news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Spionase Siber Bidang Militer antara Amerika Serikat dan Tiongkok

Annisa Anggraeni
Mahasiswi Universitas Jember jurusan Hubungan Internasional 2020
Konten dari Pengguna
26 Januari 2022 20:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Anggraeni tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber gambar : https://pixabay.com/images/id-6395452/
zoom-in-whitePerbesar
sumber gambar : https://pixabay.com/images/id-6395452/
ADVERTISEMENT
Di masa kini, kata ‘perang’ tidak lagi diartikan secara harfiah sebagai sebuah konflik kekerasan antar dua pihak atau lebih yang melibatkan persenjataan militer dengan tujuan dominasi suatu wilayah maupun ideologi. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang saat ini dijadikan sebagai salah satu standar acuan kemajuan suatu negara, dijadikan sebagai media perang yang baru bagi beberapa aktor hubungan internasional—dalam kasus ini adalah Amerika Serikat dan Tiongkok—melalui cyberspace atau yang sering kita sebut sebagai internet.
ADVERTISEMENT
Aktivitas ini dinamai dengan perang siber atau cyberwar. Spionase siber sering kali dilakukan demi mencapai kepentingan nasional suatu negara, entah itu di bidang militer, politik, maupun ekonomi. Salah satunya adalah praktik spionase siber yang dilakukan Tiongkok terhadap Amerika Serikat.
Pada persaingan di bidang industri militer, Tiongkok kedapatan memata-matai Amerika Serikat pada tahun 2007 hingga 2013. Tiongkok dicatat mampu mengekspor persenjataan militer ke negara lain hingga ekspor di bidang militer meningkat drastis di angka 88% dalam rentang waktu 2011-2015.
Peningkatan yang begitu signifikan ini dianggap sebagai ancaman tersendiri bagi AS yang dirasa memiliki pesaing baru selain Rusia. Seperti yang diungkapkan oleh Snowden yang merupakan mantan kontraktor dari NSA (National Security Agency) pada majalah der spiegel, Snowden mengatakan bahwa “Desain Radar dan jenis modul F-35 Joint Strike Fighter telah dicuri oleh peretas yang berasal dari Tiongkok” (Muhamad Helmi Kaffah Nur Iman Andrea Abdul Rahman Azzqy, 2017). Pernyataan ini merupakan sebuah peringatan bagi keamanan nasional di bidang siber AS.
Dengan mencuri cetak biru dan data rahasia F-35,Tiongkok disebut telah mencuri cetak biru dan data rahasia pesawat jet F-35 untuk riset dan pengembangan. sumber : https://pixabay.com/images/id-62884/ (U.S. Navy photo courtesy Lockheed Martin)
Salah satu penyebab Tiongkok melakukan spionase terhadap AS adalah untuk menciptakan teknologi militer yang bahkan lebih canggih untuk membuat tidak hanya pertahanan militer semakin kuat, namun juga untuk memperkuat pertahanan menghadapi hegemoni AS dalam pasar senjata global, serta meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman baru yang datang dari cyberspace.
ADVERTISEMENT
Bahkan sebelumnya pada tahun 2003 di mana AS dan Tiongkok belum melakukan kerja sama siber, kedua negara pernah terlibat konflik siber dalam Titan Rain and Shady RAT Operation. Operasi tersebut merupakan operasi serangan spionase yang dilakukan oleh Tiongkok terhadap instansi milik pemerintah maupun swasta AS di mana target dalam serangan tersebut adalah Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika Serikat dan Departemen Pertahanan Amerika Serikat seperti NASA dan NSA (Jeklin, 2016).
Kelompok peretas yang diduga disponsori Pemerintahan Tiongkok tidak begitu saja berhasil membobol sistem keamanan siber di beberapa instansi Pertahanan dan Keamanan AS. Namun juga para peretas tersebut berhasil mencuri data pribadi karyawan federal AS dan warga-warga AS. Dari data pribadi yang didapat, Tiongkok memiliki data base yang amat besar untuk dapat membobol masuk ke berbagai macam sistem siber yang terkait dengan pertahanan militer AS.
ADVERTISEMENT
Tentu hal ini menjadi sebuah permasalahan besar bagi pemerintahan AS untuk lebih meningkatkan lagi kapabilitas keamanan cyberspacenya. Karena apabila terjadi suatu konflik yang lebih besar lagi ke depannya, kemampuan siber Tiongkok akan menjadi senjata utama yang akan melumpuhkan kekuatan militer AS (Lieberthal and Singer, 2017).
Amerika Serikat merupakan negara adidaya dengan perkembangan teknologi sibernya yang pesat. AS begitu bergantung pada sistem software pada komputer dalam menyimpan data-data sensitif dan rahasia pemerintahan. Hal ini menjadikan AS sebagai sasaran empuk bagi Tiongkok yang memiliki cyber-army untuk meretas tidak hanya dokumen pemerintahan, tetapi juga perusahaan-perusahaan berpengaruh AS (Triwahyuni and Yani, 2018).
Cyberwar sekilas mungkin terlihat tidak semengerikan perang konvensional yang memakan banyak sekali korban jiwa. Namun kemudahan teknologi yang memungkinkan semua orang menggali berbagai sumber informasi tanpa takut akan konsekuensi yang akan diterima faktanya terlihat jauh lebih berbahaya.
ADVERTISEMENT
Referensi:
Jeklin, Andrew. 済無No Title No Title No Title. no. July, 2016, pp. 1–23.
Lieberthal, Kenneth, and Peter W. Singer. “Cybersecurity and U.S.-China Relations.” Brookings Institue, 2012, pp. 1–41, https://www.brookings.edu/research/cybersecurity-and-u-s-china-relations/.
Muhamad Helmi Kaffah Nur Iman Andrea Abdul Rahman Azzqy. Aktifitas Spionase Republik Rakyat Tiongkok Ke Amerika Serikat ( Cyber Spionase. 2017.
Triwahyuni, Dewi, and Yanyan Mochamad Yani. “Dampak Pembangunan Cyberpower Tiongkok Terhadap Kepentingan Amerika Serikat.” Jurnal Ilmu Politik Dan Komunikasi, vol. 8, no. 1, 2018, doi:10.34010/jipsi.v8i1.883.
Sumber gambar :
https://pixabay.com/images/id-6395452/
https://pixabay.com/images/id-62884/ (U.S. Navy photo courtesy Lockheed Martin)