Tanaman Setan

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
26 Mei 2020 17:53 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tanaman Setan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Rumahku hutan belantara. Tanaman menjuntai memanjang semrawut dari dinding ke darat. Sulur-sulurnya merobek bumi, menusuk dalam ke tanah, meretak bebatuan, lalu merambat naik lagi ke atas, mencuat ke udara dengan angkuh, menjulurkan jemari kokohnya ke arah matahari, bergoyang-goyang riang, tertawa-tawa menang, merayakan keberhasilan menjelma menjadi tumbuhan liar. Dan sang pemilik rumah, aku, terlongong-longong tolol melihat ulah tetumbuhan tak tahu adat itu.
ADVERTISEMENT
Semua karena pandemi sialan ini. “Jangan biarkan orang lain masuk ke rumahmu,” kata ibuku yang khawatir orang-orang asing akan membawa virus yang ditakuti dunia itu ke lingkungan keluarga. Alhasil, dua bulan penuh tukang kebunku yang budiman kuliburkan, sebab tak mungkin ia merawat tetumbuhanku tanpa masuk rumah. Pekarangan belakang hanya dapat dijangkau dari dalam rumah. Lihat hasilnya kini: rimba di depan mata. Tumbuhan-tumbuhan durhaka menjalar ke mana-mana.
“Pak, kapan ada waktu?” tanyaku di telepon, berharap tukang kebun yang mana saja dapat membunuh bibit-bibit setan di tamanku.
“Besok bisa, Bu,” ujarnya cepat, sambil meyakinkan tamanku bisa asri seperti sediakala. Aku tak yakin. Aku tahu tanaman menjuntai itu keras kepala. Siang tadi aku mencoba menarik akarnya dari dalam tanah, dan tak berhasil. Betul-betul setan.
ADVERTISEMENT
“Kalau tak bisa dipangkas rapi, babat saja, ganti tanaman,” ucapku.
“Baik, Bu.”
Angin mendesis. Sayup-sayup terdengar suara terkekeh-kekeh dari arah belakang rumah.