Memakar Gerakan #2019GantiPresiden

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Konten dari Pengguna
20 September 2018 10:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pergulatan politik politik elektoral tentu membawa kita kepada banyak tantangan, terutama bagaimana pemerintah menyikapi gerakan-gerakan yang muncul dari dalam masyarakat. Di mana gerakan yang muncul tersebut merupakan hal yang wajar dan diperbolehkan di dalam negara demokratis, sepanjang dilakukan dengan damai.
ADVERTISEMENT
Begitu juga halnya dengan gerakan #2019GantiPresiden yang sejatinya merupakan aspirasi publik yang tidak dapat digolongkan sebagai tindakan makar. Pelarangan yang berlebihan atas aksi tersebut tentu bertentangan dengan konstitusi dan demokrasi.
Lain halnya bila Gerakan #2019GantiPresiden diupayakan melalui perebutan kekuasaan dengan menggunakan kekuatan senjata. Tentu gerakan tersebut menjadi terlarang. Tapi, sepanjang dilakukan dalam koridor demokratis dan bersesuaian dengan hukum, maka upaya ataupun kampanye penggantian presiden merupakan ekspresi yang sah dan dijamin oleh konstitusi dan hukum nasional maupun hukum HAM internasional.
Lebih lanjut, gerakan tersebut dapat digolongkan pada hak untuk bebas berpendapat dan berserikat. Ketentuan ini dijabarkan di dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan aturan turunannya. Namun demikian, tindakan aparat keamanan yang melarang beberapa aksi deklarasi gerakan #2019GantiPresiden tersebut dapat saja dibenarkan, sebab kebebasan berpendapat dan berkumpul memang merupakan hak yang dapat dibatasi (derogable rights).
ADVERTISEMENT
Alasan-alasan pembatasan tersebut terdapat di dalam Pasal 28J UUD 1945 dan dalam Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (3) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau yang lebih dikenal dengan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Di dalam ICCPR, terdapat beberapa alasan yang membatasi kebebasan berekpresi, yakni: batasan yang dituangkan di dalam undang-undang, kebebasan berekpresi harus menghormati hak dan nama baik orang lain, batasan untuk menjaga keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan, moral umum, dan yang terakhir kebebasan berekpresi tidak boleh berisi ujaran kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan yang dilarang oleh hukum.
ADVERTISEMENT
Di dalam perkara pelarangan gerakan #2019GantiPresiden, aparat penegak hukum berpendapat bahwa gerakan tersebut berpotensi mengganggu instabilitas keamanan, potensi pelanggaran hukum baik terkait konten kampanye yang bisa dikualifikasi sebagai makar, pelanggaran hukum pemilu, khususnya larangan penyebaran kebencian dan permusuhan, maupun dalam konteks waktu kampanye.
Penggunaan alasan-alasan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, gerakan ganti presiden sama sekali bukanlah tindakan makar, melainkan hanyalah penyampaian aspirasi politik masyarakat yang kecewa terhadap kinerja pemerintahan. Sebagaimana terdapat di dalam Pasal 104 sampai Psal 129 KUHP yang kemudian juga diperjelas oleh Moh. Mahfud MD, terdapat tiga garis besar suatu tidakan/perbuatan yang dapat dikatakan seebagai makar.
Tiga garis besar itu adalah; merampas kemerdekaan presiden dan wakil presiden, merencanakan merampas kemerdekaan presiden dan wakil presiden yang menyebabkan pemerintahan lumun, dan gerakan mengganti ideologi pancasila. Tetapi, gerakan #2019GantiPresiden sama sekali tidak menyentuh ketiga hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ketakutan akan terjadinya kericuhan yang mengganggu keamanan juga tidak dapat dijadikan alasan, sebab ketakutan tersebut belum terbukti adanya. Agar tidak terjadi kericuhan yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan dalam aksi gerakan #2019GantiPresdien, seharusnya disitulah peran kepolisian sebagai petugas keamanan, yakni menjaga dan memastikan aksi tersebut berjalan dengan damai. Bukan malah melarang dan membubarkan aksi.
Kemudian, alasan gerakan dibubarkan karena tidak berizin itu juga merupakan alasan yang yang mengada-ada. Pasalnya, untuk aksi seperti demonstrasi tidak perlu mendapat izin dari kepolisian. Penanggung jawab aksi hanya perlu memberikan surat pemberitahuan kepada kepolisian yang berisi hal-hal seperti jumlah massa, waktu dan tempat aksi sebagai bentuk koordinasi agar kepolisian dapat mengawal aksi yang akan dilakukan.
ADVERTISEMENT
Namun begitu, pelarangan deklarasi gerakan #2019GantiPresiden dapat dibenarkan. tapi alasannya bukan karena gerakan tersebut merupakan makar sebagaimana yang didalilkan, melainkan gerakan tersebut berpotensi memberikan kerugian terhadap salah satu calon presiden yang akan bertarung dalam Pemilu 2019. Pasalnya, pada pemilu 2019 hanya tersedia dua pasang calon, yakni Joko Widodo-Ma’aruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Gerakan #2019GantiPresden tentu sangat menguntungkan bagi salah satu kandidat, yakni pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno. Logikanya, jika petahana diganti, maka yang tersedia hanyalah Prabowo. Artinya, pelarangan gerakan #2019GantiPresiden dapat dilakukan, namun hanya sampai masa kampanye calon presiden dimulai. Setelah masa kampanye pemilu presiden dimulai, gerakan tersebut tidak boleh lagi dilarang.
Bagi mereka yang tidak setuju pada gerakan ini, tentu juga memiliki hak untuk menyatakan sebaliknya. Caranya tentu juga tidak boleh melanggar hukum yang berlaku. Harus dilakukan dengan cara yang benar, seperti membuat gerakan tandingan, misalnya gerakan #2019TetapJokowi.
ADVERTISEMENT
Tetapi, yang harus diperhatikan dalam gerakan tersebut tetap harus menjaga keamanan dan keteriban. Pihak-pihak yang berkepentingan tidak boleh menggunakan idiom SARA dan kebencian terhadap salah satu pasangan calon presiden dalam melakukan gerakan. Kita patut sadari bahwa pemilihan presiden adalah kontestasi adu kualitas dan gagasan dalam mencari pemimpin yang terbaik, bukan kontestasi kebencian dan pencitraan.
Jadi pendeknya, bukan gerakan #2019GantiPresiden yang makar, merekayasa penolakan terhadapnya yang layak dianggap makar, yakni makar terhadap demokrasi. Jika gerakan #2019GantiPresiden dilarang, maka gerakan #2019TetapJokowi pun harus dilarang. Pasalnya, kedua gerakan tersebut merupakan representasi dari aspirasi publik yang sama-sama menguntungkan terhadap salah satu calon presiden.
Oleh: Antoni Putra