Tertipu, eh Tergoda, Dua Tahun Lalu

Anggi Kusumadewi
Kepala Liputan Khusus kumparan. Enam belas tahun berkecimpung di dunia jurnalistik.
Konten dari Pengguna
18 Januari 2019 11:28 WIB
comment
16
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anggi Kusumadewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tergoda dan tertipu itu beda tipis. Kadang godaan membawamu ke zona tak terduga.
(Tim Liputan Khusus kumparan saat #kumparanvekesyen)
ADVERTISEMENT
Angan-angan 1 Lulus sarjana, lanjut master of International Relations di Australia, pulang ke Indonesia, meniti karier jadi diplomat atau dosen Hubungan Internasional, berkelana ke negeri-negeri asing sembari menimbun diri dengan buku-buku kisah 1001 malam.
Angan-angan 2 Lulus sarjana, lanjut kuliah di Rusia, belajar aksara Sirilik sampai mahir, mengembara sejauh mungkin ke jantung dan penjuru Negeri Tirai Besi, tak pulang-pulang ke Indonesia, memulai hidup baru penuh petualangan.
Realitas Lulus kuliah, gagal jadi diplomat, daftar beasiswa master ke luar negeri ditolak, jadi wartawan dulu biar nggak bosan (bisa pergi ke sana sini ketemu banyak orang), kian terjerat di jagat jurnalistik, tersesat di belantara kata satu dasawarsa.
***
Tak semua yang kamu mau bisa kamu dapat. Seringnya, malah tak tergapai. Seperti cinta bertepuk sebelah tangan. Mungkin bikin frustrasi, tapi tak perlu sampai bunuh diri. Banyak jalan menuju Roma. Lagi pula, kenapa harus Roma? Kenapa bukan Praha? (mulai melantur).
ADVERTISEMENT
Anyway, saya tak sedang menghibur diri, sebab tak terlalu peduli. Kita bisa jadi apa saja, dan bisa juga tak jadi apa-apa. Biasa-biasa saja, tapi tetap baik-baik saja—mungkin.
Oke, saya akan hentikan sementara bermain-main dengan bahasa metafora ini dan lompat ke masa kini—hari ulang tahun kumparan, kantor saya sekarang.
Begini ceritanya… Ini gara-gara tulisan rekan saya, Rachmadin Ismail. (Karenanya saya membuka kisah saya ini dengan meniru gaya bercerita dia. Coba saja baca ini).
Tulisan Madin itu saya tunjukkan ke Tio Ridwan, kawan satu tim, dan dia langsung protes, “Mbak Anggi disebut ‘tegas namun penuh kasih sayang?’ Tegas apaan? Bukan tegas lagi, tapi diktatorial.”
Saya tertawa panjang. Tio memang khas anak milenial yang tak suka terkekang. Kalau saya mulai “otoriter”, dia jadi yang pertama menentang. Tak jarang kami bersitegang. Pokoknya, buat Tio, haram hukumnya melarang-larang. Ia tak segan membangkang.
ADVERTISEMENT
Saya keras kepala, dia kepala batu. Sialnya, hampir semua anggota tim saya keras hati. Anak-anak badung yang gigih. Sepertinya, mereka memang hanya mungkin bekerja bersama bos diktator lagi eksplosif, bukan? (I’m kidding Tio, don’t be mad).
(Bocah-bocah badung kesayangan)
Suatu saat, ketika kami ke rumah Mas Dalipin (Yusuf Arifin)—Chief of Storyteller kumparan—untuk menjenguk Mbak Liza, istrinya, ada satu ucapan Mbak Liza yang saya ingat.
Kala itu, kami berangkat berpencar. Saya dan beberapa kawan tiba lebih dulu dan tengah mengobrol bersama Mbak Liza, ketika terdengar suara gerbang dibuka disusul bunyi langkah kaki.
“Itu Gota datang,” kata saya spontan kepada Mbak Liza.
Dia agak kaget, lalu bertanya, “Gimana kamu bisa tahu sebelum lihat orangnya?”
ADVERTISEMENT
Saya mengangkat bahu sambil menjawab ringan, “Tahu saja, Mbak.”
Mbak Liza makin terkesima. “Gila ni Anggi. Dia sampai hafal dengus napas anak-anak buahnya dari jarak sekian meter.”
Saya sontak tergelak mendengar komentar itu. Tapi dipikir-pikir, Mbak Liza benar juga. Bekerja bersama bocah-bocah itu sehari-hari, saya jadi hafal gestur dan tabiat mereka. Sama, mereka mungkin juga hafal dengan gelagat saya—kapan bungah, kapan marah, kapan tenang, kapan tegang.
Kami saling membaca gerak-gerik dan menyesuaikan diri satu sama lain. Orang-orang kepala batu yang berusaha keras untuk berkompromi—dan tak selalu berhasil.
Saya tak selalu berhasil. Malah, apalah keberhasilan saya? Saya kurang telaten dan cepat naik darah. Seperti Tio, saya tak senang terkekang dan benci dengan segala tetek bengek yang mengiringi.
ADVERTISEMENT
Tanpa Rina Nurjanah dan Aryo Bhawono, dua editor super saya, mungkin saya sudah tutup bab, lalu nekat bertualang menggelandang.
Sebab… hemm, mari saya buka rahasia dua tahun lalu…
(Barisan kawan lama tersayang)
2014-2016. Saat itu saya merasa punya tim terbaik di dunia. Kami sungguh luar biasa dan saling topang satu sama lain. But yeah, nothing lasts forever. Karena satu-dua-tiga hal, menjelang akhir 2016, saya memutuskan untuk pergi—tanpa mengurangi rasa sayang pada mereka.
Ketika saya diam-diam mencari-cari pekerjaan lain di sana sini, telepon datang tak terduga. Dari seorang kenalan lama. Dia mengajak segera berjumpa. Saya sudah tahu: pasti ada tawaran pekerjaan.
Tebakan saya benar. Saya diminta membantu di media baru yang akan segera berdiri. Saya tertarik. Tawarannya menggoda: kerja lebih santai, gaji sedikit naik.
ADVERTISEMENT
That doesn’t sound bad, apalagi saya toh sudah berencana pergi. Tanpa pikir panjang, sehari kemudian tawaran itu saya iyakan.
Memang, kerja saya agak santai—semula. Lalu, pelan tapi pasti, santai mulai sirna. Orang menyebutnya: tantangan baru.
Saya tak peduli apa istilahnya. Pokoknya, kerut di kening saya jadi sering datang lagi. Dan yang lebih parah: suara menggelegar saya juga kembali. Well, welcome back the old me.
(Rapat Koordinasi Liputan Khusus kumparan. Tanpa kalian, semua tak akan sama #tsaah)
Kali pertama datang ke kantor kumparan yang waktu itu masih separuh kosong, Madin menyambut saya. Saya tak kenal dia. Kami tak pernah bersinggungan semasa di lapangan.
Tak perlu lama untuk tahu dia cerdas dalam melontarkan gagasan dan mengelola perusahaan, meski kerap meninggalkan celah ketika meneliti tulisan (orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, itu biasa).
ADVERTISEMENT
Maka, ketika membaca tulisannya (yang di atas), saya tersenyum-senyum sambil menyikut-nyikut Tio. Madin memang punya ingatan dan penglihatan tajam. Dia, misalnya, sampai sekarang ingat betul jaket tebal yang saya kenakan ketika pertama kali tiba di kumparan di tengah hujan lebat.
Dia menyebutnya “Jaket Rusia”, karena saya menginjakkan kaki di kumparan sepekan setelah pulang dari Rusia, dan jaket itu tampak pada foto-foto saya selama berada di Rusia.
Sini, mari saya beri distraksi dengan berbagi kisah ketika saya singgah di Saint Petersburg, salah satu kota paling cantik di Rusia ;)
Jadi, seperti saya sebut dalam cerita di atas, dua tahun lalu saya melepas rutinitas lama untuk berhadapan dengan rutinitas baru: untuk menapak di kumparan—dengan segala baik buruknya.
ADVERTISEMENT
Saya bukan orang yang terencana, meski bisa-bisa saja berencana. Saat ini pun, saya tak tahu ke mana hidup akan membawa. Saya tak suka bicara muluk, jadi mari kita lihat saja.
Yang jelas, di mana pun saya berada, saya punya satu prinsip: no compromise with excellence.
Selamat ulang tahun, kumparan. Semoga makin dewasa tak sekadar di kata.
(Perjalanan tak selalu manis. Tak jarang kami teriris dan meringis. Dan ini belum finis.)