Ironi Konstitusi Kita

AJ Susmana
menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga aktif dalam komunitas kerja seni dan budaya Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat- JAKER. Buku terbarunya 2021: sebuah novel sejarah:Menghadang Kubilai Khan. Bisa dihubungi via [email protected]
Konten dari Pengguna
27 Agustus 2021 12:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AJ Susmana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ironi Konstitusi Kita
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Yang paling mencolok mata dari kehidupan berkonstitusi kita hari-hari ini adalah ketidakadilan hukum di mata rakyat biasa. Dahulu sering diungkap dalam sindiran: maling ayam, harga tidak sampai ratusan ribu dipenjara tiga bulan. Itupun sering didahului dengan muka lebam akibat pukulan masyarakat yang marah atau petugas yang kebablasan: tetapi koruptor miliaran, bisa tersenyum, dengan penangkapan yang ramah, jauh dari siksaan, hanya di penjara tahunan; keluar dari penjara tetap jadi orang kaya atau malah lebih kaya.
ADVERTISEMENT
Situasi yang jomplang dalam penegakan hukum itu, tampak makin menjadi-jadi justru pada era reformasi saat ini yang semangatnya adalah mengoreksi penegakan hukum di masa Orde Baru yang penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme. Seorang eks koruptor diangkat menjadi pejabat di BUMN seakan meniadakan orang baik yang setia untuk tidak mencuri harta negara di republik ini. Ini menandakan bahwa koruptor tersebut mempunyai jalur-jalur kekuasaan bahkan barangkali ikut mengontrol kekuasaan sehingga bisa menempatkan kembali dirinya pada jabatan publik yang membutuhkan kepercayaan.
Contoh-contoh perlakuan istimewa terhadap koruptor bisa kita deretkan di sini yang menunjukkan pada kita bahwa amanat konstitusi: setiap warga negara sama di depan hukum hanyalah teks yang tinggal tertulis saja tanpa pelaksanaan yang adil. Justru kita melihat dalam praktik nyata kehidupan berbangsa dan bernegara kita, landasan hukum konstitusi atau di bawahnya Undang-Undang dan seterusnya, bisa diabaikan dan diatur selama ada "orang dalam" dan didukung dengan keuangan yang cukup. Perlakuan seperti ini membelah warga negara menjadi dua bagian yaitu warga yang sanggup membeli hukum dan warga yang meringis menyaksikan hukum bisa diperjual-belikan.
ADVERTISEMENT
Warga yang bisa membeli dan mempermainkan hukum ini tentulah tidak banyak. Kita bisa menyebut kaum oligarki, yang dengan kekayaan, mengontrol negara di segala bidang dengan tujuan terus mempertahankan kekayaan dan melipat-gandakan kekayaan. Karena itu serakah. Sementara warga negara biasa yang jumlahnya banyak yang tidak bisa mempermainkan hukum, justru seringkali menjadi bulan-bulanan hukum yang menimpanya, yang membuatnya jatuh miskin.
76 tahun merdeka. Republik tampak jalan di tempat. Di zaman kolonial, kaum elite (oligarki) itu nyata ada. Diskriminasi ala kolonial berlangsung dalam mengatur negara. Orang-orang Eropa menempati warga kelas satu dengan segala keistimewaan sementara pribumi tanpa jaminan pendidikan dan kesehatan menempati warga kelas tiga setelah warga keturunan lainnya. Struktur masyarakat yang diskriminatif ini telah dihancurkan dalam revolusi nasional 1945; setidaknya tampak dalam pasal-pasal UUD 1945, konstitusi Indonesia merdeka, yang tidak lagi mendahulukan warga keturunan Eropa atau lainnya menjadi lebih istimewa di mata pribumi. Semua sama di depan hukum.
ADVERTISEMENT
Itulah Indonesia merdeka, yang juga selain menghapus diskriminasi berdasarkan keturunan, juga meniadakan atau mengabaikan perbedaan jenis kelamin. Tapi dalam praktik bernegara hari ini, masih jargon-jargon anti pemimpin (presiden) perempuan berkumandang dengan bebas, tidak dianggap sebagai pelanggaran serius dari konstitusi Indonesia merdeka. Juga kaum LGBT dimarjinalkan dan dijauhkan dari peran bernegara dalam hak dan kewajiban.
Konstitusi Indonesia Merdeka, (yang jelas berlawanan dengan “UUD” kolonial yang diskriminatif, memeras, menindas rakyat, dan semangatnya hanya memperkaya elite oligarki Eropa itu), jelas tidak mau menduplikat semangat UUD Kolonial yang telah berlangsung katakanlah 350 tahun! Founding Fathers & Mothers yang memerdekakan diri dari semangat kolonial menginginkan semua warga negara Indonesia bisa menikmati kekayaan negara tanpa terkecuali sebagaimana bunyi Pasal 33: “.... sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat”. Semangatnya jelas terlihat dalam berbagai Pasal-Pasal UUD 1945, yang memberi penguatan kehidupan jasmani dan rohani kepada warga negara yang lemah secara ekonomi, yang kebanyakan dahulu adalah pribumi yang dimarjinalkan oleh negara kolonial seperti fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara; setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran; pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Tetapi 76 tahun merdeka, bunyi-bunyian yang indah dari konstitusi Indonesia Merdeka itu seperti tong kosong nyaring bunyinya. Situasi yang terjadi pada hari ini hampir tidak jauh berbeda dengan situasi di zaman kolonial. “Tiap-tiap warga negara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” jelas tak terwujud dan (jumlah) pengangguran yang tiap kali menjadi laporan kenegaraan seakan hanyalah permainan angka-angka yang di sana tidak ada anak manusia yang menjerit minta makan atau pekerjaan agar dapat makan.
Sampai kapan ironi konstitusi kita itu berlangsung. Menunggu seabad kemerdekaan? Berserah pada waktu? Atau.....?