Mempolitisasi Bencana

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2018 16:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bangsa Indonesia kini tengah berduka atas bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Ribuan orang menjadi korban dalam bencana ini.
ADVERTISEMENT
Di tengah duka tersebut, ada saja oknum-oknum yang mencoba memanfaatkan situasi untuk kepentingan politik.. Perdebatan yang dibangun bukan lagi seputar kepedulian terhadap korban bencana, melainkan adalah upaya untuk melakukan provokasi.
Bukannya berempati dan bersimpati, berberapa oknum tersebut saling berlawanan malah sibuk saling tuding dan saling menyalahkan. Mereka hanya sibuk berkomentar sinis tanpa ada melakukan hal yang bermanfaat bagi korban bencana.
Niat yang tulus untuk memberikan bantuan seolah tidak pernah ada. Kepedulian terhadap korban seperti hanya didasarkan pada politik kepentingan semata.
Polanya pun sederhana, yakni dengan cara menyalahkan pemerintah dan mengumbar-umbar bantuan yang diberikan ke publik. Kejarannya adalah pencitraan dengan memanfaatkan pemberitaan media yang selalu dibaca oleh masyarakat luas.
Berdamai
ADVERTISEMENT
Kubu politik yang berlawanan seolah tidak sekalipun berdamai, bahkan di tengah bencana sekali pun. Mereka yang saling berlawanan selalu saja bersahut-sahutan. Tudingan demi tudingan pun dialamatkan pada kubu yang menjadi lawan politik. Kadang kala, yang dipertontonkan hanyalah kebodohan cara berfikir dari mereka yang saling berlawanan tersebut.
Mereka menganggap seolah tidak ada kebenaran pada lawan politik. Tidak jarang, suatu argumen terkesan dipaksakan untuk menyalahkan langkah yang diambil oleh mereka yang dianggap lawan politik.
Sama halnya dengan kunjungan Jokowi ke lokasi bencana di Palu dan Donggala yang menggunakan fasilitas negara. Ada saja pihak yang mempersoalkan hal itu. Padahal, kunjungan Jokowi tersebut merupakan kunjungan kenegaraan yang memang sudah seharusnya menggunakan fasilitas negara.
ADVERTISEMENT
Terhadap Jokowi, sampai saat ini hak protokolernya sebagai presiden masih melekat. Meskipun kini ia sudah resmi ditetapkan sebagai calon presiden. Perkara penggunaan fasilitas negara oleh Jokowi tersebut sudah sesuai dengan Pasal 305 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Pada intinya, Pasal 305 tersebut menyatakan bahwa fasilitas negara melekat pada jabatan presiden dan wakil presiden. Artinya, mau berkunjung ke Palu, Donggala, ataupun ke kamar mandi untuk buang air sekali pun, jabatan sebagai presiden tetap melekat padanya.
Kebodohan tidak hanya sampai disitu. Beberapa waktu yang lalu, banyak pihak yang mempertanyakan komitmen pemerintah dalam menanggapi bencana gempa yang terjadi di Lombok. Mereka dengan serta merta menuding pemerintah tidak peduli dengan bencana yang menimpa Lombok. Tidak jarang, tudingan itu disertai dengan hujatan-hujatan kasar yang langsung menjurus kepada diri pribadi Presiden dan pendukungnya.
ADVERTISEMENT
Tudingan itu muncul karena pemerintah tidak segera menetapkan bencana Lombok sebagai bencana nasional. Mereka menganggap bahwa pemerintah lebih peduli dengan sea games dibandingkan dengan nasib korban bencana.
Tidak lama berselang, Presiden Jokowi langsung menanggapinya dengan melakukan kunjungan dan nonton bersama penutupan sea games dari tenda pengungsi. Konon katanya, di lokasi nonton bersama dipasang tiga layar besar.
Sepintas tidak ada yang salah dengan langkah presiden tersebut. Tetapi bila kita kaji lebih jauh, pilihan presiden melakukan nonton bareng dan memberikan pidato penutupan sea games tersebut tentu tidak tepat.
Langkah presiden dapat dianggap sebagai pencitraan yang memanfaatkan emosi dari korban gempa. Apa lagi jika mengingat kegiatan tersebut disiarkan secara langsung dan ditonton oleh masyarakat di seluruh Indonesia. Jika presiden bijak, apa salahnya bila kunjungan tersebut dilakukan setelah penutupan sea games berakhir.
ADVERTISEMENT
Kebodohan berfikir berikutnya adalah penggunaan ilmu “cocoklogi” untuk menghubung-hubungkan suatu kejadian dengan salah satu kandidat peserta pemilu. Misalnya tudingan gempa Lombok terjadi akibat TGB mendukung Jokowi, atau gempa dan tsunami di Palu-Donggala sebagai akibat adanya seorang tokoh dan ulama berpidato di sana yang mendukung salah satu calon presiden dan wakil presiden misalnya.
Sebenarnya, ilmu cocok logi seperti ini ilmu apa? Yang jelas, hal yang seperti ini belum dapat dibuktikan secara ilmiah, namun pola pikir yang demikian telah menunjukkan kebodohan berfikir yang luar biasa. Anehnya, bagi pendukung fanatik dari salah satu kandidat hal yang demikian malah diamini dan disebar luaskan tanpa terlebih dahulu dipahami kebenarannya.
Terlepas dari hal itu, kita tentu memahami bahwa semua orang berempati terhadap korban bencana. Semua orang pun tahu, bahwa semua umat manusia pasti ingin memberikan bantuan. Pada hakikatnya, untuk peduli terhadap korban bencana tidak perlu menjadi pejabat atau politisi, melainkan hanya perlu menjadi manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam hal bencana, hendaknya segala kepentingan politik ditinggalkan. Jika ingin memberikan bantuan, dasarkanlah atas dasar nilai-nilai kemanusian, jangan hanya karena kepentingan politik semata.
Semua orang harus menjaga etika sebagai manusia, yakni dengan tidak memanfaatkan kondisi masyarakat yang tengah dilanda musibah sebagai sarana untuk kampanye. Segala bentuk ajakan terhadap korban bencana untuk memilih salah satu kandidat, baik calon legislative maupun presiden pada Pemilu 2019 harus ditinggalkan.
Kalua memang ingin membantu korban bencana, maka berhentilah membawa atribut kampanye ke lokasi bencana. Kita harus menyadari bahwa bencana adalah duka bersama. Dan memanfaatkan bencana sebagai sarana untuk memuluskan kepentingan politik adalah sesuatu yang hina.
Oleh: Antoni Putra
Peneliti pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
ADVERTISEMENT