news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Millennials di Alam Baka: Part I

Nyengir
Sebab hydup sesungguhnya adalah layf ~
Konten dari Pengguna
5 April 2017 12:45 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nyengir tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Millennials di Alam Baka: Part I
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Benar kata Ibu. Pascakematian, kukira hidupku akan berakhir begitu saja. Hampa. Berada di petala hitam yang tanpa sekat, luas, namun kau takkan bisa bergerak. Di mana pun hidupku nanti akan berakhir, ada satu hal yang paling mengusik kegelisahanku: Hidupku telah berakhir. Berakhir begitu saja.
ADVERTISEMENT
Hidupku yang keren, banyak teman, eksis di setiap media sosial dengan ratusan likers di setiap foto yang ku-upload, plus, tentunya, followers yang tiap hari jumlahnya meningkat naik meskipun barang satu atau dua (terakhir kuingat, sudah mencapai lima ribuan!).
Sekarang, aku berada dalam kumpulan manusia di sebuah padang pasir yang panas. Aku sedang antre di sebuah barisan yang terdiri dari gerombolan manusia yang sama sepertiku, sama-sama telanjang tanpa sehelai benang pun.
Mukanya muram, pasi, dan sendu, bahkan ekspresinya begitu perih, seperti menyesali sesuatu. Ada yang menangis. Ada yang menggigiti jari. Ada yang mengggigil ketakutan. Aku jadi merasa beda sendiri. Pembawaanku tenang-tenang saja, bahkan terlihat begitu percaya diri.
Di depan antrean, ada beberapa makhluk berpenampilan eksentrik dan menyeramkan. Mereka telanjang, rambut gimbal acakadut, bibir pecah, dan tidak bersepatu Docmart. Sungguh tidak instagrammable!
ADVERTISEMENT
Gosipnya, salah satu dari makhluk itu akan mencecarmu beberapa pertanyaan, kemudian ia akan melakukan dua hal: menerbangkanmu ke surga, atau melemparmu ke pusaran neraka.
Ternyata surga dan neraka itu eksis di kehidupan setelah mati. Kukira, hanya buai palsu Pak Pendeta yang bahkan belum pernah mampir ke sana selama hidup, padahal ia ngakunya orang suci yang sudah dekat dengan Tuhan. Masa surga dan neraka saja belum lihat?
Akhirnya tiba giliranku.
Makhluk eksentrik plus menakutkan itu menatapku dengan senyum yang tidak ramah. Dari dekat, aku bisa menilai betapa ia bukan orang yang asyik ataupun friendly, jauh berbeda sepertiku semasa hidup.
Aku sangsi, hidup mereka pasti menjenuhkan, tidak ada momen yang kece untuk diposting di akun Path, dan pastinya tidak Snapchat material. Apa ia tahu bahwa kesenangan bisa dilihat sesederhana mendengarkan lagu hipster lewat Spotify?
ADVERTISEMENT
Tanda tanya di kepalaku terpotong tepat ketika makhluk itu menyebut namaku.
“Namamu Budi?”
Aku mengangguk. “Iya, Budi. Tapi, untuk akun Instagram, Line, Twitter, dan Snapchat, namaku seragam, kok: buddyartsy. Ingat, ‘b’ nya pakai huruf kecil ya, dan disambung semua. buddyartsy. Jangan lupa follow. Feeds di Instagramku keren, lho! Berkonsep. Nyeni. Postmodernis banget, lah! ”
Ia tak menghiraukan perkenalanku yang keren tadi. Sedetik kemudian, ia menyerangku dengan berbagai pertanyaan yang paling sukar yang pernah ditangkap oleh kepalaku (dan bahkan tak bisa ditemukan lewat mesin pencari Google). Rata-rata tidak mampu kujawab. Saat tak mampu menjawab pertanyaannya, aku bilang “pas”.
Dari berbagai pertanyaan itu, pertanyaan “berapa followers-mu semasa hidup?” tidak ia tanyakan.
ADVERTISEMENT