Pandemi vs Marketing Politik

Annisa Salsabila
Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Bengkulu sejak 2018.
Konten dari Pengguna
29 Mei 2020 7:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Annisa Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dimasa pandemi COVID-19 ini, seluruh Kepala Daerah di Indonesia menyeragamkan iramanya dengan Pemerintah Pusat untuk gencar memberikan berbagai bantuan sosial. Bantuan sosial ini didistribusikan oleh Kepala Daerah yang juga sekaligus merupakan Ketua Gugus Tugas Penanganan COVID-19 di daerahnya. Namun, bantuan sosial ini kerap disertai dengan nama, logo, foto dirinya, bahkan disertai dengan selipan pesan-pesan tertentu. Aksi ini terang melukiskan potret kerakusan penguasa demi surat suara yang dijadikan berhala baginya.
ADVERTISEMENT
Ditengah kepanikan global saat ini, melakukan realokasi anggaran guna penanggulangan COVID-19 adalah hal yang mutlak dilakukan oleh pemerintah daerah. Bahkan Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani menegaskan apabila hal ini tidak diindahkan oleh pemerintah daerah, maka Menteri Keuangan berkolaborasi dengan Menteri Dalam Negeri akan menegur pemda dengan cara menahan pengiriman Dana Alokasi Umum (DAU).
Anggaran yang disiapkan tersebut diprioritaskan untuk tiga hal, yakni penanganan kesehatan, penanganan dampak ekonomi dan penyediaan jaring pengaman sosial. Aksi pendistribusian bantuan sosial ini tentu kerap dikaitkan dengan pelaksanaan Pemilukada 2020 yang ditunda melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020. Bantuan yang disalurkan dari pemerintah daerah justru ditujukan untuk menata popularitas dan citra baik melalui penempelan sejumlah stiker hingga menyelipkan pesan-pesan tertentu oleh bakal calon kepala daerah yang mengarah pada kepentingan politiknya. Tak tanggung-tanggung, program bantuan pemerintah pusatpun ditempeli stiker dengan mengatasnamakan Kepala Daerah.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, kegiatan ini dapat dikategorikan sebagai praktik korupsi kampanye. Mengutip pendapat Beirne dan Messerschmidt, terdapat tiga dari empat tipe korupsi yang berkaitan dengan Pemilu yaitu political beribery, election fraud dan corrupt campaign practice. Korupsi dalam pemilu terutama berkaitan dengan kepentingan dana kampanye (corrupt campaign practice) baik dari penyumbang pihak ketiga maupun penggunaan sumber daya negara oleh incumbent tidak hanya merusak proses pemilihan, tetapi juga tatanan demokrasi.
Sejauh ini, Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) menerima 554 laporan mengenai pelanggaran hukum selama masa kampanye Pemilu 2019 silam. Dari jumlah tersebut, 442 laporan diantaranya dianggap tidak memenuhi unsur pidana. Trend pelanggaran ini didominasi oleh politik uang (money politic), bahkan isu mengenai kampanye terselubung hanya diikuti oleh 10 (sepuluh kasus) karena aksinya yang memang sulit terbaca.
ADVERTISEMENT
Jika ditelisik dari lensa Hukum Kepemiluan, kampanye terselubung (hidden campaign) merupakan tindakan kampanye diluar jadwal yang ditetapkan secara resmi oleh KPU. Meski pada tahun 2015 Pemilu dan Pilkada tampak serupa tapi tak sama, namun pasaca Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 akhirnya Pilkada menjadi skop dari Pemilihan Umum, sehingga kampanye terselubung yang dilakukan oleh Kepala Daerah ini merupakan 1 (satu) dari 9 (sembilan) jenis tindak pidana pemilu yang diatur dalam Bab II tentang Ketentuan Pidana Pemilu pasal 488 hingga pasal 554 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Namun untuk dapat memenuhi unsur tindak pidana ini, bakal calon kepala daerah harus memenuhi unsur-unsur kampanye seperti merujuk citra diri melalui pencantuman nomor urut, foto, serta potongan visi dan misi.
ADVERTISEMENT
Lantas tanda tanya yang muncul adalah, apakah unsur-unsur kampanye tersebut saling menyatu satu sama lain? Tanda tanya ini perlu digarisbawahi karena akan berkonsekuensi terhadap keterpenuhan unsur kampanye pemilu.
Pasal 1 angka 35 UU Nomor 7 Tahun 2017 mendefinisikan kampanye Pemilu sebagai kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta Pemilu. Dalam hal ini, terdapat perbedaan pandangan yang diamini oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). KPU menyakini bahwa unsur dalam pemidanaan kampanye diluar jadwal yang ditentukan haruslah bersifat kumulatif, karena pasal 1 angka 35 UU Nomor 7 Tahun 2017 menyertakan frasa “dan” dalam mendefinisikan kampanye. Artinya unsur “visi, misi, program” menyatu dengan unsur “citra diri”.
ADVERTISEMENT
Lain halnya dengan Panwaslu, yang mengamini bahwa unsur-unsur kampanye tersebut bersifat alternatif, jika salah satu unsur kampanye terpenuhi maka hal tersebut telah memenuhi unsur pelanggaran sesuai ketentuan definisi kampanye. Artinya, unsur “visi, misi, program” dapat saling menggantikan dengan unsur “citra diri”.
Oleh karenanya, adanya kampanye terselubung menjadi teka-teki yang sulit untuk dibuktikan. Sebut saja momentum dugaan kampanye terselubung yang dialamatkan kepada pasangan inkumben Wali Kota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie pada 2015 silam yang diduga menggunakan program Pemkot Tangsel untuk proses pemenangannya. Namun, laporan ini terhenti karena tidak memenuhi cukup alat bukti.
Lantas hal yang dikhawatirkan adalah, disituasi pandemi ini Kepala Daerah dapat dengan mudah berdalih bahwa bantuan-bantuan sosial yang diberikannya saat ini sesuai dengan kapasitasnya sebagai Kepala Daerah sekaligus Ketua Gugus Tugas Penanganan COVID-19 didaerahnya. Padahal, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilukada telah menggarisbawahi bahwa Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota dilarang menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon.
ADVERTISEMENT
Apalagi, usaha membangun citra kepala daerah ini dilakukan dengan menghilangkan unsur-unsur yang memungkinkan sebuah kegiatan disebut sebagai kampanye, seperti ajakan untuk memilih, penjabaran misi dan misi program, pencantuman nomor urut dan logo diberbagai tempat. Padahal, ungkapan the ballot is stronger than the bullet amat sering digaungkan agar tidak memberikan alasan pemaaf apapun untuk pelanggaran Pemilu.
Kedepan, unsur mengenai kampanye premature ini dapat dipandang sebagai sesuatu yang bersifat alternatif, terlebih bagi Petahana (incumbent). Sehingga penegak hukum dapat tegas menindak Kepala Daerah serta tidak ada lagi Kepala Daerah atau Pejabat Publik yang berdalih bahwa ‘hal ini telah sesuai dengan kapasitasnya sebagai pejabat publik’. Jangan sampai dimasa tanggap darurat yang sedang menyengsarakan dunia ini dimanfaatkan oleh segelintir elite politik untuk kepentingan ‘Marketing Politiknya’ bak Menangguk di air yang keruh.
ADVERTISEMENT