Ilustrasi Rancangan KUHP.

Menyoal Asas Legalitas dalam Rancangan KUHP

Anjas Ahmad Munjazi
Studying Communication Science at State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta
25 September 2019 7:26 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Rancangan KUHP. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Rancangan KUHP. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang semula akan disahkan pada tanggal 24 september 2019 ternyata ditunda hingga waktu yang belum ditentukan. Penundaan tersebut, menurut Jokowi dilakukan untuk bisa mendapatkan masukan dan substansi yang lebih baik, sesuai keinginan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam tulisan ini, penulis tidak akan menjelaskan pasal-pasal yang banyak menuai kontroversi, karena memang selain sudah tersebar banyak di lini massa juga belum rampung begitu saja.
Sebelum penulis memutuskan untuk mengkritisi atau membenci RKUHP, penulis mengajak pembaca untuk memberikan apresiasi terlebih dahulu kepada perancang KUHP yang ingin mengubah KUHP yang sudah berlangsung lebih dari 101 tahun.
Berbicara mengenai RKUHP, maka tidak akan lepas dari asas legalitas. Karena asas legalitas merupakan jantung dari hukum pidana. Mengapa demikan? Hal pertama yang harus kita pahami mengenai RKUHP adalah definisi dari asas legalitas. Asas legalitas adalah jaminan untuk melindungi individu dari batasan mana aktivitas yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, atau bisa disebut nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Artinya, segala hal boleh dilakukan selama tidak dilarang oleh hukum.
ADVERTISEMENT
Dalam RKUHP, asas legalitas telah diatur secara berbeda dibandingkan dengan versi aslinya, yakni Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch-Indie yang bersumber dari hukum kolonial Belanda. Asas legalitas pada dasarnya mewujudkan: (a) perbuatan yang dilarang harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, (b) peraturan tersebut harus ada sebelum perbuatan yag dilarang itu dilakukan. Tetapi, adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali nampaknya telah mengalami pergeseran, seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Rancangan KUHP berikut ini:
Pasal 1
(1) Tiada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
(2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang digunakan analogi.
ADVERTISEMENT
Pasal 2
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
Sedangkan dalam KUHP yang lama, pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali bedasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
Dari sini kita bisa lihat bahwa RKUHP dan KUHP yang berlaku memiliki dua perbedaan yang sangat kontras. KUHP lama memberikan batasan legalitas dengan jelas, artinya segala sesuatu boleh dilakukan selama tidak ada Undang-Undang yang mengatur. Sedangkan dalam RKUHP tidak memberikan batasan legalitas dengan jelas, bisa saja seseorang dapat dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat, walaupun perbuatan tersebut tidak dinyatakan dilarang dalam perundang-undangan.
ADVERTISEMENT
Padahal, seharusnya asas legalitas merupakan suatu safeguard bagi perlindungan, penghormatan, dan penegakan hak asasi manusia yang menghendaki adanya batasan soal penghukuman terhadap seseorang.
Selain itu, hukum yang hidup dalam masyarakat (The Living Law) sangat luas pengertiannya. Tercakup di situ antara lain hukum adat, hukum kebiasaan, hukum lokal, bahkan bisa jadi hukum lain yang dianggap hidup dalam masyarakat, seperti pemberlakuan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam.
Melalui penjelasan di atas, setidaknya terdapat dua masalah penting yang perlu dibahas, yaitu: masalah asas legalitas dan ‘hukum yang hidup dalam masyarakat’. Dari pokok masalah tersebut, ada beberapa permasalahan yang muncul, antara lain:
ADVERTISEMENT

Penerapan Asas Legalitas dalam Hukum Pidana di Indonesia

Ilustrasi mahasiswa Hukum. Foto: Pixabay
Perlu disadari bahwa Wet Boek van Strafrecht (WvS) merupakan peninggalan kolonial Belanda, sehingga dalam pelaksanaannya memerlukan beberapa penyesuaian dalam konteks Indonesia. Di antaranya terdapat pasal-pasal yang tidak diberlakukan dan diamandemen dengan menambah pasal-pasal yang dianggap masih kurang.
Dalam perkembangannya, kebijakan mengamandemen pasal-pasal KUHP ini ditinggalkan dengan membentuk undang-undang baru, sehingga muncul apa yang disebut dengan tindak pidana di luar KUHP. Tetapi ternyata pengaturan tindak pidana di luar KUHP ini membentuk sistem tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum hukum pidana sebagaimana diatur dalam buku I KUHP. Baik itu mengenai asas hukumnya maupun ketentuan pemidanaannya.
Sebagai peraturan peninggalan Belanda, menurut Mudzakkir, asas legalitas kemudian menjadi problem dalam penerapannya. Asas legalitas dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang heterogen. KUHP maupun ketentuan pidana di luarnya masih menyisakan bidang perbuatan yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dilarang, sementara undang-undang tertulis tidak mengatur larangan itu.
ADVERTISEMENT
Tetapi, dalam sejarah hukum pidana Indonesia, keberadaan pengadilan adat memungkinkan diterapkannya pidana adat dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), walaupun tindak pidana adat itu tidak diatur dalam KUHP. Oleh karena itu, asas legalitas dalam praktik di Indonesia tidak diterapkan secara murni seperti yang dikehendaki Pasal 1 KUHP.

Living Law dalam RKUHP

Seperti diketahui usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia sudah dimulai sejak tahun 60-an. Saat itu disadari KUHP yang berlaku sekarang merupakan warisan kolonial Belanda. Semangat untuk menggantikan KUHP dengan hukum pidana yang lebih sesuai dengan nilai-nilai ke-Indonesia-an begitu menggebu. Seperti yang terungkap dalam laporan Simposium Hukum Pidana Nasional tahun 1980 yang diadakan di Semarang sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum simposium itu, dalam Seminar Hukum Nasional I tahun 1963, keinginan memberlakukan hukum yang hidup dalam masyarakat itu sudah muncul. Dalam Resolusi butir (iv) disebutkan bahwa: Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundangundangan lain.
Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa.
Sementara dalam Resolusi butir (vii) disebutkan unsur-unsur hukum agama dan hukum adat dimasukkan dalam KUHP. Begitu pula dalam Seminar Hukum Nasional IV tahun 1979, dalam laporan mengenai Sistem Hukum Nasional, disebutkan antara lain: (i) Sistem hukum nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum rakyat Indonesia; (ii) … hukum nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum nasional. Dengan demikian, dapat dipahami munculnya pengaturan asas legalitas dalam RKUHP yang dikecualikan dengan memberlakukan “hukum yang hidup dalam masyarakat” dilatarbelakangi oleh semangat me-Indonesia-kan hukum pidana. Pada saat itu semangat itu begitu menggebu, namun tidak diikuti usaha-usaha yang lebih konkret oleh yuris-yuris Indonesia. Pengaturan asas legalitas--dan penerapan sanksi adat--dalam RKUHP sekarang ini adalah sisa-sisa semangat itu.
Selanjutnya, dalam konteks Indonesia sekarang, apakah semangat itu masih relevan? Dalam artian, apakah politik kriminal itu masih bisa dipakai untuk Indonesia sekarang dan masa depan?
Saat ini, disadari Indonesia dalam transisi menuju demokrasi. Oleh karena itu, mestinya RKUHP dikontekskan pada masa sekarang, sehingga perbuatan-perbuatan yang dilarang dan tidak dilarang mesti disesuaikan dengan konteks ini. Pengaturan asas legalitas yang dikecualikan, atau tepatnya disimpangi dalam RKUHP, juga dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam penegakan hukum pidana.
ADVERTISEMENT

Penerapan The Living Law dalam Masyarakat Bukan Mengakomodasi Pluralisme

Ilustrasi palu hakim dan kitab undang-undang Foto: Pixabay
Pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat tidak lain merupakan suatu bentuk untuk membedakan hukum negara dan hukum bukan negara. Hukum yang hidup dalam masyarakat ini berlaku karena diperintahkan dan diperkenankan oleh negara melalui rumusan RKUHP berdasarkan pertimbangan dalam kenyataannya memang masih ada sebagian kecil masyarakat yang menerapkan hukum tersebut. Pertimbangan diakomodasinya hukum yang hidup dalam masyarakat ini tidak lain adalah pertimbangan pragmatis untuk mengakomodasi pluralitas budaya Indonesia.
Ruang lingkup berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat seperti yang diatur dalam RKUHP ini masih bergantung pada negara, yaitu melalui pembatasan-pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 1 RKUHP. Bekerjanya hukum ini bukan bekerja dengan sendirinya, melainkan berdasarkan kontrol negara, yaitu: penerapannya masih berdasarkan pengadilan pidana.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, berlakunya hukum negara masih sangat dominan dibandingkan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan kata lain, hukum yang hidup dalam masyarakat ini masih diposisikan sebagai hukum yang nomor dua setelah hukum negara. Karakter pengakuan ini, bisa dikatakan sebagai pluralisme hukum yang lemah. Dalam artian belum mengakomodasi pluralisme hukum secara utuh.
Hal lain yang perlu dicermati, dengan dominannya hukum negara terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat ini patut diduga pengaturan dalam RKUHP adalah sebagai usaha untuk menjinakkan keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pada akhirnya hukum yang hidup dalam masyarakat ini akan menjadi hukum negara.
Hukum yang hidup dalam masyarakat tidaklah tertulis dan tidak mempunyai rumusan yang jelas mengenai perbuatan yang dilarang itu. Lagi pula, pelanggaran terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat tidak mutlak rumusannya ada terlebih dahulu dari perbuatannya. Hukum yang hidup dalam masyarakat sangat berbeda dengan konsep asas legalitas yang menghendaki aturan yang tertutup. Sementara hukum yang hidup dalam masyarakat mempunyai sifat terbuka, sehingga perbuatan jahat yang dimaksudkan adalah setiap perbuatan yang dapat mengakibatkan keseimbangan masyarakat terganggu.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, apa yang disebutkan dalam penjelasan RKUHP soal pencantuman hukum yang hidup dalam masyarakat tidak akan mengganggu asas legalitas adalah anggapan yang keliru. Praktik pengadilan yang menerapkan hukum adat sebagai dasar pemidanaan kebanyakan bukanlah kejahatan baru, melainkan kejahatan yang memang sudah ada dalam KUHP.
Akhir kata, pentingnya tindak pidana yang dirumuskan melalui undang-undang tidak lain sebagai wujud dari kewajiban pembentuk undang-undang untuk merumuskan ketentuan pidana secara terinci atau secermat mungkin. Perumusan tindak pidana yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan karena warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman berlaku.
Referensi:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten