Posesif

Anissa Sadino
Provehito in Altum
Konten dari Pengguna
23 Mei 2020 3:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Anissa Sadino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Posesif
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Aku menyerah. Entah apa yang harus aku lakukan agar dia berhenti."
ADVERTISEMENT
Aku mendengus keras dan berdecak. Jemariku terus memutar batang rokok yang aku bakar semenit yang lalu.
London berada di sofa di depanku. Dia tiduran menghadap televisi dengan menjadikan lengan kanannya sebagai bantalan kepala. Namun, kepalanya menoleh ke arahku.
"Tak akan ada yang bisa menghentikan dia walau itu Dante," ucapku gusar. "Dia tak sungkan untuk melewati mayat Dante dan itu gila. Dante pun sudah enggan berurusan dengannya. Menghajar kepalanya dengan ukulele pun tak membuatnya berhenti."
Aku bisa mendengar London mendengus. "Badai tak akan pernah berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia mau, Sa."
Aku menatap kosong ke meja kaca di antara aku dan London. Aku berusaha memikirkan cara agar Badai tak lagi muncul dalam hidupku, dan yang aku temukan hanyalah jalan buntu.
ADVERTISEMENT
"Aku pun tak tahu apa yang dia inginkan, London," kataku. "Dia datang dan pergi begitu saja. Datang saat apa yang aku lakukan tak sesuai dengan ekspektasinya, pergi saat dia merasa aku sudah tunduk padanya."
"Dia selalu bilang kalau dia sakit dan butuh bantuanku. Hanya aku yang paham dan mau mengerti keadaannya. Urusanku bukan cuma dia saja."
London mengerutkan dahinya. Dia memandangiku seperti anak anjing yang kebingungan.
"Sejujurnya, apa yang sebenarnya kau lakukan padanya sampai dia bertingkah seperti itu?" tanyanya.
Aku menaikkan bahu. "Entahlah. Aku merasa tak melakukan apa-apa kecuali mendengarkan keluh-kesahnya."
"Kau mengamini semua keinginannya, Sa."
"Di satu sisi, dia benar untuk beberapa hal, London."
"Tapi kau memberi makan egonya. Kau memberinya ruang untuk disinggahi."
ADVERTISEMENT
"Apakah aku salah karena melakukan hal itu?"
"Tidak juga," London mendengus. "Kau selalu ingin punya hubungan baik dengan orang-orang, dan itu bagus."
Lengan London yang dijadikan bantalan kepalanya bergerak. Tangannya kini memijat-mijat dahinya. "Hanya saja, tidak semua orang paham pola pikirmu."
Aku menatap London. "Apakah aku berlebihan?"
London meraih rokok di atas meja dengan tangan kirinya dan membakarnya. "Aku benci mengatakan ini. Tapi, seperti yang aku bilang tadi, kamu tidak sepenuhnya salah."
"Kau berhadapan dengan Badai, lelaki yang merasa tak ada perempuan lain selain kamu di dunia ini. Kau berhadapan dengan lelaki yang baru pertama kali jatuh cinta."
"Oh, ya?"
"Tentu saja," London mengembuskan asap rokoknya. "Dia menanamkan sebuah paham yang orang-orang tak bisa tembus dan sentuh. Tanpa paksaan, dia bersedia menyayangimu sampai mati. Dia ingin membuktikan padamu kalau dia setia, dan dia mengharapkan hal yang sama darimu."
ADVERTISEMENT
"Dia berusaha keras membawamu kembali ke singgasanamu di hatinya. Dia berusaha membuatmu sadar kalau dia yang terbaik untukmu. Kau memberikan dirimu, meski tak seutuhnya. Wajar."
"Wajar?" dahiku mengkerut. "Kau sebut itu wajar?"
"Untuk orang seperti dia, ya," jawab London. "Ingat, kau memberi makan egonya. Jika kau ingin hubungan kalian selesai, bersikap tegaslah padanya."
"Kurang tegas apalagi aku, London? Hampir lima tahun dia mengganggu kehidupanku. Kau tahu sendiri kami sering bertengkar. Aku membentaknya, aku mengusirnya, bahkan aku pernah membuat bibirnya berdarah. Aku tak mau main tangan lagi. Menurutku, aku sudah keterlaluan kala itu."
London mendesah. "Kau mematahkan tulangnya berulang kali pun, dia tak akan berhenti."
London kembali menatapku. "Kau berhadapan dengan lelaki posesif, Sa. Lelaki paling posesif yang pernah kau temui. Lelaki yang tak sungkan menurunkan harga dirinya untuk mendapatkan kembali hatimu."
ADVERTISEMENT
Aku bergeming. Aku tak akan mendapatkan solusi apa pun dari percakapan ini. Percuma. Tak hanya London, Dante pun berhenti memberiku solusi. Dia hanya mengingatkanku untuk mengontrol emosiku saat aku sedang berhadapan dengan Badai.
London mengisap rokoknya dan mengembuskan asapnya dengan perlahan. Dia terlihat sedang berpikir.
"Kalau aku adalah Badai," London terdiam sejenak. "Mungkin aku melakukan hal yang sama."
Aku kembali mengernyit. "Maksudmu?"
London menatapku tajam. Dia terlihat serius.
"Kau memberikan sesuatu yang ingin sekali aku dapatkan dari perempuan yang aku cintai. Pengabdianmu," katanya. "Mengabdi pada orang yang kau cintai adalah prinsip utamamu. Kau selalu berpikir bahwa kau tidak pernah memilih seseorang untuk kau cintai, tapi kau ditakdirkan untuk orang itu. Kau membenahi mereka, kau melakukan apa pun untuk mereka, dan kau melakukannya karena kau merasa, itu kewajibanmu."
ADVERTISEMENT
"Loyalitas yang kau berikan tak bisa dibeli dengan apa pun. Itu kelebihanmu. Jujur saja, aku iri pada Badai karena aku tidak bisa membeli pengabdianmu. Sekali lagi, kenapa aku menyebut apa yang Badai lakukan padamu itu wajar?"
London berdeham. "Karena Badai takut kau memberikan pengabdianmu yang tak ternilai harganya itu pada orang lain. Karena dia tahu dia tidak akan bisa menemukan pengabdian yang kau berikan padanya dari orang lain. Dia mati-matian mempertahakanmu agar kau tidak jatuh ke tangan yang salah, tanpa berpikir bahwa dia sebenarnya adalah orang yang salah."
"Dia tak mau melihatmu mengabdi pada lelaki lain. Aku pikir, dia lebih baik menikam jantungnya sendiri karena menyesal membiarkanmu diambil orang."