Pernyataan Ketua Umum PSI dan Kualitas Politisi Kita

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Konten dari Pengguna
19 November 2018 21:55 WIB
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernyataan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie tentang partainya yang tidak akan pernah mendukung peraturan daerah (Perda) yang berlandaskan agama, seperti Perda Syariah dan Perda Injil menuai reaksi pro dan kontra. Banyak tudingan miring yang dialamatkan kepada partai tersebut, bahkan sampai ada yang melaporkan ke kepolisian karena dianggap menistakan agama.
ADVERTISEMENT
Jika kita cermati, perdebatan yang dibangun dalam menanggapi isu penolakan Perda Syariah ini dapat dinilai telah jauh meningalkan hal-hal subtansial. Diskusinya malah diarahkan kepada hal-hal lain yang sejatinya berada di luar konteks dengan cara memaksa untuk mengait-ngaikan dengan hal-hal yang mengandung konotasi negatif.
Semuanya hanya beororintasi kepada hal-hal yang dapat memberikan keuntungan terhadap kelompok politik tertentu, seperti dengan cara menjadikan isu ini sebagai alat untuk memprovokasi publik untuk membenci. Tentu hal ini tidak baik karena berpotensi menimbulkan ricuh yang berkepanjangan di dalam masyarakat.
Berlaku Mengikat
Jika kita berkaca pada konteks berlakunya peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengikat siapapun (erga omnes), maka tidak ada yang salah dengan penolakan perda berbau agama tersebut. Pasalnya, berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tidak hanya untuk mengikat kelompok orang dengan agama tertentu, melainkan juga mengikat kelompok agama yang “minoritas”.
ADVERTISEMENT
Sesuai dengan asas erga omnes tersebut, tidak ada satu pun yang dapat dikecualikan dari berlakunya suatu peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, hendaknya tidak ada regulasi yang sejatinya dibentuk dan berlaku secara umum, tetapi malah menciptakan ruang diskriminasi terhadap kelompok tertentu.
Jika dikaji lebih jauh, permasalahan dari pernyataan ketua umum PSI tersebut muncul karena terjadi pembelotan maksud. Jika penolakan Perda Syariah dan Injil tersebut tidak dipolitisasi, sejatinya pernyataan tersebut masih dalam taraf yang wajar. Apalagi jika kita merujuk kepada konsep negara Indonesia yang berdiri bukan atas dasar agama tertentu atau atas keyakinan agama mayoritas.
Isu penolakan dari PSI untuk mendukung Perda berbaur agama terus dipolitisasi dengan membelotkannya ke mana-mana. Apalagi kita tahu bahwa banyak politisi yang begitu handal menggunakan teori cocoklogi dalam upaya untuk mempolitisasi isu agar bisa menjadi senjata untuk menjatuhkan.
ADVERTISEMENT
Tentu hal tersebut semakin memberikan gambaran bagaimana kualitas politisi kita. Dalam hal penolakan terhadap pernyataan ketua umum PSI tersebut, sejatinya tidaklah lebih sebagai kebodohan yang menggambarkan betapa buruknya kualitas politisi kita. Mereka tidak pernah berupaya untuk memantaskan diri menjadi pilihan yang baik. Seolah-olah mengedepankan pikiran kotor untuk saling menjatuhkan.
Seharusnya, politisi berlomba-lomba dalam mengedapankan gagasan yang dapat mencerdaskan. Bukannya malah berlomba-lomba untuk memprovokasi publik untuk membenci kelompok tertentu. Soal mana gagasan yang terbaik, biarkan publik yang menilai.
Bila tidak sepakat dengan suatu pernyataan, maka bantahlah dengan memberi alasan logis yang dapat membangun logika berpikir yang baik. Bukan malah sebaliknya, yakni dengan mengoreng-goreng isu menjadi suatu hal yang menyebabkan kebencian.
Sejauh ini, yang dipertontonkan oleh politisi bukan siapa yang terbaik, melainkan siapa yang paling buruk. Itu artinya, dalam konteks penalaran yang wajar, tidak satupun dari mereka memiliki kebaikan atau kualitas yang pantas untuk dikemukakan.
ADVERTISEMENT
Sepatutnya, adanya lontaran penolakan persa agama ini harus dijadikan momentum mencerdaskan publik dan menciptakan diskurus yang sehat, bukan malah dikriminalisasi atau dibelotkan ke mana-mana.
Penulis: Antoni Putra, Alumni Fakultas Hukum Universitas Andalas