'Mengacar' Formulasi Presidential Threshold

Annisa Salsabila
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bengkulu sejak 2018.
Konten dari Pengguna
17 Juni 2020 11:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Presidential Threshold (Pres T) selalu memunculkan corak baru menjelang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kini, Pres T kembali bergema sejak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan membahas revisi UU Pemilu yang salah satunya akan mengulas Presidential Threshold sebagai amunisi dalam Pemilu 2024. Suasana semakin runcing tatkala beberapa parpol tetap ingin mempertahankan Pres T 20-25 persen. Di sisi lain, beberapa parpol kekeh ingin angka Pres T luluh menuju level 10 persen atau bahkan 0 persen. Lantas, sebenarnya seberapa alot pembahasan formulasi ideal angka Pres T guna menyongsong Pemilu 2024?
ADVERTISEMENT
Jika kita hendak memasuki Dufan, tentu harus memiliki tiket dulu, bukan? Demikian halnya dengan parpol atau gabungan parpol yang harus mengantongi tiket terlebih dahulu guna mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden, yakni memenuhi angka Pres T. Presidential Threshold sendiri merupakan ambang batas minimal syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan jumlah kursi suara yang ada di parlemen atau jumlah suara sah secara nasional yang di dapat dari partai politik atau gabungan partai politik melalui Pemilu. Saat ini, Pres T berada pada level 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah secara nasional (Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017).
Berbeda halnya dengan Pemilu 2014 yang memisahkan penyelanggaraan Pileg dan Pilpres, maka pada Pemilu Serentak 2019 keterpenuhan Presidential Threshold diambil berdasarkan perolehan suara pemilu periode sebelumnya (2014). Alhasil, tidak ada satu pun parpol yang bisa sendirian memenuhi syarat tersebut, sehingga harus berafiliasi. Pun partai pemenang Pemilu 2014, PDI Perjuangan hanya nyaris memenuhi syarat tersebut.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, konstitusionalitas Presidential Threshold ini pernah dibawa ke ranah Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008, 2013, dan 2017. Semua putusan tersebut konsisten menyebut bahwa Presidential Threshold adalah sah dan konstitusional. Namun untuk pengaturan lebih lanjut mengenai berapa angka ideal yang harus diterapkan, Mahkamah menyebut bahwa Presidential Threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy, sehingga kewenangannya diberikan secara bebas kepada pembuat undang-undang yang dalam hal ini adalah DPR.
Namun, pertarungan semakin sengit tatkala Rocky Gerung bersama Zainal Arifin bersepakat untuk kembali uji materil UU Pemilu guna menyoroti Pres T. Menurutnya, putusan yang dihasilkan MK sebelumnya bukan merupakan keputusan hukum, melainkan keputusan politik yang memporak-porandakan citra demokrasi.
Dinamika pengaturan angka Pres T dimulai oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang meletakkan Pres T pada level 15% untuk suara DPR dan 20% untuk suara sah Nasional. Kemudian pada tahun 2009, 2014, hingga 2019 Undang-Undang yang mengaturnya senada merumuskan angka Pres T 20% untuk suara DPR dan 25% untuk suara sah secara Nasional.
ADVERTISEMENT
Kini di tengah pandemi, kita kembali dihadapkan pada lembaran usang dialektika penentuan formulasi Pres T. Sebagian pihak terus bersilang pendapat guna merumuskannya. Beberapa menyebut bahwa angka 20% adalah ambang batas yang rasional dan teruji. Dipilihnya angka tersebut bukan tanpa alasan. Angka tersebut didesain guna memperkokoh sistem presidensial melalui penyederhanaan partai politik dan menghadirkan basis koalisi yang kuat bagi Presiden dan Wakil Presiden dalam menjalankan program-programnya dikemudian hari. Terlebih, hal ini guna menghindari kesemerawutan Pilpres apabila terdapat 4 atau lebih calon Presiden dan Wakil Presiden.
Pres T nampaknya masih krusial untuk dipertahankan mengingat kebijakan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan sistem kepartaian. Partai politik pasca Pemilu akan melengkung menjadi dua poros, yaitu poros pemerintah sebagai pengusung dan poros oposisi sebagai pengawal demokrasi. Sehingga dalam parlemen hanya akan ada dua kekuasaan dan partai-partai politik akan berafiliasi dengan partai lain. Dengan model demikian, kinerja Presiden sebagai eksekutif dalam hal penyelenggaraan pemerintahan akan semakin efektif.
ADVERTISEMENT
Pembahasan formulasi Pres T memang bukan merupakan babak baru. Ini adalah pembahasan alot yang kerap muncul menjelang Pilpres. PKB, Gerindra, PKS, dan beberapa parpol lainnya kompak menginginkan adanya penurunan Pres T setidaknya menuju level 10%. Dengan begitu, diharapkan parpol dapat mengajukan calonnya sendiri, mengingat setiap parpol mengantongi hak konstitusional yang dijamin oleh konstitusi untuk mengajukan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden (UUD 1945 Pasal 6A ayat [2]). Lagipula tentu bukan perkara mudah bagi parpol untuk berafiliasi dengan parpol lainnya, sebab belum tentu parpol tersebut memiliki visi, misi dan pandangan yang sama satu sama lain.
Usulan yang terkesan liberal disuarakan oleh Fadli Zon, yang menginginkan Pres T menjadi 0%. Pres T dianggapnya sebagai lelucon politik yang sudah tak relevan dalam kontestasi Pilpres. Memang apabila menggunakan logika sederhana, jika pemilu diselenggarakan secara serentak antara Pileg dan Pilpres, maka mutatis mutandis Pres T menjadi 0%, dan bukan membajak daulat rakyat dengan mengambil hasil Pemilu sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Jika diamati pun, memang situasi antara Pemilu 2019 dan Pemilu 2024 tentu akan berbeda, baik dari segi jumlah partai, atau kemunculan partai-partai baru. Amerika Serikat dengan sistem Presidensial paling mapan sekalipun, tidak menerapkan ambang batas. Negara-negara di Amerika Latin dengan sistem presidensial multipartai dan juga mengadopsi sistem dua putaran (majority run-off) layaknya Indonesia juga tidak memberlakukan ambang batas pencalonan Presiden.
Dihilangkannya Pres T bukan merupakan jaminan akan membludaknya pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Di Mexico pada tahun 2012, Pilpres hanya diikuti oleh 4 pasangan calon. Di Kolumbia pada tahun 2014 juga hanya diikuti oleh 5 pasangan calon. Sehingga, ada atau tidaknya ambang batas pencalonan Presiden tidak melulu menjadi penentu pasti banyaknya jumlah kandidat yang mengemuka.
ADVERTISEMENT
Maka, pada akhirnya kita tidak dapat melawan pesan konstitusi agar setiap parpol dapat mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presidennya. Pres T 20% memang terlalu membatasi ruang gerak parpol untuk menggunakan hak konstitusionalnya. Untuk itu, besarannya harus dihitung berdasarkan tingkat proporsionalitas demi mencapai titik equilibrium setidaknya turun pada level 10%. Sekali lagi, pembahasan demikian tentu bukan merupakan pembahasan politik jangka pendek, jangan sampai keputusan yang diambil justru mereduksi makna sistem presidensial yang masih terus diikhtiarkan.