Gundala, Pahlawan Tanpa Yurisdiksi Versi Joko Anwar

Anissa Sadino
Provehito in Altum
Konten dari Pengguna
3 September 2019 12:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anissa Sadino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gundala. Dok: Twitter @jokoanwar
zoom-in-whitePerbesar
Gundala. Dok: Twitter @jokoanwar
ADVERTISEMENT
Setelah menahan diri untuk enggak ngecek-ngecek media sosial dan nutup kuping sama komentar orang-orang, akhirnya gue nonton 'Gundala' hari Minggu, 1 September kemarin. Yay!
ADVERTISEMENT
Waktu Abimana Aryasatya, Lukman Sardi, dan Aqi Singgih visit ke kantor untuk program tamu kumparan, jujur, gue semakin penasaran sama 'Gundala'. Selain memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk 'menikmati' Abimana dari dekat, gue menanyakan banyak hal sama tiga orang itu terkait 'Gundala'. Sayang, banyak yang enggak kejawab karena kata mereka, "Joko suka marah kalo kita ngomong banyak-banyak."
Oke, enggak apa-apa. Waktu itu aja, trailer-nya belum keluar. Jadi, wajar aja. Sekarang, mari kita percepat dengan bagian gue udah duduk di bioskop sama laki gue.
Film dimulai dengan adegan komik-komik yang merepresentasikan Jagat Sinema Bumilangit. Oke, ini intro film-film MCU banget. Tapi, enggak apa-apa, ini keren.
Sancaka kecil. Dok: YouTube.com/Screenplay Films
Bagian pertama film bikin gue senyam-senyum sendiri. Gue terpukau banget sama aktingnya Muzakki Ramdhana, pemeran Sancaka kecil. "Ni anak polos banget, ya," pikir gue dalam hati.
ADVERTISEMENT
Bukannya gimana, Muzakki keren banget aktingnya. Kelihatan banget kalo dia mudah diarahkan dan paham arahannya Joko Anwar selaku sutradara. Dia merepresentasikan Sancaka kecil yang harus hidup mandiri tanpa orang tua, merasakan kejamnya ibu kota, dan berusaha keras untuk lari dari kematian.
Dia paling membuat gue terpukau pas lagi latihan bela diri. "Duh, anak ini udah gede!" kata gue dalam hati. Ya, mengingat dulu dia pernah visit ke kumparan juga untuk film 'Folklore: A Mother's Love' sama Marissa Anita. Kayaknya waktu itu, dia masih kecil banget dan 'anak mama' kinda boy. Aku terharu.
Faris Fadjar, pemeran Awang yang ngajarin Sancaka kecil bela diri, juga enggak kalah keren. Man, Faris ganteng banget di 'Gundala', dan enggak heran dia jago bela diri. Dia anaknya Cecep Arif Rahman, bok. Wajar, 'kan?
ADVERTISEMENT
Akhirnya, tiba saatnya kedua mata ini untuk dimanja. Yes, Sancaka dewasa yang diperankan Abimana ditampilkan.
Gue nganga lumayan lebar pas liat adegan fighting Sancaka dewasa pas dia lagi di kamarnya Wulan. Oke, adegan fighting-nya seru dan koreografinya juga enggak biasa. Gue inget, gue ngangguk-ngangguk ngasih approval untuk adegan itu, berasa jadi produser.
Terus, tiba di adegan yang memperlihatkan Pengkor. Sosoknya menyeramkan, and he's that kinda of guy you don't wanna mess with. Bener aja, ada satu kejadian yang membuktikan kuasa Pengkor sebagai seorang antagonis yang berpengaruh setelahnya.
Adegan berlanjut dan memperlihatkan gimana Sancaka bisa mendapatkan kekuatannya dan menemukan ide untuk kostum superhero-nya. Gue mulai cringe, menajamkan indera pendengaran, dan menahan rasa gemas. Bukan gemas sama Abimana sebagai Sancaka, tapi gemas di bagian berantemnya.
ADVERTISEMENT
Menuju akhir film, gue mulai kebingungan. "Eh, itu siapa? Eh, dia kenapa? Eh, ngapain? Eh, ini siapa pula? Lho? Kok? Eh, dia ngomong apa, sih?" ucap gue dalam hati. Tapi, gue harus keep up sama filmnya. Sampai akhirnya, gue ngomong sendiri dengan pelan, "Kok, pusing, ya?"
Sancaka terpukau sama geledek. Dok: YouTube.com/Screenplay Films
Di akhir film, ada satu adegan yang bikin gue, "Oh, wow," dan, "What the hell?" in the same time. Film berdurasi 123 menit itu pun berakhir, dan entah kenapa, gue ngerasa filmnya jauh lebih lama dari "Avatar"-nya James Cameron.
Meski demikian, gue enjoy nontonnya. The movie is worth to watch. Tapi, (ya, selalu ada tapi dalam setiap hal) banyak bagian yang bikin gue ngelus dada.
ADVERTISEMENT
Ini bukan soal CGI. Kenapa? Karena CGI-nya kurang banget, dan bagian ini enggak usah dibahas kali, ya. Kalian bisa menilai sendirilah untuk hal yang satu ini. Hehe. Dan, ya, gue memilih untuk maklum aja.
By the way, gue khawatir tulisan habis ini akan jadi spoiler. Jadi, buat yang enggak mau terkontaminasi sama pendapat gue, setop bacanya sampe sini, ya.
Oke, jadi, gini. 'Gundala' adalah film yang story-nya padet banget dan lompat-lompat. Kayak, semua aspek dan karakter harus dijelasin dalam film ini. Gue awalnya enjoy banget sama cerita Sancaka kecil karena bagian itu menceritakan gimana karakter Sancaka dewasa terbentuk. Trauma masa kecil, ketakutan akan masa depan, diperlakukan enggak adil sama keadaan, ini yang ngebentuk seorang Sancaka.
ADVERTISEMENT
Tapi, pas film mempertontonkan kehidupan Sancaka dewasa sampai akhir, entah kenapa, gue enggak puas. Adegan Sancakanya dikit banget, bahkan penampilan Pengkor lebih dominan dibanding sang karakter utama. Gue sampe, "Ini film tentang Pengkor apa Gundala, sih?"
Gue paham kenapa begitu. Ketidakadilan dan enggak seimbangnya sebuah kondisi sosial adalah kata-kata yang tepat untuk merepresentasikan film 'Gundala'. Karena, superhero 'kan ada untuk menumpas ketidakadilan dan melindungi masyarakat. Jadi, kita sebagai penonton, disuguhin, nih, adegan-adegan jahat yang memperlihatkan Sancaka--yang trauma akan ketidakadilan dalam hidup--bersikap adil demi membela kebenaran.
Abimana sebagai Gundala, oke, he's the guy. Gue suka akting naturalnya di film ini, tapi tidak dengan adegan fighting-nya. Setelah scene Sancaka berantem di kamar Wulan, gue enggak menikmati adegan-adegan fighting-nya yang lain. Dia kelihatan kaku, dan koreografi fighting-nya juga enggak yang 'wah'.
ADVERTISEMENT
Sejujurnya, ekspektasi gue untuk adegan fighting di film ini gede, karena dipegang sama Uwais Team. Tapi, kok, koreografi fighting-nya malah kelihatan lambat? Seakan-akan, badannya Abimana gede banget sampe dia susah bergerak. Apa ini efek kamera? Gue enggak paham.
Cecep Arif Rahman di film 'Gundala'. Dok: YouTube.com/Screenplay Films
Ada adegan fighting-nya Cecep Arif Rahman, dan gue suka banget. Apalagi, koregrafinya kayak dicampur sama seni tari daerah gitu, dan dia pake topeng juga, kayak lagi ngelakuin Tari Topeng. Tapi, sama aja, adegannya jadi lambat dan kurang heboh. Beneran, deh, kurang greget. Kaki gue malah sempet kram sakit kurang gregetnya. Bawaannya pengen ngegas mulu, padahal lagi enggak nyetir mobil dan enggak di Sirkuit Sentul juga.
Terus, cerita gimana Sancaka menemukan jati diri kalau dia ternyata punya kekuatan super. Joko Anwar pengen bagian ini untuk terlihat realistis. Tapi, menurut gue, enggak ngejawab juga. Entah gue missed atau apa, tapi gue enggak tahu kenapa Sancaka bisa kebal pas kesamber petir. Gue berharap ada penjelasan ilmiah, tapi enggak ada. Mungkin, di film ke-2 kali, ya.
ADVERTISEMENT
Soal kostum, kenapa bentuknya begitu, kenapa ada dua hiasan kayak sayap di kepalanya, semua itu ada ceritanya. Ini keren, sih, karena ternyata sesimpel itu.
Oh, iya, gue kurang suka sama cara Sancaka ngomong. Abimana banget, ngomongnya enggak jelas. ABIMANA MAAFIN AKU but it's true. Ada beberapa kalimat yang gue enggak ngerti, kayak, "Ini Sancaka ngomong apa, sih? Kok, malah nyeret?" Tapi, balik lagi, ini cara ngomongnya Abimana banget.
Lalu, Tara Basro, sebagai Wulan. She's hot, and she's cool. Dia berakting layaknya Tara Basro di film-film Joko Anwar lainnya. Galaknya dapet, ambisiusnya dapet.
Lalu, Bront Palarae, sebagai Pengkor. Dia juga enggak kalah keren. Dia memanfaatkan beberapa hal yang bikin orang-orang nurut sama dia. Ya, kayak, bos mafia itu enggak perlu bergerak banyak untuk mendapatkan sesuatu. Tangan kanannya banyak banget.
ADVERTISEMENT
Pengkor ngingetin gue sama Joker di 'The Dark Knight', terutama pas dia bilang, “You see, madness, as you know, is like gravity. All it takes is a little push,” dan, “If, tomorrow, I tell the press that, like, a gang banger will get shot, or a truckload of soldiers will be blown up, nobody panics, because it's all 'part of the plan'. But when I say that one little old mayor will die, well then everyone loses their minds.”
Kalimat-kalimat itu tricky, dan Pengkor kayak gitu. Dia paham gimana caranya mempermainkan psikologis seseorang agar nurut sama dia, dengan embel-embel, apa yang dia lakukan itu baik untuk semua orang. Padahal, mah, halu.
ADVERTISEMENT
Kayak yang gue bilang tadi, cerita Pengkor dominan banget di film 'Gundala'. Kalau kata gue, sih, Pengkor ini sengaja dikasih peran yang gede banget karena dia adalah penyampai pesan akan jahatnya dunia politik di 'Gundala'. Tentunya, dari sudut pandang Joko Anwar. Kejahatan politik adalah sesuatu yang masif dalam sebuah negeri, dan sering terafiliasi atau dikaitkan sama polisi.
Banyak film-film yang bercerita tentang bad cop atau polisi korup, kayak 'L.A. Confidential', 'The Departed', 'Leon'. Joko Anwar kelihatannya mengambil sisi itu untuk 'Gundala', karena di 'Gundala', kayaknya gue enggak ngelihat ada campur tangan polisi dalam kasus-kasus yang dibuat Pengkor. Padahal, Jakarta enggak kondusif keadaannya dan statusnya--mungkin--di atas siaga satu. Malah, politisi Ridwan Bahri (Lukman Sardi) dan timnya yang banyak gerak untuk kasus Pengkor. Eh, iya, Ridwan Bahri di 'Gundala' ini kayak Jim Gordon-nya Batman, lho. Keren, dia.
ADVERTISEMENT
Peran superhero tentu vital. Sama kayak Batman, Joker di 'The Dark Knight' bilang kalau Batman has no jurisdiction. Makanya, Batman bisa bawa Lau dari Hong Kong ke Gotham, padahal Hong Kong enggak punya perjanjian ekstradisi sama negara mana pun.
Sama kayak Gundala dan superhero-superhero lainnya. Mereka enggak punya yurisdiksi, dan belum ada hukum yang mengharuskan adanya perjanjian ekstradisi seorang superhero sama sebuah wilayah. Jadi, Gundala bebas menumpas kejahatan atau mungkin, dia akan membantu polisi nantinya. Ini yang dimaksud Joko Anwar kenapa negeri ini butuh patriot selain kepolisian.
Jadi, kenapa tokoh Pengkor besar banget di film 'Gundala'? Sebagai bentuk pengertian buat penonton kalau negeri yang chaos butuh patriot. Gitu, simpelnya. Paham, ya?
Ario Bayu sebagau Ghazul di 'Gundala'. Dok: YouTube.com/Screenplay Films
Balik lagi ke karakter, gue suka banget sama Ghazul yang diperanin Ario Bayu. Dia antagonis yang cool, dan kebangkitannya sebagai salah satu penjahat nomor satu di Jagat Sinema Bumilangit sangat amat tenang, perlahan, tapi pasti. Ario Bayu dibiarkan bersinar di 'Gundala', ngalah-ngalahin Pengkor di saat-saat terakhir.
ADVERTISEMENT
Sayang, penokohannya enggak dijelasin. Itu Daniel Adnan jadi siapa, Aming jadi siapa, Cecep Arif Rahman jadi siapa, Putri Ayudya namanya siapa, enggak dijelasin. Gue tahunya juga dari credit title. Jadi, agak membingungkan.
Serunya, Joko banyak menghadirkan orang-orang yang enggak diduga akan muncul. Kayak, Djenar Maesa Ayu dan Sujiwo Tedjo. Ini kejutan yang keren.
Sama, hehe, ada satu adegan yang gue bener-bener clueless. Ini spoiler banget, cuma, kayak... Darimana Hasbi yang diperanin Dimas Danang tahu nomer telepon Sancaka? Mereka 'kan, belum pernah ketemu. Bahkan, Ridwan Bahri yang bosnya Hasbi aja, enggak tahu manggil Sancaka apa. Yang nyebut Sancaka itu Gundala cuma satu orang, dan kalian akan tahu itu di akhir film.
ADVERTISEMENT
So, gue paham banget kenapa 'Gundala' padet banget ceritanya. Joko Anwar memaksimalkan 'Gundala' agar sang putra petir terkenang dengan baik di pikiran masyarakat. Dan juga, memudahkan masyarakat untuk memahami asal mula 'Gundala' secara realistis, mengingat cerita aslinya yang versi Hasmi, Sancaka itu dikasih kalung ajaib dari Kronz, raja Kerajaan Petir, yang bisa ngubah dia jadi Gundala. Tapi, tetep, kita butuh penjelasan lebih dari sekadar, "Oh, Sancaka dapet kekuatan superhero-nya gara-gara kesamber petir."
Lalu, apakah film ini bisa membuat kita, sebagai penonton, enggak menyandingkannya dengan film-film MCU? Gue, sih, bisa, karena gue enggak terlalu nonton film-film MCU. Ya, cuma beberapa aja.
Buat fans berat MCU, mungkin susah. Mau enggak mau, suka enggak suka, sadar enggak sadar, pasti ada momen untuk membandingkan. Enggak adil, memang, tapi udah 11 tahun kita disuguhin sama film-film superhero. Gimana, dong? By the way, bener kata temen kantor gue, Rafael, 'Gundala' malah enggak kayak film MCU, tapi DCU. Gue setuju.
ADVERTISEMENT
Overall, 'Gundala' adalah 'film Joko Anwar banget', mulai dari tone warna, nuansa, gelap-gelapnya, sampai percakapan-percakapannya. Bener kata Abimana, 'Gundala' adalah Jakarta dan keadaan sosial budaya di matanya Joko Anwar. Iya, gue setuju.
Still, the movie is worth to watch. Film ini merayakan kehadiran superhero-superhero asli buatan Indonesia, di industri perfilman Indonesia juga. Next, untuk film ke-2 Jagat Sinema Bumilangit, 'Sri Asih', gue harap alur filmnya jauh lebih baik dan lebih tertata dari 'Gundala'. We'll be waiting.