Mampukah PSI Menjadi Representasi Politisi Muda?

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Konten dari Pengguna
16 November 2018 10:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tak seperti partai politik yang kebanyakan, Partai solidaritas Indoenaia (PSI) hadir dengan menampilkan anak muda sebagai pemeran utama.
ADVERTISEMENT
Saya menyaksikan kehadirannya untuk pertama kali beberapa tahun yang lalu, tepatnya ketika masalah hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menjadi-jadinya di peraoalkan. Pada saat itu, Tsamara Amany hadir dalam sebuah acara talksow debat di salah satu stasuin TV swasta.
Kala itu, penampilan Tsamara begitu memukau karena mampu membantah dengan argumen-argumen yang menarik atas pernyataan-pernyataan dari Fahri Hamzah. Lantas saja, popularitas dari PSI dengan Tsamara sebagai corong utama menanjak drastis.
Namun seiring berjalannya waktu, kiprah partai yang banyak disebut-sebut sebagai partai anak muda ini semakin lari dari gagasan-gagasan yang mencuat diawal kemunculannya. Semua itu terjadi ketika partai yang baru akan mengikuti pemilu untuk pertama kali pada 2019 ini bergabung dengan salah satu poros politik calon presiden presiden.
ADVERTISEMENT
Memang, Tsamara Amany masih mendominasi dan dapat dikatakan masih menarik untuk dicermati. Gagasan-gagasan yang dikemukakannya masih relevan dan dapat meginspirasi. Namun, ada beberapa orang yang sejatinya merusak citra dari partai "anak muda" itu sendiri. Penyebabnya adalah keikutsertaan beberapa kader PSI dalam pusaran ujaran kebencian dengan memanfaatkan isu-isu sensitif sebagai media utama. Keadaan ini pula yang kemudian membuat banyak orang yang sebenarnya sudah "jatuh hati" dengan partai tersebut malah beralih dukungan.
Kehadiran PSI di kancah politik nasional setidaknya menimbulkan beberapa pertanyaan kritis. Di antaranya sejauh mana partai yang disebut mengorbitkan anak muda tersebut mampu konsisten dalam mengorbitkan anak muda?
Pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab dengan langkah-langkah politis yang diambil oleh PSI. Jika mengikuti arus politik yang mengedepankan kebencian, maka dapat disimpulkan partai tersebut tidak mampu menjadi representasi dari anak muda. Pasalnya, pemuda adalah generasi yang sejak dulu dikenal sebagai orang-orang yang memiliki pemikiran jernih dan tulus untuk membangun peradaban yang baik.
ADVERTISEMENT
Pemuda adalah orang-orang yang kreatif dan berani mengambil risiko untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang baik. Bukan malah menjadi orang-orang yang terlena dengan rayuan-rayuan manis politik sehingga ikut bermain kebencian dan menyesatkan masyarakat.
Wajib di apresisai.
Salah satu langkah PSI yang wajib diapresiasi adalah komitmen untuk tidak mencalonkan mantan koruptor sebagai calon legislatif. Dari awal, partai “anak muda” tidak satu pun calegnya yang terindikasi mantan koruptor.
Dari sekian banyak partai, bisa dibilang PSI adalah yang paling komitmen. Dari awal proses pencalonan hingga calon tercatat dalam daftar calon tetap (DCT), tidak satu pun caleg PSI terindikasi mantan koruptor.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada pertanyaan kritis yang wajib dipertanyakan. Pertanyaan kritis itu diantaranya: mengapa PSI tidak mencalonkan koruptor menjadi calon legislatif? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, setidaknya terdapat dua asumsi yang berkembang di dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pertama, PSI dianggap wajar tidak mencalonkan mantan koruptor sebagai calon legislatif itu karena partai yang bersangkutan merupakan partai yang baru berdiri dan baru akan mengikuti pemilu. Dalam keadaan yang demikian, tentu belum ada kadernya yang terjerat korupsi, sehingga tidak memungkinkan partai yang bersangkutan memiliki calon legislative yang merupakan mantan koruptor.
Kedua, PSI tidak mencalonkan mantan koruptor menjadi calon legislatif karena partai yang bersangkutan benar-benar memiliki komitmen antikorupsi. Jika benar demikian, tentu komitmen antikorupsi tersebut juga harus diikuti dengan komitmen untuk tidak memanfaatkan kebohongan dalam kampanya. Pasalnya, jika kampanye partai yang bersangkutan menyatakan antikorupsi, namun kampanye dengan kebohongan, maka komitmen antikorupsi yang dimiliki partai tersebut hanyalah komitmen semu.
Memutus hierarki politik
ADVERTISEMENT
Kehadiran PSI yang mengorbitkan anak muda dapat menjadi jalan untuk memutus hirarki politik yang selama ini banyak terjadi. Politik yang mengedepankan anak muda dapat dinilai sebagai antitesis untuk memutus mata rantai ada politik warisan dari orang tua ke anak. Misalnya, warisan politik dari ayah yang bupati dan ibu anggota legislatif kepada anaknya.
Jika PSI mampu memutus hirarki politik yang turun temurun tersebut, barulah dapat dikatakan bahwa salah satu partai yang identik dengan warna merah tersebut sebagai partai pembaharu dan dapat menghadirkan kontestasi politik yang baik.
Namun, PSI nampaknya masih perlu banyak belajar. Pasalnya, gagasan-gagasan tentang anak muda yang kreatif tersebut sejauh ini dapat dinilai hanya kamuflase. Banyak kader PSI yang hanya menurut kebijakan DPP dan terlibat ujaran kebencian adalah buktinya.
ADVERTISEMENT
Sedikit bercerita, beberapa waktu yang lalu saya mendapat pengakuan dari salah seorang kader PSI yang tidak bisa mengintervensi kebijakan DPP. Sekalipun yang dilakukan oleh DPP salah, yang bersangkutan mengaku bahwa kebijakan tersebut tetap harus “diamini”.
Pengakuan ini saya dapat ketika bertanya kepada seorang kader PSI di Sumatera Barat perihal mengapa PSI mulai bermain ujaran kebencian. Saya mengajukan pertanyaan tersebut karena melihat beberapa pernyataan dan postingan di media sosial milik sekjen PSI, Juli Raja Antoni yang banyak mengandung provokasi dan ujaran kebencian. Seperti halnya postingan di twitter tentang latar belakang pendidikan calon presiden dan wakil presiden, pernyataan-pernyataan kontroversi dalam menyikapi isu, bahkan tidak jarang yang bersangkutan memanfaatkan isu tertentu untuk menyerang lawan politik.
ADVERTISEMENT
Ini tentu tidak sesuai dengan jargon politik anak muda yang seharusnya mengedepankan akal sehat dalam mencari dukungan. Bukan malah sebaliknya. Menyerang dengan membabi buta memanfaatkan isu-isu sensitif.
Hal inilah yang tidak dapat diintervensi oleh kader di daerah. Bila keadaanya tetap demikian, dapat disimpulkan bahwa kader daerah yang bersangkutan belum layak untuk dipilih. Pasalnya, mengintervensi kebijakan partai yang sudah jelas salah saja tidak bisa, apalagi mengintervensi kebijakan pemerintah dalam memperjuangkan suara rakyat.
Akhir kata dapat disimpulkan, walaupun PSI lebih menonjolkan anak muda, namun sejauh ini belum mampu menjadi representasi dari politik anak muda. Sampai sejauh ini, PSI masih dapat dinilai ikut terlibat dalam kontestasi politikyang “menghina” akal sehat karena ikut terlibat dalam politik kebencian dan minim gagasan.
ADVERTISEMENT
Oleh: Antoni Putra
(Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang)