantian Raja Kayeli. Sang Raja adalah pemegang hak tanah ulayat (adat) di kawasan pertambangan tersebut.
Perebutan tahta Kayeli terjadi setelah raja sebelumnya, Fuad Wael, wafat pada Agustus 2016. Perebutan tahta membuat pemerintah setempat kewalahan menyosialisasikan penutupan tambang karena ada saling klaim sebagai pemegang hak tanah ulayat.
ADVERTISEMENT
Tercatat ada 4 keturunan raja yang saat ini mengklaim sebagai Raja Kayeli, yaitu Mansur Wael, Jafar Wael, Abdullah Wael, dan Fandi Wael.
Hingga sekarang belum ada penetapan siapa yang sah sebagai raja baru. Namun, yang diakui para penambang sebagai raja adalah Abdullah Wael, seorang yang baru saja pensiun dari TNI.
“Yang sering ke sini Abdullah Wael. Selama ini yang kami anggap raja ya beliau,” kata Kasim saat ditemui di Dusun Wansait, areal Gunung Botak.
Abdullah termasuk salah seorang tokoh yang selama ini juga menentang keras upaya pelaksanaan instruksi Gubernur Maluku terkait penutupan Gunung Botak dan Gogorea.
Hambatan-hambatan ini ternyata tak membuat aparat gabungan melempem. Aparat berhasil melaksanakan instruksi Gubernur Maluku Nomor 48 Tahun 2017 untuk menutup tambang emas liar bermekuri di Gunung Botak dan Gogorea.
ADVERTISEMENT
Tanggal 19 Maret 2017 menjadi hari bersejarah, karena untuk kedua kalinya aktivitas penambangan dihentikan dan para penambang akhirnya turun dengan sendirinya, tanpa ada paksaan.
Aparat membersihkan gunung Botak. (Foto: Dok. Kapolres Buru, AKBP Leo Simatupang)
Oknum yang “bermain” di pertambangan ilegal memang bisa siapa saja. Panglima Komando Daerah Militer XVI/Pattimura, Mayor Jenderal Doni Monardo tak menampik ada personel TNI yang terlibat penambangan liar di Maluku dan Maluku Utara. Sekarang anggota TNI ini tengah diproses secara hukum.
“Ada anggota TNI di Maluku Utara yang (terlibat), sudah diamankan dan sekarang masih diproses di Pomdam (Polisi Militer Kodam)," kata Doni kepada kumparan. (Baca: )
Langkah-langkah tegas seperti yang dilakukan Mayjen Doni Monardo memang diperlukan untuk menutup tambang emas bermerkuri yang berbahaya. (Baca juga: )
ADVERTISEMENT
Saat Gubernur Maluku Said Assagaff menutup tambang emas ilegal di Gunung Botak pada November 2015 lalu misalnya, Doni mengerahkan pasukannya untuk mendukung penuh upaya polisi menjaga gunung dari penyusupan penambang liar.
Jangan sampai Gunung Botak kembali tercemar penambangan bermerkuri.
Suasana area penambangan emas di Gunung Botak. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)