Kosmogoni

Anissa Sadino
Provehito in Altum
Konten dari Pengguna
25 Januari 2020 0:46 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anissa Sadino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Cosmogony.
zoom-in-whitePerbesar
Cosmogony.
ADVERTISEMENT
Untuk satu hari, biarkan aku berpikir secara tidak logis. Kenapa manusia harus merasakan sakit hati? Mengapa manusia membuang waktu untuk hal-hal yang tak pasti?
ADVERTISEMENT
Satu tahun, dan aku membiarkan rasa tak nyaman ini mengendap di dalam hatiku. Rasa itu menggumpal, menjadi adrenalin yang sebenarnya tidak aku inginkan.
Aku benci mengeluhkan sesuatu yang terdengar bodoh dan konyol. Aku muak melihat manusia tersenyum untuk kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Wajar? Aku rasa tidak.
Manusia bebas untuk bernapas. Tak ada harga untuk udara. Manusia bebas melakukan apa pun yang mereka inginkan. Menjadi manusia yang baik, menjadi manusia yang hina, bukan hakku untuk menilai.
Manusia kerap menjadikan sesuatu menjadi haram, begitu juga sebaliknya. Manusia bebas mendapatkan cinta dari mana pun. Dari pasangan hidup manusia lain, atau dari ibu yang melahirkan mereka. Tak ada syarat khusus untuk merengkuh cinta, dan sampai detik ini, aku paham itu.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang ingin kamu perdebatkan, Sadino? Asal usul cinta? Ketidakadilan dalam hidup? Kamu tidak suka pada hal-hal yang menyakitkan? Klausa apa yang ingin kamu sampaikan, Sadino?
Tuhan, hatiku sakit. Dalam satu hari, semesta seperti tak mau berpihak padaku. Kedua mataku seakan memaksa melihat apa yang tak ingin aku lihat. Kepala menoleh seakan meminta untuk mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Ini masalah kecil, sungguh. Hanya saja, masalah kecil ini beracun, dan racunnya mengalir dalam darahku. Setiap aku merasa sakit, jemariku membiru. Setiap aku berpikir, otakku terasa seperti dicabik.
Aku ingin berlari bersama orang-orang yang aku pikir, satu iman denganku. Mereka yang mampu bicara secara batin denganku, mereka yang mampu membaca raut wajahku dan menyelamatkanku dari jerat neraka Bumi.
ADVERTISEMENT
Aku ingin hidup di sebuah kota kecil di tengah pegunungan. Setiap pagi, kegiatanku hanya memberi makan anjingku dan membiarkannya berlari di halaman belakang rumahku yang luas. Setelahnya, aku membuat sarapan berupa salad buah sambil minum susu kedelai.
Lalu, menunggu jam makan siang sambil duduk di kursi malas, membaca buku asal-usul Tuhan karya Karen Armstrong, menikmati mac and cheese untuk makan siang, melukis hingga petang, dan menghayati bisingnya suara jangkrik saat malam tiba.
Sebelum tidur, aku berdoa dan bersyukur atas apa yang aku alami hari itu. Dengan gaun tidur yang sudah agak lusuh, aku menyelimuti diriku dengan selimut wol yang merupakan hadiah ulang tahunku dari tetangga jauhku, dan tidur di atas kasur empuk dengan atap terbuat dari kaca. Entah malam itu cerah atau hujan, aku tak akan mengeluh melainkan menikmatinya.
ADVERTISEMENT
Mungkin? Atau tak mungkin? Tak ada yang bisa melarangku untuk berimajinasi seliar mungkin. Tak ada yang boleh membenci apa yang ada di dalam pikiranku. Cukup aku dan tubuhku yang layak untul melakukannya.
Nyatanya, aku di sini, di pinggir kota Jakarta yang tak pernah tidur, ikut terjaga hingga sang fajar menampakkan dirinya. Di saat para penjual sayur tengah bersiap untuk menjual bahan-bahan makanan yang akan dibeli oleh ibuku, barulah aku terlelap.
Aku ingin terus bermimpi. Meninggalkan hal-hal yang meracuni tubuhku selama ini. Melupakan dan membenci beberapa manusia yang aku anggap hina, dan mencintai mereka yang satu frekuensi denganku.
Apakah itu mustahil? Atau hanya aku yang beracun di sini? Ini kosmogoniku, bukan milikmu.
ADVERTISEMENT