Masalah Hukum Persekusi terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Konten dari Pengguna
24 Januari 2019 17:07 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekerasan. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan. (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Persekusi terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) kembali terjadi. Kali ini terjadi di Kota Bandung dalam acara peluncuran buku Haqiqatul Wahyi yang dilakukan JAI di Masjid Mubarak. Acara tersebut dibubarkan paksa oleh kelompok masyarakat pada Sabtu, 5 Januari 2019. Secara hukum, pembubaran ini tentu tidak dapat dibenarkan. Pasalnya, setiap orang dijamin oleh konstitusi untuk beribadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Hal ini adalah bukti bahwa negara dapat dinilai telah gagal dalam menjaga hak konstitusional warga negara karena lalai dalam menjamin keamanan warga negara dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Negara membiarkan kelompok intoleran tumbuh atas nama agama untuk menghujat aliran lain yang dipercayai oleh sekelompok masyarakat.
Bahkan, ada daerah yang sengaja membentuk regulasi untuk melarang aktivitas JAI di lingkungannya. Salah satunya terjadi di Jawa Barat melalui Pergub Nomor 12 Tahun 2011 tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat. Salah satu rujukan Pemerintah Daerah Jawa Barat dalam menerbitkan Pergub ini adalah Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung (SKB 3 Menteri) Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP-033/A/JA/6/2008 dan Nomor: 199 Tahun 2008 Tentang Peringatan Dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat.
ADVERTISEMENT
Aliran Terlarang
Di dalam SKB 3 Menteri ini sejatinya memang tidak ada pelarangan aktivitas JAI untuk beribadah. Dalam SKB 3 Menteri tersebut, pemerintah hanya memberi peringatan kepada anggota JAI, sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
Pada poin berikutnya juga dikatakan bahwa pemerintah meminta seluruh elemen masyarakat untuk menjaga kerukunan umat beragama dengan tidak melakukan tindakan melawan hukum terhadap warga Ahmadiyah.
Jika dicermati, di dalam SKB 3 Menteri ini tidak ada yang menyatakan bahwa JAI adalah paham yang terlarang. Bahkan, SKB 3 Menteri ini juga tidak dapat dijadikan alasan pembenar untuk tindakan persekusi atau tindakan main hakim sendiri dari siapa pun terhadap JAI.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini belum ada undang-undang yang menyatakan bahwa aliran kepercayaan tersebut adalah kepercayaan yang terlarang. SKB 3 Menteri pun tidak berisi pelarangan JAI untuk beribadah. Hanya saja, pemerintah melalui SKB 3 Menteri tersebut membuka ruang penafsiran yang absurd, atau ruang yang memungkinkan terjadinya penafsiaran bahwa JAI adalah paham terlarang.
Ilustrasi persekusi (Foto: Thinsktock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi persekusi (Foto: Thinsktock)
Hal ini yang menyebabkan pemerintah daerah menafsirkan SKB 3 Menteri ini berbeda dari apa yang seharusnya. Pemerintah daerah malah menjadikan SKB 3 Menteri tersebut sebagai dasar pelarangan JAI untuk beribadah, serta membuka ruang terjadinya tindakan-tindakan persekusi oleh kelompok masyarakat. Hal ini tentu tidak sesuai dengan amanat konstitusi yang memberikan jaminan kepada setiap orang untuk dapat beribadah sesuai dengan keyakinan yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Kebebasan untuk berkeyakinan (beragama) sejatinya merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan mutlak (absolut) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right). Hak untuk berkeyakinan ini bahkan diakui di dalam kerangka hukum nasional maupun internasional.
Di dalam kerangka hukum nasional, kebebasan untuk memeluk kepercayaan bagi setiap orang dijamin di dalam Pasal 28 Ayat (2) UUD 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang memberikan legitimasi kepada negara untuk mengakui penganut kepercayaan tradisional.
Sementara di dalam kerangka hukum internasional, kebebasan dan jaminan untuk berkeyakinan dituangkan di dalam Pasal 18 Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948. Pada 1966, PBB kembali menegaskan jaminan kebebasan berkeyakinan di dalam kovenan internasional tentang hak sipil dan politik yang juga sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 2005.
ADVERTISEMENT
Di dalamnya mengatur bahwa kebebasan dan jaminan bagi setiap orang untuk beribadah adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, bahkan di dalam perang sekali pun.
Dengan demikian, sejatinya sudah tidak ada lagi ruang yang dapat dijadikan acuan untuk melarang penganut suatu aliran untuk beribadah, termasuk JAI untuk menjalankan kepercayaannya. SKB 3 Menteri yang membatasi hak JAI akan lebih bijak bila dicabut. Selain bertentangan dengan konstitusi, keberadaan SKB 3 Menteri jelas sudah merampas hak asasi manusia yang seharusnya mutlak tidak bisa diganggu gugat yang dimiliki oleh JAI.
Kemudian jika merujuk kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, sejatinya pemerintah daerah juga tidak memiliki legitimasi untuk melarang kegiatan keagamaan dari JAI. Pasalnya, kewenangan untuk mengatur persoalan agama adalah kewenangan absolut dari pemerintah pusat, atau kewenangan yang tidak diberikan pemerintah pusat kepada daerah.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, pembentukan peraturan daerah yang mengatur persoalan agama dapat dianggap inskonstituional yang seharusnya dapat dibatalkan.
***
Oleh: Antoni Putra, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)