Taman Penghalau Bising

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
28 Desember 2019 9:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
(Karol D/Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
(Karol D/Pexels)
ADVERTISEMENT
Apa yang lebih menyenangkan ketimbang tak diburu waktu, dan menyatu dengan alam?
ADVERTISEMENT
Libur Natal tahun ini benar-benar memberikan kemewahan itu buatku. Tubuh bersandar santai di bangku, buku tergeletak di pangkuan, tangan mengangkat secangkir kopi panas, telinga mendengar irama derai hujan, hidung mencium aroma segar tanah basah, dan mata memandang taman mungil di pekarangan. Taman penghalau bising.
Aku tak sedang pergi ke mana-mana. Aku di rumah saja. Menghirup petrikor yang menguar dari rerumputan kala deras hujan menyiram bumi pagi-pagi benar. Membiarkan wangi alam itu meresap perlahan ke saluran napasku. Memanjakan segenap pancaindraku pada rinai air dan tetumbuhan elok di halaman.
Biasanya, aku “kembali ke alam” dengan mencuri waktu untuk melancong. Sendiri. Ke gunung, ke laut, ke lembah, ke mana pun yang membuatku bisa lebih dekat dengan alam. Melihat awan bergulung memeluk bukit, mendengar debur ombak menyapa karang, mengikuti gemercik aliran sungai melintasi bebatuan, mengitari diri dengan hijau dedaunan dan lebat pepohonan.
ADVERTISEMENT
Semua demi hening hati. Agar pikiran kusut perlahan terurai, dan ragam masalah larut terbasuh.
Tapi di satu titik, agenda melancongku runtuh dan putaran waktuku kacau. Pada waktu-waktu yang seharusnya kuambil untuk berlibur menyegarkan diri, ternyata aku terpatri di kursi. Belum lagi putriku yang semakin menuntut untuk tidak sering-sering ditinggal pergi. Betul-betul situasi tak menguntungkan.
Ketika itulah niatku untuk punya taman menguat. Kalau aku tak bisa sering pergi, kenapa tak menghadirkan sekeping “alam” di rumah sendiri? Aku bisa menata pekarangan depan dan belakang rumah menjadi taman mungil yang asri. Dengan begitu aku tak perlu sering pergi ke mana-mana. Yang penting aku punya sebidang zona hijau untuk, katakanlah, bermeditasi dan melahap udara segar.
ADVERTISEMENT
Selama ini, pekarangan rumahku bukannya tak hijau. Tapi ia hanya ditumbuhi rumput dan pohon tabebuya. Jadi, kurasa sudah waktunya ia dibikin sedikit lebih cantik.
Maka, aku memanggil tukang taman ke rumah. Tak susah, karena banyak jasa tukang taman bertebar di internet. Pertama kali datang, tukang taman menyurvei dan mengukur pekaranganku—luasnya, posisinya dari penjuru rumah, sudut pandangnya, kontur tanahnya.
Ia bertanya, “Mau taman seperti apa?”
Aku menjawab, “Minimalis tapi manis.”
Ia bertanya lagi, apakah ingin kolam di sudut taman, atau air mancur sebagai hiasan.
Aku menggeleng. “Tak usah banyak ornamen karena bakal mempersempit ruang. Yang penting terasa lapang meski kecil.”
Ia mengangguk, lalu membikin sketsa sambil berdiskusi dengan suamiku, sementara aku macam nyonya rumah yang tinggal bilang maunya apa.
ADVERTISEMENT
Tukang taman lalu mendaftar tanaman-tanaman yang ia rekomendasikan, beserta jenis lampu taman yang menurutnya bakal menunjang keelokan taman di malam hari.
Setelah selesai, ia menyodorkan daftar itu kepadaku. Dua daftar. Satu untuk halaman depan seluas 25 meter persegi, satu untuk pekarangan belakang 15 meter persegi. Aku meneliti. Rinci sekali. Aneka tetumbuhan lengkap dengan stepping stone, tanah merah, batu koral, lampu sorot LED, serta kabel dan pipa listrik.
Aku menyusuri item demi item tanpa ekspresi. Padahal, aku cukup terpana dengan total harga yang tercantum di baris paling bawah. Meski sudah kuperkirakan bikin taman tak murah, gabungan dua daftar itu melebihi sepuluh juta rupiah.
Suamiku sama kalemnya melihat daftar itu. Ia sih terserah aku saja.
ADVERTISEMENT
“Berapa DP-nya?” tanyaku.
“Tiga puluh persen saja,” jawab tukang taman.
“OK,” sahutku pendek.
Anting Putri di sudut kanan tamanku.
Ini tanaman paling cantik di rumahku: Anting Putri. Ia juga disebut Water Jasmine. Sebab, bila sudah berbunga, kembangnya punya wujud, warna, dan aroma serupa melati (jasmine). Nama ilmiahnya: Wrightia religiosa.
Wrightia diambil dari nama ahli botani Skotlandia, William Wright. Sementara religiosa yang memiliki artikulasi mirip “religion” mungkin berakar dari tradisi tumbuhan itu yang konon digunakan di kuil-kuil persembahyangan.
Harga si anting putri dua juta rupiah. Tapi angka itu jangan hitung hanya untuk satu item, sebab pada satu pohon terdapat enam bonsai anting putri yang didandani hingga membentuk satu kesatuan yang sedap dipandang. Warna daunnya yang hijau muda cerah langsung membuat mataku terarah padanya begitu melangkah ke pekarangan.
ADVERTISEMENT
Lalu aku akan duduk berlama-lama di teras belakang hanya untuk memandanginya dan menghirup energi segar yang ia tebarkan bersama kawan-kawan tetumbuhannya. Bila sudah begitu, bising di kepalaku berangsur mereda.
Bromelia di sudut kiri tamanku.
Taman molek, tumpukan novel, dan secangkir kopi panas ialah semua yang kuperlukan untuk merengkuh jeda.
Sebulan sekali, tukang taman datang menyambangi untuk memberi sentuhan perawatan rutin. Kebetulan, besok jadwalnya datang. Sambil menabur pupuk, memangkas daun mati, dan mencabuti rumput liar yang mulai tumbuh di sela rumput gajah mini, kami akan berdiskusi soal tanaman rambat dan tanaman menjuntai.
Kali ini, aku berniat memasang tumbuhan menjuntai di tembok putih. Aku ingin tahu jenis yang cocok, susah atau tidak pemasangan serta perawatannya, dan tentu saja hargaya. Kalau mahal, tak perlu buru-buru beli. Tenang saja, semua ada waktunya.
ADVERTISEMENT