Informasi Publik Dihambat Birokrasi?

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Konten dari Pengguna
17 November 2018 9:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kebebasan informasi (Foto: Istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
Kebebasan informasi (Foto: Istimewa)
ADVERTISEMENT
Sudah sepuluh tahun lebih Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disahkan. Namun, tujuan dan harapan dibentuknya Undang-Undang ini belum terwujud.
ADVERTISEMENT
Secara filosofis, setidaknya terdapat lima tujuan dan harapan dari dibentuknya UU KIP yang merupakan penjabaran dari Pasal 28F UUD 1945 tersebut. Harapan tersebut yakni; menjamin pemenuhan hak publik atas informasi, mendorong terwujudnya penyelenggaraan negara yang transparan dan tata pemerintahan yang baik (good governance), mendukung penyelenggaraan negara yang demokratis berdasarkan transparansi dan akuntabilitas, menciptakan badan publik dengan pelayanan yang baik kepada masyarakat, dan yang terakhir adalah untuk meningkatkan partisipasi publik dalam mengawasi penyelenggaraan negara agar terbebas dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kemudian, tujuan yang lebih mendasar dari lahirnya UU KIP adalah untuk menjamin hak publik mendapatkan informasi. Selama ini, publik seringkali dibohongi dan dipermainkan ketika berhadapan dengan birokrasi pemerintahan dalam meminta informasi. Padahal, informasi yang diminta adalah informasi yang bersifat terbuka dan publik memiliki hak untuk tahu.
ADVERTISEMENT
Implementasi UU KIP
Meski memiliki tujuan yang sangat baik, nyatanya UU KIP belum terimplementasi dengan baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya; kondisi badan publik yang masih malu-malu atau masih enggan untuk membuka informasi ke publik, adanya regulasi yang kurang jelas, dan faktor UU KIP yang belum sepenuhnya dipahami. Akibatnya, apa yang ingin dicapai dengan dibentuknya undang-undang ini tidak pernah tercapai.
Kemudian, keberadaan Komisi Informasi (KI) pun seperti tidak berguna. Banyak perkara yang sudah diputuskan, namun daya paksa dari putusan KI tersebut tidak pernah ada. Sengketa ya hanya sengketa, tanpa tahu apa yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti putusan tersebut. Akibatnya, tidak jarang putusan KI hanya berakhir tanpa adanya eksekusi.
ADVERTISEMENT
Kerancuan tidak hanya sampai di situ. Mengenai pengaturan instrumen keterbukaan informasi publikpun sebenarnya bermasalah. Salah satunya adalah keberadaan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) yang terpusat di sebuah lembaga.
Ilustrasi Akses Informasi (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Akses Informasi (Foto: Wikimedia Commons)
Di dalam UU KIP pada dasarnya menyatakan bahwa setiap badan publik harus memiliki PPID. Tetapi, di dalam PP No. 61/2010, Permendagri No. 35/2010 dan Permendagri No. 52/2011, PPID hanya wajib ada satu di setiap kementerian ataupun di daerah. Sementara untuk badan publik, seperti halnya SKPD hanya perlu memiliki PPID pembantu yang tugasnya adalah menyediakan informasi/data untuk PPID pusat bila sewaktu-waktu ada yang meminta. Padahal jika merujuk pada UU No.14/2008, tidak ada istilahnya PPID Pusat dan PPID pembantu, melainkan PPID melekat pada badan publik yang tugasnya adalah mengelola informasi di badan publik terkait.
ADVERTISEMENT
Keberadaan PPID yang terpusat tersebut juga menyebabkan terjadinya kesulitan dalam proses sengketa. Yang menjadi termohon selalu saja PPID Pusat yang pada dasarnya tidak mengetahui secara rinci informasi yang diminta pemohon. Kadang kala, PPID Pusat pun tidak mengetahui apakah informasi yang sengketakan ada atau tidak, karena memang SKPD tempat informasi itu berada tidak kunjung memberikannya ke PPID. Padahal bila merujuk kepada UU KIP, yang menjadi termohon seharusnya adalah badan publik di mana informasi tersebut tersedia.
Hal ini terjadi karena adanya regulasi yang saling berbenturan. Kemudian keadaan semakin pelik karena faktor ketidaktahuan publik tentang hak-hak atas informasi yang seharusnya mudah didapatkan. Bahkan, birokrasi di badan publik sering kali sengaja mempermainkan pemohon informasi dengan menyebut informasi yang diminta adalah informasi yang dikecualikan.
ADVERTISEMENT
Kerancuan dan ketidaktahuan tersebutlah sejatinya yang menyebabkan UU KIP tidak berjalan sebagaimana mestinya. Padahal, jika undang-undang ini berjalan dengan baik, maka dapat menjadi jalan untuk menciptakan pemerintahan yang baik (good government) dan bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Saat ini, kehadiran UU KIP dengan segala instrumennya seolah hanya menjadi harimau tak bertaring. UU yang seharusnya menjadi pembuka jalan untuk penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, nyatanya belum terimplementasi dengan baik dan menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Masih banyak daerah yang menganggap UU KIP tidak penting. Informasi yang seharusnya dibuka ke publik, malah sering kali dianggap informasi yang dikecualikan. Keberadaan UU KIP masih sebatas ajang perlombaan untuk mencari penghargaan tentang daerah mana yang memiliki indeks keterbukaan informasi publik terbaik.
Berdasarkan pemaparan di atas, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar UU KIP benar-benar memberikan manfaat. Pertama, melakukan sosialisasi kepada pihak terkait, seperti birokrat dan masyarakat tentang informasi yang terbuka dan dikecualikan agar tidak ada lagi urusan yang berbelit-belit ketika ada yang meminta informasi, atau adanya upaya menghalang-halangi masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Kedua, membenahi regulasi yang bermasalah. Keberadaan PP dan Permendagri seharusnya sejalan dengan amanat UU KIP, terutama dalam pembentukan PPID. Keberadaan PPID yang terpusat menyebabkan kerancuan dalam proses permohonan informasi, sebab informasi yang dimohonkan sering kali tidak serta merta tersedia.
ADVERTISEMENT
Kemudian, yang ketiga adalah memperkuat Komisi Informasi yang selama ini hanya berperan seperti 'macan ompong', karena putusannya tidak memiliki daya paksa. Komisi Informasi harus diperkuat dengan cara merumuskan ulang regulasi terkait sifat putusan dari Komisi Informasi. Putusan Komisi Informasi seharusnya berlaku sama dengan putusan lembaga independen lainnya, seperti putusan Badan Pengawas Pemilu misalnya yang putusannya bersifat final dan mengikat.
Jika tiga hal tersebut dapat dilakukan, keberadaan UU KIP tentu dapat memberi jaminan terpenuhinya hak atas informasi untuk warga negara. Kemudian, publik tentu juga dapat berperan aktif dalam mengawasi aktivitas dari penyelenggaraan negara agar dapat menjauh dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Oleh: Antoni Putra
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta
ADVERTISEMENT