news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Skandal Dwi Hartanto: Ilmuwan Indonesia di Belanda

8 Oktober 2017 9:09 WIB
comment
21
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dwi Hartanto dan B.J. Habibie. (Foto: Dok. Pribadi Dwi Hartanto)
zoom-in-whitePerbesar
Dwi Hartanto dan B.J. Habibie. (Foto: Dok. Pribadi Dwi Hartanto)
ADVERTISEMENT
Dwi Hartanto. Ia ilmuwan Indonesia yang menempuh pendidikan di Belanda. Kami mulai saling menyapa via surat elektronik awal Agustus 2017. Dwi merespons permintaan wawancara kami dengan hangat, dan perbincangan berlangsung selama beberapa waktu via surel, disesuaikan dengan kesibukan Dwi di Eropa.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tak menarik hati bila Dwi diberitakan harum oleh berbagai media tanah air. Ia dan segudang prestasi cemerlangnya di tingkat internasional bagi kami seperti kembang yang dikerubuti kumbang. Ia bahkan disebut sebagai penerus BJ Habibie. Spontan kami menghubunginya untuk berkenalan.
“Maaf kurang responsif dan baru membalas email. Saya sedang mobile,” kata Dwi Hartanto, 8 Agustus 2017 kepada kumparan.
“Saya kebetulan lagi sibuk meng-handle dan mengerjakan beberapa proyek besar dan strategis bersama Airbus Defence and Space, ESA (European Space Agency), NASA (National Aeronautics and Space Administration/Badan Penerbangan dan Antariksa AS), Lockheed Martin, dan Boeing. Jadi saya masih harus sering mobile Belanda-Jerman-AS,” ujar Dwi di emailnya saat itu.
Dari cerita Dwi di sejumlah emailnya, kami mendapat gambaran betapa kehidupan sehari-hari Dwi tak dapat dipisahkan dari teknologi tingkat tinggi. Menurut Dwi, teknologi menjadi pilihan studinya sejak ia mengejar gelar sarjana di Tokyo Institute of Technology, Jepang.
ADVERTISEMENT
Lulus dari Tokyo, ujar Dwi, ia langsung mendapat tawaran untuk merampungkan gelar master dan doktoral sekaligus di Technische Universiteit Delft, dengan biaya penuh dari pemerintah Belanda.
Sudut kampus TU Delft (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Sudut kampus TU Delft (Foto: Wikimedia Commons)
Universitas Teknik Delft bukan kampus biasa. TU Delft adalah salah satu universitas teknik tertua, terbesar, dan paling komprehensif di Belanda yang berdiri sejak 1842. Perguruan tinggi ini memiliki lebih dari 2.000 peneliti, dan di antaranya terdiri dari 200 lebih profesor.
“Belanda memang mengincar peneliti potensial untuk diproyeksikan dan dilibatkan dalam proyek-proyek strategis nasional dan internasional--sesuatu yang juga harus dipelajari Indonesia guna mencegah brain drain di masa depan,” kata Dwi.
Ia menambahkan, saat ini dia merupakan kandidat full Professor permanent di TU Delft.
Dwi Hartanto (Foto: PPI Delft)
zoom-in-whitePerbesar
Dwi Hartanto (Foto: PPI Delft)
“Selamat pagi waktu lokal Pasadena, California, USA. Mohon maaf saya baru sempat baca lagi emailnya, disebabkan mobilitas sedang padat. Saya di Pasadena karena ada undangan beberapa project meeting dengan Lockheed Martin, NASA Jet Propulsion Laboratory, dan MIT (Massachusetts Institute of Technology) Department of Aeronautics and Astronautics,” kata Dwi pada email lainnya.
ADVERTISEMENT
Begitulah kami berkomunikasi (atau tepatnya mewawancarai) Dwi: putus-putus, sambung-menyambung via surel--karena lokasi yang berjarak antara Indonesia-Eropa atau Indonesia-AS, dan kesibukan sang ilmuwan.
Nama Lockheed Martin yang disebut Dwi saja sudah menarik perhatian. Ini salah satu produsen pesawat terbesar di Amerika Serikat selain Boeing, juga kontraktor pertahanan negara adidaya itu.
Kantor Airbus Defence and Space (Foto: defence.airbus.com)
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Airbus Defence and Space (Foto: defence.airbus.com)
Istimewa lagi, Dwi mengatakan menjabat sebagai Technical Director di Airbus Defence and Space; pun Technology Lead di Spacecraft Research and Technology Centre, European Space Agency.
Airbus ialah produsen pesawat Eropa yang kerap menjadi rival Boeing, dengan saham dipegang oleh perusahaan industri dirgantara sekaligus produsen militer besar Eropa--European Aeronautic Defence and Space Company/EADS (80 persen) dan BAE Systems (20 persen).
Yang tak kalah mencengangkan, Dwi menyebut memiliki lima hak paten yang berhubungan dengan roket, satelit, teknologi mesin jet, desain aerodinamik pesawat luar angkasa, dan teknologi avionik (peralatan elektronik penerbangan)--baik untuk sistem maupun kontrol penerbangan pesawat, termasuk jet tempur modern.
ADVERTISEMENT
Hak-hak paten tersebut bahkan, ujar Dwi, menjadi rebutan pabrik pesawat besar AS: Boeing dan Lockheed Martin.
Eurofighter Typhoon (Foto: eurofighter.com)
zoom-in-whitePerbesar
Eurofighter Typhoon (Foto: eurofighter.com)
Dwi juga bercerita, terlibat perancangan jet tempur generasi ke-6 di Airbus setelah sebelumnya bersama timnya sukses mengembangkan pesawat tempur generasi ke-5, Eurofighter Typhoon NG. Informasi ini kami catat baik-baik untuk didalami karena begitu membanggakan.
Betapa tidak, ada seorang ilmuwan Indonesia yang punya peran penting di balik jet tempur siluman Eropa. Ini kabar baik yang mesti disebar ke penjuru negeri, untuk menginspirasi semua anak bangsa agar maju dan bergerak.
Dengan segudang prestasi dan hak paten, Dwi mengaku ditawari pindah kewarganegaraan oleh Belanda dan Jerman. Sebab selain berkuliah di Belanda, Dwi mengatakan berkantor di Airbus Defence and Space Jerman.
ADVERTISEMENT
“Saya ingin terus bersumbangsih dengan karya-karya yang lebih baik untuk membantu umat manusia lebih maju secara peradaban teknologi,” kata dia.
Semua kisah cemerlang Dwi sepanjang komunikasi via surel di bulan Agustus itu sudah kami susun rapi, ketika ia mendadak menghubungi.
“Saya minta tolong di-hold dulu ya perihal berita saya, sebab dalam wawancara tersebut saya banyak sekali memberikan informasi mengenai beberapa project dan produk defense and military weaponry yang sangat sensitif. Project-project tersebut rencananya dirilis September oleh tim gabungan kami dari Airbus Defence and Space, ESA, dan Kementerian Pertahanan Belanda. Saya akan kasih tahu langsung begitu tanggal official release-nya sudah di-set dan definite,” kata Dwi, akhir Agustus.
Saat itu Dwi sekaligus mengajak kami kopi darat, karena ia berencana ke Indonesia bulan ini, Oktober, “Untuk menghadiri undangan meeting dengan beberapa kementerian RI, LAPAN (Lembaga Penerbagan dan Antariksa Nasional), PT. DI (Dirgantara Indonesia), dan Garuda Indonesia, serta memberi kuliah umum di beberapa universitas dan institut teknologi dalam negeri.”
ADVERTISEMENT
Namun sepanjang September, Dwi belum memberi kabar soal update dari Airbus seperti yang ia janjikan, sehingga awal Oktober kami berinisiatif untuk menghubunginya kembali.
Jawaban Dwi di luar dugaan. “Berhubung saya sedang mendapat musibah dan cobaan, saya minta tolong dengan sangat untuk meng-cancel saja semua artikel tentang saya. Mohon maaf yang sebesar-besarnya.”
Dwi Hartanto (Foto: Dok. Dwi Hartanto)
zoom-in-whitePerbesar
Dwi Hartanto (Foto: Dok. Dwi Hartanto)
Kami masih menunggu kabar lebih lanjut dari Dwi ketika pagi ini, Minggu (8/10), tersiar kabar tentang sejumlah kebohongan yang telah dilakukan Dwi terkait prestasi dan latar belakang akademisnya. Kebohongan-kebohongan tersebut diakui langsung oleh Dwi, yang menulis “Klarifikasi dan Permohonan Maaf” dari Delft, Belanda, Sabtu (7/10), sepanjang 5 halaman, dengan tanda tangannya tertera di atas meterai.
Dalam surat klarifikasi bermeterai itu, Dwi mengatakan “memberikan informasi yang tidak benar (tidak akurat, cenderung melebih-lebihkan), serta tidak melakukan koreksi, verifikasi, dan klarifikasi secara segera setelah informasi yang tidak benar tersebut meluas.”
ADVERTISEMENT
Ketidakakuratan informasi tersebut, ujar Dwi, “Belakangan terkuak selebar-Iebarnya, dan menimbulkan kegelisahan di masyarakat Indonesia, khususnya di antara alumni almamater saya, TU Delft (Technische Universiteit Delft).”
Dwi lantas membeberkan deretan poin informasi berisi kehohongannya, antara lain:
“Saya adalah lulusan SI dari Insititut Sains dan Teknologi AKPRIND Yogyakarta, Fakultas Teknologi Industri, Program Studi Teknik Informatika, lulus pada 15 November 2005. Saya bukan lulusan dari Tokyo Institute of Technology, Jepang.”
“Saya tidak pernah menempuh studi ataupun memiliki gelar akademik yang berkaitan dengan kedirgantaraan (Aerospace Engineering). Riset saya saat Master di TU Delft memang beririsan dengan sebuah sistem satelit, tetapi lebih pada bagian telemetrinya.”
Dwi mengatakan, mulai dua pekan lalu, tepatnya 25 September, ia disidang kode etik oleh TU Deflt terkait informasi-informasi tentangnya yang telah sampai kepada universitas.
ADVERTISEMENT
“Hingga klarifikasi ini saya sampaikan, TU Delft masih berada dalam proses pengambilan sikap/keputusan,” ujar Dwi.
Pada bagian akhir klarifikasinya, Dwi mengucapkan permohonan maaf.
Saya mengucapkan permohonan maaf sebesar-besarnya pada semua pihak yang telah dirugikan atas tersebarnya informasi-informasi yang tidak benar terkait dengan pribadi, kompetensi, dan prestasi saya.
Saya mengakui dengan jujur, kesalahan/kekhilafan dan ketidakdewasaan saya, yang berakibat pada terjadinya framing, distorsi informasi, atau manipulasi fakta yang sesungguhnya secara luas yang melebih-lebihkan kompetensi dan prestasi saya.
Saya sangat berharap untuk dibukakan pintu maaf yang sebesar-besarnya.
Untuk itu saya berjanji:
1. Tidak akan mengulangi kesalahan/perbuatan tidak terpuji ini lagi,
2. Akan tetap berkarya dan berkiprah dalam bidang kompetensi saya yang sesungguhnya dalam sistem komputasi dengan integritas tinggi,
ADVERTISEMENT
3. Akan menolak untuk memenuhi pemberitaan dan undangan berbicara resmi yang di luar kompetensi saya sendiri, utamanya apabila saya dianggap seorang ahli satellite technology and rocket development, dan otak di balik pesawat tempur generasi keenam.
kumparan masih terus mencoba menghubungi Dwi Hartanto dan sejumlah pihak terkait untuk memperoleh gambaran lebih jelas mengenai skandal ini.
News update: