Ruang untuk Mengadili Partai Politik

Antoni Putra
Merupakan alumnus Fakultas Hukum universitas Andalas, saat ini menjadi Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia.
Konten dari Pengguna
16 November 2018 11:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Antoni Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi partai politik. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi partai politik. (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
ADVERTISEMENT
Peran partai politik di negeri ini sangat dominan. Mulai dari menentukan peserta pemilu legislatif, pilkada, ataupun pilpres. Partai politik pun juga berperan penting dalam aneka proses politik di lembaga legislatif, eksekutif, dan lembaga negara lain yang proses perekrutannya melalui rekruitmen politik di DPR.
ADVERTISEMENT
Dengan peran partai politik yang begitu dominan tentu perlu diatur mekanisme penghukuman. Pasalnya, partai politik tidak terlepas dari kesalahan yang di antaranya bahkan merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), seperti korupsi yang dilakukan kadernya, mengintervensi kebijakan pemerintah untuk kepentingan partai, dan lain sebagainya.
Sementara nyaris tidak tersedia ruang untuk mengadili partai politik. Satu-satunya ruang hanyalah melalui putusan pembubaran oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Ketentuan ini terdapat di dalam Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 40 ayat (5) UU Nomor 2 Tahun 2008 jo UU Nomor 2 Tahun 2011, dengan alasan partai politik melakukan kegiatan yang bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
Tetapi, mekanisme pembubaran melalui putusan MK hampir mustahil terjadi. Pasalnya yang berwenang mengajukan permohonan pembubaran partai politik hanyalah presiden. Ketentuan ini termaktup di dalam Pasal 68 ayat (1) UU Mahamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Padahal jika kita merujuk kepada UUD 1945, seharusnya ruang untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik menjadi hak setiap orang, bukan hanya presiden. Sebab berdasarkan pasal 24C Ayat (1), ‘MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum’.
Dari pasal tersebut, seharusnya tidak berbeda siapa yang berwenang mengajukan permohonan pembubaran partai politik dengan pengujian undang-undang. Pasalnya, fungsi partai politik berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, seperti layaknya undang-undang.
Setidaknya, terdapat tiga alasan mengapa seharunya partai politik dapat diadili baik melalui mekanisme pembubaran di MK maupun penjatuhan sanksi pidana, meskipun yang mengajukan permohonan bukan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Pertama, partai politik banyak mengirimkan kader-kadernya yang korup untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan legislatif. Itu dapat dibuktikan dengan banyaknya kader partai politik yang terlibat korupsi. Sepanjang tahun ini saja, sudah 7 orang anggota DPR dan 19 orang kepala daerah yang ditangkap KPK. Dari ke 19 orang kepala daerah yang tertangkap sepanjang tahun ini, 17 orang di antaranya tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Sementara untuk pada tingkat DPRD, dimulai dari 38 orang anggota DPRD Sumatera Utara periode 2009-2014 dan periode 2014-2019 ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena menerima suap dan gratifikasi dari Gubernur nonaktif Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho. Tidak pelak, uang rakyat miliaran rupiah jadi bancakan. Per orang menerima bagian Rp 300-350 juta.
Pemeriksaan perdana tersangka anggota DPRD Malang, Gedung KPK, Jakarta, Kamis (06/09/2018). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pemeriksaan perdana tersangka anggota DPRD Malang, Gedung KPK, Jakarta, Kamis (06/09/2018). (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
Kemudian, KPK juga menetapkan tersangka 41 dari 45 orang anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka dalam kasus suap pembahasan APBD-P Kota Malang Tahun Anggaran 2015. Penetapan tersangka tersebut merupakan pengembangan dari dua tersangka sebelumnya, yaitu Pimpinan DPRD Moch Arief Wicaksono dan mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan (PUPPB) Kota Malang, Jarot Edy Sulistyono.
ADVERTISEMENT
Kini yang sedang santer disebut akan menyusul adalah anggota DPRD Provinsi Jambi. Pasalnya, seluruh anggota DPRD Jambi periode 2014-2019 disebut smenerima uang ketuk APBD dari gubernur non-aktif Provinsi Jambi, Zumi Zola. Hal itu terungkap di dalam surat dakwaan dan keterangan saksi dalam persidangan Zumi Zola di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Jika ditarik lebih jauh ke belakang, kasus korupsi berjemaah yang seharusnya dapat menjadi dasar untuk mengadili partai poltik sejatinya tidak hanya tahun ini saja terjadi. Kasus Hambalang, kasus cek perjalanan pemilihan Deputi Gubernur BI, dan skandal proyek e-KTP. Di awal Tahun 2000 juga ada kasus Kavling Gate di Jawa Barat yang nyaris melibatkan semua anggota DPRD Jabar kala itu. Dalam kasus e-KTP misalnya, disebutkan bahwa korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 2,3 triliun ini menyeret sejumlah nama, dari legislatif, eksekutif, hingga pihak swasta.
ADVERTISEMENT
Pada Tahun 2003, korupsi berjemaah yang dilakukan kader partai politik juga terungkap di Sumatera Barat. Sebanyak 43 orang anggota legislatif yang berasal dari DPRD Provinsi Sumatera Barat dan tujuh DPRD kabupaten/kota divonis bersalah dalam korupsi APBD senilai Rp 5,9 miliar.
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu (Foto: Fitra Andrianto/kumparan)
Kedua, partai politik adalah subjek hukum yang berbetuk badan hukum. Dalam mekanisme yang demikian, partai politik dapat dijatuhi pidana yang pertanggungjawabannya dibebankan kepada pengurus partai. Namun, itu sebatas pertanggungjawaban partai politik atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan secara kelembagaan. Sementara untuk pertanggungjawaban atas kejahatan yang dilakukan kadernya sama sekali belum ada.
Pertanggungjawaban partai politik terhadap kejahatan yang dilakukan kadernya harusnya ada dan tidak cukup hanya dibebankan kepada pengurus partai saja. Pasalnya, pengurus partai langsung yang melakukan tindak pidana, seperti Setya Novanto, Nazaruddin, dan Anas Urbaningrum misalnya, yang melakukan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidananya masih sebatas pelaku sebagai individu, bukan sebagai pengurus partai.
ADVERTISEMENT
Partai politik seharusnya memiliki tanggung jawab penuh terhadap kadernya yang melakukan kejahatan, terutama di legislatif. Sebab, partai politik melakukan kontrol terhadap kadernya dan dapat mengganti kapan pun kadernya di legislatif. Sementara jika kadernya melakukan kejahatan dalam jabatannya, sama sekali tidak ada pertanggungjawaban dari partai politik. Sejauh ini, partai politik baru sebatas 'memecat' kadernya yang korupsi.
Setelah selesai menjalani hukuman, kadernya kembali diterima seperti layaknya tidak pernah berbuat dosa. Hal itu dapat terlihat dari kegigihan partai politik dalam mempertahankan kadernya yang merupakan mantan koruptor untuk dapat menjadi calon legislatif, padahal partai-partai tersebut telah memiliki kesepakatan berupa pacta integritas dengan KPK untuk tidak mencalonkan mantan koruptor menjadi calon legislatif.
ADVERTISEMENT
Ketiga, partai politik disubsidi oleh negara dan berfungsi sebagai wadah untuk menyalurkan hak politik warga negara. Dengan fungsi yang demikian, setiap warga negara seharusnya memiliki hak untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke MK bila dianggap sudah tidak lagi mampu menampung aspirasi publik. Sebab yang dirugikan itu adalah warga negara.
Melihat tiga hal di atas, ruang untuk mengadili partai politik seharusnya dibuka lebar dengan tidak membatasi siapa yang boleh mengajukan permohonan. Mengharapkan pemerintah mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke MK, itu hanya ibarat pungguk merindukan bulan. Mustahil.
Untuk menciptidakan ruang tersebut, caranya hanya dengan amandemen Pasal 40 ayat (2) UU No.40/2008. Kejahatan khusus, seperti korupsi dan terorisme, dimasukkan sebagai alasan pembubaran partai politik. Kemudian, amandemen juga harus dilakukan terhadap Pasal 68 ayat (1) UU MK. Sebab mengajukan permohonan pembubaran partai politik seharusnya adalah hak setiap warga negara.
ADVERTISEMENT
Jika hal yang demikian dapat diwujudkan, niscaya korupsi akan dapat diminimalisir. Sebab pemberantasan korupsi akan terlihat luar biasa karena seluruh lapisan masyarakat ikut terlibat. Bukan hanya terlibat dalam mengawasi penyelenggara negara, naun juga terlibat dalam mengawasi partai politik.
____
Penulis: Antoni Putra, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta