Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Terimakasih Pelajaran Hidupnya, Bu!
8 Mei 2020 8:09 WIB
Tulisan dari Anggita Ayu Pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang ibu selalu menjadi sosok yang istimewa untuk setiap orang. Sosok istimewa yang dapat menjadi teman, sahabat dan panutan. Menuntun kita untuk melihat perjalanan hidupnya sebagai pelajaran dan membantu pijakan kita tetap kokoh saat menata masa depan.
ADVERTISEMENT
Turmiyati, dia ibuku. Sesosok ibu yang tegar dan tetap memperlihatkan senyumnya untukku meski pijakannya tidak lagi kokoh. Ibu dua anak ini mengajarkanku arti dari ketabahan, keikhlasan, dan makna kata maaf yang sebenarnya. Meski tak jarang kulihat sosoknya menangis saat menceritakan perjuangannya bertahan dari hinaan demi keutuhan keluarganya. Ibuku harus berjuang sangat lama karna tidak mendapatkan restu pernikahan dari saudara ayahku.
Masih kuingat bagaimana teririsnya hatiku saat usiaku masih kecil dan Ibuku dihina didepan wajahku. Aku yang masih kecil hanya bisa merasakan sakit tanpa tau mengapa mendengar ibuku dihina begitu sakit, tapi ibuku tersenyum padaku seolah mengatakan dia baik-baik saja. Meski kulihat berkali-kali sosoknya menangis sendirian yang baru kutahu sekarang itu sebab luka yang ia tahan sendiri.
ADVERTISEMENT
Jika sekarang ia rela menceritakan masa pahit itu padaku, maka kupastikan ia sedang mengajariku arti ketabahan. “Mama memaafkan mereka sayang, memang masih terasa perih jika diingat. Tapi hidup dalam pusaran kebencian tidak akan membuat hati tenang. Mama mencoba melupakan semua, kamu juga harus melupakan dan memaafkannya ya?” Kata ibuku tersenyum seolah masa-masa itu tidak pernah ada.
Ibu juga selalu mengatakan, tidak ada perjuangan yang sia-sia. Kupikir itu adalah hal yang benar sebab bertahun-tahun sejak masa pahit itu, saudara ayahu perlahan-lahan menerima dan menyayangi ibuku. Semua perjuangan ibuku, ketabahannya dan keikhlasannya menjadi pedomanku kala badai masalah kehidupan juga menerjangku.
Tidak hanya karena ketabahannya yang membuatku terkagum, ibuku juga selalu mendungkung pendidikanku. Masih kuingat usahanya membantu meyakinkan ayahku agar aku bisa kuliah meski ekonomi kami sulit. Ia selalu menyemangatiku kala aku putus asa saat berjuang masuk Perguruan Tinggi Negeri. Masih lekat kata-katanya saat menyemangatiku, “Cukup mama dan papa yang pendidikannya rendah, kamu kebanggaan mama jangan sampai hanya mentok SMA. Wanita harus berilmu supaya anaknya juga berilmu. Kamu guru pertama anakmu nanti. Jangan sampai dipandang rendah hanya karna pendidikanmu rendah sayang.”
ADVERTISEMENT
Tetaplah menjadi tegar, Bu. Terimakasih atas pelajaran hidup berharga serta kasih sayang yang tidak habis Ibu berikan. Aku selalu berharap menjadi penopangmu sehingga kamu tidak lagi menanggung beban sendiri. Kamu selalu membagi bebanku di atas pundakmu, mendengarkan curahan hatiku dan memberikan solusi yang bijak. Meski aku tanpa sengaja selalu membantahmu, rasa sayangmu tidak habis. Kuharap kamu selalu bahagia dan badai masa lalu segera berakhir.