Mei yang Menyebalkan

Nur Vita
berbagi cerita inspiratif
Konten dari Pengguna
24 Mei 2017 23:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Vita tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ingatan saya tentang Mei 1998 tidak begitu vivid, saya hanya ingat bahwa sebentar lagi saya naik kelas nol besar. Bulan-bulan itu pun hidup saya cuma diwarnai rutinitas ala anak TK, bangun pagi dan disuapi ibu sarapan, pergi ke TK berenam naik becak, berebut naik ayunan di TK, pulang, dan tidur siang.
ADVERTISEMENT
Namun ada yang sedikit berbeda, di toko-toko dan dinding-dinding bulan itu banyak tertulis tulisan cat “PRO REFORMASI” atau “MILIK PRIBUMI”.
Saya yang empat tahun itu, dengan kemampuan membaca ala kadarnya dan ragam kosakata yang minim kemudian bertanya pada ibu saya apa artinya frasa-frasa tersebut. Ibu hanya membalas singkat.
“Biar tidak dirampok,”
Jawaban ibu bukannya membuat saya mengerti, justru menimbulkan pertanyaan baru di benak saya,
“Kalo gitu ayo rumah kita ditulis juga, biar nggak dirampok,”
“Nggak usah, kan kita nggak ada apa-apa,” final ibu.
Beliau tidak memberi ruang pada saya untuk bertanya lagi, alhasil saya harus puas malam itu tidur dengan rasa penasaran.
Tidak banyak yang saya ingat. Namun saya ingat pasti, saya sebal dengan Mei 1998. Penyebabnya, jadwal jalan-jalan tiap akhir pekan bersama keluarga jadi tidak tentu, alasannya juga aneh pikir saya waktu itu.
ADVERTISEMENT
“Mobilnya dipinjam mahasiswa ayah, besok aja ya jalan-jalannya?”
Ayah kan atasannya mahasiswa? Kok mahasiswa malah seenaknya gitu sih? Lugu saya kala itu. Belakangan saya tahu, mobil itu dipinjam sebagai transportasi mahasiswa menuju lokasi unjuk rasa.
Sebal yang lain adalah saya jadi tidak bisa membeli jajanan kesukaan saya. Jaman saya kecil, belum banyak minimarket waralaba seperti saat ini. Kalo mau jajan ya pergi ke toko-toko kelontong milik tetangga. Di Mei itu sesuatu terjadi pada toko milik seorang tante yang menjual jajanan kesukaan saya. Parahnya lagi jajan itu cuma ada di situ! (Saya nggak ingat sih jajannya apa, mungkin karena terlalu menyakitkan alam bawah sadar saya memutuskan untuk melupakannya hehe).
“Tokonya tante kok tutup terus sih bu?”
ADVERTISEMENT
“Tante lagi bikin jajan yang kamu suka, jadi tutup dulu.”
Saya cuma mengiyakan jawaban ibu waktu itu dengan patuh, meski ya, dalam hati rasanya pengen nangis karena nggak bisa makan jajan kesukaan. Sekian tahun kemudian saya baru tahu mengapa toko tante itu tutup terus. Ternyata tante seorang keturunan Tionghoa. Tante takut tokonya dijarah kalo masih berjualan, ia terbang ke Singapura untuk sementara mengungsi.
Akhirnya kesebelan saya sama Mei 1998 berangsur menghilang, terutama setelah melihat foto pak B.J. Habibie dipasang sendirian di sebelah simbol garuda Indonesia.