Wawancara Khusus Ayu Laksmi: Saya Kosongkan Diri untuk Pengabdi Setan

27 Oktober 2017 12:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Ibu datang lagi.
Ibu “Pengabdi Setan”. (Foto: @jokoanwar/Twitter)
Malam-malammu akan berubah seram bila wajahnya muncul di jendela. Cukup dengan menampilkan seringainya, kau bisa jadi bakal merasa dihantui sepanjang malam. Masih berani tidur sendiri?
ADVERTISEMENT
Setidaknya, itu dirasakan oleh sebagian penonton film Pengabdi Setan. Sosok Mawarni Suwono sang Ibu Setan begitu melekat di benak, hingga terbawa tidur, dan dirayakan dengan kehadiran ribuan memenya di jagat maya. Heil Ibu Setan.
Maka, Joko Anwar sama sekali tak salah ketika menjatuhkan pilihannya kepada Ayu Laksmi untuk berperan sebagai Ibu Setan. Ayu, yang telah malang melintang di dunia seni musik dan seni teater pada usia setengah abadnya kini, memiliki kemampuan dan tingkat kematangan akting yang luar biasa.
“Berjodoh,” demikianlah yang dikatakan Joko Anwar dan Ayu Laksmi kepada satu sama lain. Demi Pengabdi Setan, mereka mengeluarkan kepiawaian terbaiknya dalam dunia seni. Hasilnya, Pengabdi Setan hingga saat ini meraup hampir 3,5 juta penonton, mencetak rekor dalam jajaran film horor terlaris sepanjang sejarah sinema Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sabtu (21/10), kumparan bermalam Minggu bersama Ayu Laksmi, berbincang segala rupa dengannya, mulai soal film, musik, kehidupan, hingga spiritualisme. Tentang perjodohannya dengan Pengabdi Setan, sila simak video pada bagian paling atas tulisan ini.
Wawancara khusus Ayu Laksmi. (Foto: Joseph Pradipta/kumparan)
Untuk wawancara versi lengkapnya, berikut kami sajikan petikannya untuk anda.
Bagaimana proses awal bergabung dengan Pengabdi Setan?
Saya juga ragu apakah ini (diminta berperan sebagai Ibu di Pengabdi Setan) benar. Makanya saya meminta kepada Bang Joko Anwar untuk di-casting yang benar-benar, yang serius. Ya udah, saya dikasih skrip, disuruh peragain (Ibu Setan), salah satunya yang (bunyiin lonceng) neng neng neng neng, waktu ada penampakan dia di langit-langit.
Saat awal pertemuan, kan kami (saya dan Joko Anwar) punya rasa, seperti ada vibrasi. Saya boleh katakan bahwa Abang Joko adalah orang yang sangat mampu. Seorang sutradara yang sangat mampu mengondisikan semua pemain dalam mood terbaik. Bahkan ketika saya merasa bersalah saat ketiduran dan sedikit kelelahan karena mendapatkan beban seni peran casting yang saya merasa tidak banyak referensi, Abang Joko bisa men-stimulate saya sehingga menjadi punya mood yang baik.
ADVERTISEMENT
Film ini berjodoh (dengan saya). Sehingga ketika saya katakan “iya” (menerima peran Ibu), suara hati saya berkata “iya”. Sepertinya sudah tergelar waktu yang kosong begitu saja, sehingga schedule yang ditawarkan Joko Anwar itu bisa saya ikuti semua tanpa saya harus tinggalkan (kegiatan) apapun. Sebab itu kan berpengaruh pada fokus, totalitas.
Saya biasanya mengerjakan sesuatu tidak bisa setengah-setengah untuk hal apapun. Terlepas dari dunia seni atau apapun, misal berkebun, memasak, pasti saya total. Ada keutuhan dan kebulatan antara pikiran, tubuh, dan jiwa, sehingga mengerjakan sesuatu itu ikhlas. Tak ada sama sekali pertahanan dan penolakan.
Saya berusaha (total) karena seni peran (di film) ini adalah hal yang sangat baru buat saya. Dalam proses syuting, saya hanya berserah, mengosongkan diri, sehingga mudah untuk diisi sang sutradara. Kalau kita kosong, kan lebih mudah diisi. Kalau kita bertahan, “menurut saya begini”, atau ada harapan dan beban harus (akting) seram, menakutkan, justru jadinya nanti terlalu banyak rencana.
ADVERTISEMENT
Jadi saya malah totally kosong. (Saya bilang pada Joko), I will do what you want. Karena saya percaya dengan Abang Joko--yang dengan melalui proses panjang, akhirnya cukup nekat memilih saya yang bukan seorang bintang film.
Nah, kepercayaan dengan yang satu dan lain itu perlu. Jadi ketika sudah percaya, ada sinergi, terbantu oleh kuasa Semesta. Intinya begitu.
Ayu Laksmi bersama Joko Anwar (Foto: Facebook Ayu Laksmi)
Saya mengikuti skrip, tak ada rencana apa-apa, kosong. Jadi ketika ditanya Abang Joko setiap kali syuting usai, “Ibu mau lihat nggak preview-nya?” Saya jawab, “Nggak.” Saya selalu menolak, pemain lain selalu pengen lihat. Saya hanya berkata, “What do you think? If you think it’s good, berarti bagus. Because you are the director.
Bagaimana Mbak Ayu melihat penokohan atas perempuan di Indonesia, termasuk di film horor?
ADVERTISEMENT
Saya masih melihat, publik itu memandang perempuan masih “tubuh”. Jari, ketika orang mendengar kata “perempuan” saja, satu image yang pertama kali muncul dalam pikiran pasti tubuh.
Soal perempuan ini, kalau di Pengabdi Setan cukup unik, karena di sana (Ibu) sosok yang tak berdaya. Tapi ada perpaduan beberapa karakter yang ingin disampaikan Joko Anwar (dalam tokoh Ibu).
Dalam wawancara khusus dengan kumparan, Joko Anwar mengatakan sosok Ibu adalah perempuan yang sangat teremansipasi dan ambisius, yang ingin mendapatkan semua kemewahan dunia--uang, popularitas, karier gemilang, dan keluarga ideal dengan suami tampan dan anak-anak lucu.
Di sisi lain, ambisi itu membuat Ibu memiliki kelemahan fatal. Potret idealnya tentang keluarga belum terpenuhi lantaran ia tak memiliki satupun anak. Akhirnya untuk beroleh putra-putri, dengan kesadaran sendiri ia bergabung dengan Sekte Kesuburan dan menjadi pengabdi setan.
Ayu Laksmi (Foto: Facebook Ayu Laksmi)
Secara mitologi Bali, perempuan, secantik apapun dia, ketika marah akan tampak seperti setan. Makanya perempuan (sebaiknya) mengekspresikan kemarahan dengan kelembutan. Bahkan tidak perlu harus bicara. Mungkin itu juga yang ingin disampaikan Abang Joko.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri adalah anak yang dibesarkan oleh seorang ibu--single mother. Bapak meninggal sudah sejak saya kecil. Jadi saya tidak pernah mengenal figur bapak. Tapi saya takut sekali dengan ibu kalau beliau marah. Bukan karena dia cerewet, tapi justru karena diam kalau marah. Nah, dari bahasa tubuhnya, ekspresinya, itu Ibu bisa langsung membuat aturan. Itu mungkin yang ingin disampaikan Abang Joko Anwar.
Pada Ibu Mawarni, ada perpaduan. Ia sakit. Perempuan tak berdaya kemudian menjadi setan. Itu digambarkan, “Nah, begini nih perempuan. Kalau dia ada penyesalan, ada sesuatu yang tidak ia sukai, dia bisa berubah wujud menjadi seperti itu.” Kira-kira seperti itu.
Sebenarnya menarik sekali membicarakan perempuan secara visual. Banyak sekali yang bisa diangkat. Dari segi mitologi Hindu bali, perempuan diibaratkan punya tangan 108, bahkan namanya 108, wajahnya pun 108. (Penampakannya) tergantung apa yang ada di dalam hatinya.
ADVERTISEMENT
Maka ucapan Sukarno “Di mana perempuan dihargai dan dihormati, maka di situ ada kesejahteraan untuk bangsa dan negara,” itu perlu kita renungkan, supaya perempuan tidak hanya dianggap atau diidentikkan sekadar tubuh.
Mbak Ayu juga kerap menjadi sosok ibu di film-film sebelumnya, bukan?
Iya, dan itu semua beda karakternya. Sebenarnya perasaan saya sebagai ibu itu banyak terbentuk dalam dunia seni peran karena saya selalu mendapat peran ibu.
Saya pertama main film tahun 2008, Under the Tree. Sutradaranya Garin Nugroho. Itu film festival. Di sana ada pergolakan batin antara perasaan ibu yang baru memiliki kesempatan punya anak satu, udah lama tunggu, tapi anak itu harus lahir dengan masa depan yang diketahui--karena di otaknya ada kelainan, ia hanya akan hidup beberapa saat.
ADVERTISEMENT
Nah, ada perasaan bahagia karena si ibu menciptakan sebuah kelahiran baru. Tapi pada waktu bersamaan, dia harus melatih kerelaan bahwa kematian itu sama indahnya dengan kelahiran. Dia tahu apa yang ia lahirkan akan mati. Tapi tidak seperti ibu-ibu lain (yang punya kesempatan membesarkan anaknya), dia hanya akan menikmati (kebersamaan dengan anaknya) beberapa saat saja.
Jadi itu kehidupan yang berlangsung beberapa saat, dan itu diketahui akan selesai.
Film kedua, Ngurah Rai. (Peran saya di situ sebagai) seorang ibu yang merelakan anaknya, Pahlawan I Gusti Ngurah Rai, pergi untuk berperang. Jadi tokoh ibu yang lumayan kuat.
Yang ketiga, film Soekarno. Keempat, Sekala Niskala (The Seen and Unseen) yang disutradarai Kamila Andini, putrinya Garin Nugroho. Itu ibu yang punya anak kembar buncing (laki dan perempuan, very special kalau di Bali). Nah, di saat anaknya yang laki (sakit dan mau) meninggal, anaknya yang perempuan ingin bertukar--mengambil rasa sakit dari saudara lelakinya untuk dibawa masuk ke dalam tubuhnya.
ADVERTISEMENT
Jadi, semua perasaan ibu mungkin sama. Yang dilematis adalah perannya. Dan ekspresinya beda-beda. Spesialnya Ibu Pengabdi Setan mungkin karena masyarakat Indonesia menggemari horor.
Saya memang sedang berjodoh dengan waktu. Saya pikir, siapapun yang berperan sebagai ibu dalam film Pengabdi Setan, pasti akan mengalami nasib yang sama seperti saya (populer).
Hanya, mungkin karena latar belakang saya bukan pemain film, justru itu jadi sedikit “aneh”. (Mungkin banyak yang bertanya), “Pemeran Ibu ini dari mana? Nggak pernah kelihatan di industri film.”
Ya, saya memang cuma muncul sedikit-sedikit di film-film, termasuk di Pengabdi Setan. Kalau dari segi persentasi visual, kan sangat sedikit. Cuma karena sedikitnya itu jreng jreeeng (horor), jadi (berdampak), hahaha...
Bagaimana Mbak Ayu melihat kebanyakan film horor Indonesia?
ADVERTISEMENT
Saya pikir, film horor nantinya bisa berbeda. Sesuatu yang horor sebetulnya tak perlu harus menakutkan. Setan beda dengan hantu. Setan lebih menjurus pada sifat. Makanya ada kalimat, “Kamu kok pergi kayak orang kesetanan.” Sebab “setan” di situ sifat--sifat pemarah, tak sabar, senang membicarakan orang, cemburu, suuzon (berprasangka buruk).
Nah, horor itu apa? Sesuatu yang menakutkan. Sesuatu yang menakutkan, menurut saya, tidak harus ditandai dengan hantu yang tak tampak. Saya, misalnya, paling takut dengan diri saya sendiri. Ketika saya nggak mampu menguasai diri--punya uang cuma Rp 100 ribu, tapi pengen beli tas Rp 500 ribu sampai pinjam uang ke mana-mana. Nah, buat saya itulah the most horrible thing. Horrible--horror.
Mungkin nanti film horor bisa mengangkat horor yang terjadi pada manusia. Jadi nggak selalu external look, tapi internal look. Horor yang muncul dari dalam. Sebab ketika itu menguasai diri kita, setan yang dari luar jadi gampang ngebisikin. Tapi kalau kita bisa mengendalikan diri, tidak.
ADVERTISEMENT
Saya ingin ada horor yang tak selalu menakutkan, tetapi mengandung pesan moral kehidupan yang disampaikan oleh dunia lain--dunia yang tak tampak. Mungkin karena saya orang Bali ya, lahir dan besar dalam situasi yang memang mengadakan penghormatan bukan hanya pada yang tampak, tapi juga yang tak tampak.
Kami mengadakan upacara untuk yang tak tampak, bahwa kita (manusia yang terlihat dan makhluk lain yang tak terlihat) sama-sama ada, dan meminjam tempat di bumi, semesta jagat raya ini. Jadi mari bekerja sama dan tak saling ganggu. Bahkan kalau sudah saling kenal, bisa jadi sesuatu yang melindungi kita.
Mbak Ayu dulu kan Lady Rocker tahun 1980-an, lalu 20 tahun kemudian pindah jalur dengan mengeluarkan album Svara Semesta. Bagaimana perjalanan dari musik rock ke spiritual itu? Ada titik balik?
ADVERTISEMENT
Saya dari kecil, lahir dan besar di dunia seni, dari keluarga seni, dengan kota (Singaraja) yang tidak ada bioskop. Jadi referensi bioskop hiburan nggak ada. Sehingga saya, kami, selepas sekolah hanya berkesenian. Dari kecil sampai remaja ikut festival, remaja sampai kuliah saya jadi penyanyi rock.
Setelah itu saya sempat tinggal di Jakarta dua tahun, tapi saat itu feel not comfortable. Padahal dulu Jakarta belum semacet ini. Jadi saya kembali ke Bali, di samping juga untuk melanjutkan kuliah saya yang belum usai, karena saya belum punya apa-apa yang bisa saya kasih ke orang tua. Hanya janji sekolah selesai.
Kewajiban satu, sekolah. Kewajiban dua, berkesenian. Ketika peluang baru mau terbuka di Jakarta, saya memutuskan pulang ke Bali. Setelah selesai sekolah, saya tidak kembali ke Jakarta. Saya ngamen, tiap hari di hotel, restoran.
ADVERTISEMENT
Saya belajar menjadi entertainer, terbiasa dengan berbagai bangsa. Jadi tahu kalau orang Italia sukanya begini, Amerika begini. Itu saya lakukan sampai tahun 1997. Lalu saya berpetualang, menyanyi di kapal pesiar beberapa bulan. Karena saya sukanya jalan-jalan tapi tak mau pakai duit sendiri, hahaha...
Ayu Laksmi (Foto: Facebook Ayu Laksmi)
Sekembalinya ke Bali, pernah coba-coba jadi pengusaha. Buka restoran. Tempat saya dipakai kumpul teman-teman. Beli kopi dan makan di situ. Tapi karena saya terlalu baik, restoran bangkrut dan saya ngamen lagi. Saya nyanyi segala jenis musik. Apa saja yang cocok buat saya, dan melayani request orang. Jaz latin, R&B, rock n roll--semua. Habis nyanyi, dapet duit, tidur. Begitu setiap hari.
Sampai tahun 2002, ada Bom Bali. Itu peristiwa yang horor banget. Level horornya sama dengan ketika saya tidak bisa menguasai diri. Saya ngeri. Darah-darah di mana-mana. Sangat menyedihkan.
ADVERTISEMENT
Saat itulah saya dikasih tugas oleh orang-orang yang pernah mengenal saya di Jakarta. Mereka bilang, “Dulu ada penyanyi dari Bali, tahun ‘88 sampe ‘90 lalu ngeluarin album. Ke mana dia?” Saya dicari-cari, diminta bikin album Bali for the World supaya orang tidak takut datang ke Bali.
Di sana saya bingung. Masak saya mau nyanyi latin, rock. Saya mulai mikir, mau bawain nyanyian pujian berbahasa sastra Jawa kuno yang isi syair-syairnya bercerita tentang perenungan atau kontemplasi, misal kenapa kita diberikan bencana. Jadi kami berkeliling mengampanyekan Bali for the World dengan nyanyian pujian. Itu awalnya.
Cukup lama, sampai saya mendapatkan inspirasi, dan hati saya mulai nyaman menyanyikan lagu itu. Orang bilang, “Waduh, kamu masuk ke musik spiritual meditatif gini ya udah, selesai (karier musik mainstream) kamu.”
ADVERTISEMENT
Makin banyak orang yang memperingatkan, tapi kok hati saya merasa nyaman (membawakan musik spiritual), terus ter-stimulte dan banyak membuat lagu syair Jawa kuno, tapi dengan cara yang diterima anak-anak muda--artistik. Itu diterima, dan yang pertama mengapresiasi orang asing. Saya jadi sering dapat undangan ke luar negeri untuk bermusik. Tapi baru ada keberanian bikin album sendiri tahun 2010.
Saya idealis. Pengen memproduseri sendiri, tapi nggak ada duit. Saya vakum lagi dua tahun mencari jalan keluar, setop bernyanyi, bekerja sama dengan pemerintah menjadi event organizer acara yang spektakuler--bikin konsep pertunjukan, presentasi kayak pegawai negeri. Tapi itu bikin saya punya uang dan bisa mengeksekusi keinginan untuk rekaman sendiri.
Jadi saya beri advice ke anak-anak muda, jika punya kreativitas apapun, berkarya dulu narik energi, jangan nunggu punya uang. Sama kayak batu kena air tes… tes… lama-lama akan bisa.
Ayu Laksmi (Foto: Facebook Ayu Laksmi)
Kalau orang Bali, media berkomunikasi dengan sesama dan semesta itu berkesenian. Hidup ini adalah persembahan. Konsep saya berkesenian itu karena saya suka. Mau main film, main teater, bikin apa, pasti karena suka. Dan saya akan lakukan dengan suka cita.
ADVERTISEMENT
Bukan berarti saya tidak butuh uang, tapi saya percaya bahwa rezeki sudah ada yang mengatur. (Nggak perlu) orang sampai bekerja nggak tidur-tidur untuk memenuhi keinginannya. Kalau begitu, kita jadi tidak menikmati hidup.
Sebab apa sih esensi hidup? Hidup itu kesadaran. Bekerja, beristirahat, dengan kesadaran. Hidup ini persembahan. Bahagia jika membuat orang bahagia. Tapi pastikan kita juga bahagia. Jangan sampai diri kita susah hanya karena ingin membuat bahagia orang lain.
Di Bali ada konsep Tri Hita Karana--hubungan harmonis antara manusia dengan alam, manusia dengan sesama manusia, manusia dengan alam. Semua harus dihormati. Nggak ada saling mengejek. Semua tujuan baik. Tuhanku ya Tuhanku, Tuhanmu ya Tuhanmu, nggak perlu memengaruhi. Semua orang bebas membuat pilihan.
ADVERTISEMENT